Jamasan Bende Bitjak: Tradisi Sakral yang Menghidupkan Jejak Sunan Bonang

oleh 74 Dilihat
oleh
(Jamasan Bende Bitjak di Kabupaten Rembang Tahun 2022. Foto : https://rembangkab.go.id/)

damarinfo.com – Setiap tahun, ketika Grebeg Besar atau Hari Raya Idul Adha tiba, masyarakat Jawa menghidupkan kembali sebuah ritual sakral yang menggambarkan perpaduan antara spiritualitas Islam dan kearifan budaya lokal.

Salah satunya adalah Jamasan Bende Bitjak — upacara pencucian benda keramat berbentuk gong kecil yang diyakini sebagai peninggalan Sunan Bonang, salah satu dari sembilan Wali Songo.

Sunan Bonang: Dakwah, Seni, dan Warisan Spiritualitas

Sebagai tokoh sentral dalam penyebaran Islam di Jawa, Sunan Bonang tak hanya dikenal sebagai ulama dan mubalig. Ia juga ahli dalam menyampaikan nilai-nilai agama lewat seni dan budaya, menjembatani ajaran tauhid dengan tradisi lokal.

Kini, makamnya diyakini berada di Desa Kutorejo, Kecamatan Tuban, Jawa Timur, dan menjadi destinasi ziarah utama, tempat umat Islam mengenang kiprah dakwah Wali Songo. Salah satu peninggalannya, Bendé Bitjak, menjadi fokus ritual tahunan yang sarat makna.

Ritual yang Hidup dari Zaman Kolonial

Catatan koran kolonial De Sumatra Post edisi 26 Mei 1930 menyebutkan bahwa ritual ini telah lama berlangsung di Tuban. Gong kecil tersebut dipercaya sebagai benda pusaka yang dibawa langsung oleh Sunan Bonang. Kala itu, ribuan peziarah datang setiap tahun, yakin bahwa air bekas pencucian Bende membawa berkah dan perlindungan.

Baca Juga :   Orang Tuban dalam Laporan Kolonial: Pemberani, Mandiri, dan Tak Mudah Menyerah

Ritual dimulai dengan slametan sederhana: sesaji berupa ketan kuning dan parutan kelapa manis disiapkan sebagai lambang syukur. Walau tak dikonsumsi, sesaji ini menjadi rebutan karena diyakini mengandung keberuntungan.

(Tangkapan Layar Potongan Artikel di De Sumatra edisi 26-5-1930)

Simbol dan Sakralitas dalam Setiap Gerak

Saat asap dupa mulai mengepul, juru kunci membuka pembungkus Bende dan Taboeh, bola tanah liat pemukul gong. Pembungkus terdiri dari tujuh lapis kain katun, yang kemudian disobek dan langsung diperebutkan para peziarah sebagai jimat keberkahan.

Prosesi mencapai puncaknya ketika Bende dan Taboeh dimandikan dengan air bunga. Air suci ini lalu diperebutkan dengan penuh semangat: ada yang menampungnya dengan botol, ada yang menyeka wajah, bahkan meminumnya.

Kini Berpindah ke Rembang: Jejak yang Tak Terhapus

Meskipun dulunya dilaksanakan di Tuban, kini tradisi Jamasan Bende Bitjak dilangsungkan di Rembang, tepatnya di Desa Bonang, Kecamatan Lasem Kabupaten Rembang — kompleks yang diyakini sebagai  Petilasan  Sunan Bonang.

Menurut laman resmi Pemkab Rembang, Bende Bitjak yang kini disebut Bende Becak diyakini sebagai utusan Kerajaan Majapahit bernama Becak, yang pernah mengantar surat penolakan Brawijaya V terhadap ajakan Sunan Bonang untuk memeluk Islam.

Baca Juga :   Mentjari Toeban Ranggalawe, Si  Pemberontak yang Jadi Pahlawan

Setelah menyampaikan suratnya, Becak tak kunjung pergi. Ia menyanyikan tembang hingga mengganggu para santri. Saat ditanya, para santri menyebut suara itu milik Becak. Namun Sunan Bonang justru berkata, “Itu suara bende.” Saat diperiksa, Becak telah menghilang, dan di tempatnya hanya ada gong kecil — diyakini sebagai jelmaan utusan Majapahit tersebut.

Lebih dari Sekadar Gong

Dalam pandangan masyarakat, Bende Bitjak bukan sekadar benda mati. Ia adalah simbol kehadiran Sunan Bonang, lambang keberkahan, dan pengingat nilai-nilai luhur Wali Songo: kesederhanaan, pengabdian, dan keteguhan menyebarkan ajaran Islam secara damai.

Warisan yang Terus Berdenyut

Tradisi ini menjadi jembatan spiritual antara masa lalu dan masa kini. Di tengah modernisasi, masyarakat masih memelihara rasa hormat terhadap benda pusaka, percaya bahwa benda-benda itu adalah bagian dari hikmah spiritual dan identitas budaya.

Bagi siapa pun yang menyaksikan atau terlibat, Jamasan Bende Bitjak bukan hanya ritual. Ia adalah pengingat akan akar, tentang pentingnya menghormati tradisi, dan tentang bagaimana budaya lokal menyatu dengan keyakinan dan sejarah.

Penulis : Syafik

Sumber artikel : (De Sumatra post Edisi 26-05-1930, diunduh dari delpher.nl,  diterjemahkan dengan chat.qwen.ai)