Darsan, pakar pertanian dari Universitas Bojonegoro (Unigoro), mengungkapkan bahwa rata-rata kepemilikan lahan petani di Bojonegoro hanya 0,2 hektare, sebuah kondisi yang dikenal dengan istilah “petani gurem.” Sementara itu, pemilik lahan yang lebih luas, di atas 1 hektare, umumnya adalah pamong desa. Mayoritas petani hanya menanam padi dan jagung—dua komoditas yang tidak selalu menjanjikan keuntungan.
“Padi adalah komoditas politis yang harganya dikendalikan oleh pemerintah,” kata Darsan, yang juga seorang petani. “Sedangkan jagung yang ditanam petani hanya memenuhi kebutuhan pakan ternak, karena kualitasnya belum memenuhi standar industri makanan.”
Lebih lanjut, Darsan menjelaskan bahwa harga jagung lokal tertekan karena pabrik makanan cenderung mengimpor jagung berkualitas tinggi dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan bahan baku mereka. Akibatnya, petani lokal sulit bersaing.
Petani juga semakin tercekik oleh ketergantungan terhadap produk pabrikan, seperti benih, pupuk, dan obat-obatan pertanian, yang harganya terus meroket. Sementara itu, biaya tenaga kerja di sektor pertanian juga semakin tinggi, yang pada akhirnya menggerus pendapatan petani.
Solusi: Pertanian Berbiaya Rendah dan Diversifikasi Usaha
Menurut Darsan, salah satu solusi yang bisa diterapkan adalah penyuluhan kepada petani mengenai teknik pertanian berbiaya rendah. Selain itu, diversifikasi usaha dengan peternakan bisa menjadi alternatif untuk meningkatkan pendapatan petani, di mana limbah ternak seperti kotoran dan urin bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
“Jika diterapkan dengan baik, ini tidak hanya membantu menekan biaya produksi, tapi juga membuka peluang bagi petani untuk meningkatkan pendapatan mereka,” tambahnya.
Ada Harapan untuk Masa Depan
Meski situasi saat ini terlihat suram, harapan masih ada bagi petani di Bojonegoro. Jika pemerintah daerah mulai memprioritaskan sektor pertanian dengan alokasi anggaran yang konsisten dan program yang terarah, petani tak hanya akan keluar dari jerat kemiskinan, tapi juga berpotensi menjadi penggerak utama pembangunan daerah.
Dengan sedikit perhatian lebih dan kebijakan yang tepat, perubahan positif bukanlah hal yang mustahil. Bojonegoro, dengan kekayaannya, bisa menjadi contoh bagaimana pertanian yang dikelola dengan baik dapat mengangkat taraf hidup masyarakat.
Pengentasan kemiskinan petani menjadi tantangan yang harus diseleaikan oleh Bupati dan Wakil Bupati Terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Bojonegoro tahun 2024 mendatang.
Penulis : Syafik