Mentjari Indonesia
Tirto Adhi Soerjo Pionir Nasionalisme yang Disingkirkan

oleh 135 Dilihat
oleh
(Tirto Adhi Soerjo. Tangkapan Layar Koran De volksrant, Sabtu 17-Agustus-1985)

Dengan berdirinya Medan Prijaji, Tirto adalah jurnalis pertama yang benar-benar berpikir nasional. Dia juga orang pertama yang menjadikan surat kabar sebagai senjata dalam perjuangan untuk kemajuan rakyat. Dengan pena tajamnya ia mengecam kesewenang-wenangan penguasa kolonial dan pribumi. Orang-orang seperti Snouck Hurgronje dan DA Rinkes menyebutnya sebagai ‘penggerak besar’.

Tirto beberapa kali dihukum bahkan diasingkan ke Teluk betung di Sumatera dan ke Maluku. Gagasan dan aktivitasnya jelas jauh melampaui ‘politik etis’ yang muncul dari para penguasa kolonial. Bukan tanpa alasan sekolah-sekolah Boedi Oetomo mendapat subsidi dari pemerintah Hindia Belanda. Bapak politik etis, C.Th. van Deventer, membahas kata-kata bersayap pada tahun 1908: “Keajaiban telah terjadi, Insulinde, kecantikan tidur telah terbangun”. dikutip oleh sejarawan dengan persetujuan. Akurasinya tidak diragukan lagi.

Dalam buku-buku sejarah, Boedi Oetomo disebutkan sebagai organisasi pribumi modern pertama, padahal sebelumnya Tirto telah mendirikan organisasinya Sarekat Prijaji. Organisasi itu hanya bertahan sebentar, karena Tirto segera menyadari bahwa kaum priyayi (bangsawan rendahan terutama pegawai negeri) tidak mungkin menjadi basis gerakan massa. Karena itu ia mencari pengikat lain dan menemukannya dalam perdagangan eceran dan dalam Islam, agama mayoritas penduduk. Maka atas prakarsanya dibentuklah Sarekat Dagang Islamiah (Persatuan Pedagang Islam) yang kemudian berkembang menjadi Sarekat Islam yang akan berperan sangat penting dalam pergerakan nasionalisme. Tapi Tirto tidak akan hidup untuk melihat ini lagi.

Baca Juga :   Mentjari Indonesia Awal Beridirnya PSSI dan Kongres Pertamanya di Solo

Anehnya, Tirto Adhi Soerjo yang begitu aktif dan begitu menarik perhatian pada masanya nyaris tidak disebut-sebut dalam buku-buku sejarah gerakan nasionalis. Para ilmuwan Belanda ikut bertanggung jawab untuk ini. Dia terus-menerus didiskreditkan dalam laporan pemerintah kolonial dan, sayangnya, orang Indonesia hampir selalu mengadopsi representasi ini secara membabi buta.

Menariknya, Tirto adalah pengagum Jenderal Van Heutz yang secara brutal menumpas pemberontakan di Aceh dan menjadikannya gubernur jenderal. Van Heutz – pendukung arah etis – menjadi terkenal, antara lain, karena ‘Deklarasi Singkat’ yang harus ditandatangani oleh penguasa pribumi sebagai tanda tunduk kepada otoritas Belanda. Tirto, yang merupakan keturunan bangsawan, sangat menghargai pendekatan keras Van Heutz. Berkat ‘Deklarasi Singkat’ ini, kesewenang-wenangan pangeran pribumi terhadap rakyatnya agak tertahan. Para raja sering kali setara dengan pemerintah kolonial Belanda dalam menindas dan mengeksploitasi penduduk, terutama para petani. Paradoksnya, ‘Deklarasi Singkat’ kemudian mempromosikan munculnya Indonesia sebagai negara kesatuan.

Baca Juga :   Upaya Pembunuhan Soekarno saat Sholat Idoel Adha

Tirto mati muda. Ia lahir pada tahun 1880 dan meninggal pada tahun 1918. Akhir hidupnya, seperti halnya Sukarno, pun tragis. Keduanya meninggal setelah diisolasi sepenuhnya oleh rekan senegaranya dan orang kepercayaan mereka di tahun-tahun terakhir kehidupan mereka.

(Disklaimer : Diterjemahkan dengan menggunakan google translate sehingga akurasinya tidak dapat diandalkan)

Penulis : Syafik

Sumber : koran “De Volksrant” edisi Sabtu 17 Agustus 1985