Mentjari Toeban
Ranggalawe, Si  Pemberontak yang Jadi Pahlawan

oleh 822 Dilihat
oleh
(Ilustrasi Perang Majapahit dan Tuban. Sumber : https://ijir.iain-tulungagung.ac.id/rehabilitasi-untuk-ranggalawe-sang-adipati-tuban/)

Damarinfo.com –  Ranggalawe untuk kerajaan Majapahit bisa disebut sebagai pemberontak. Nyatanya  rakyat Tuban, menganggap Ranggalawe adalah pahlawan.

Kidung Ranggalawe adalah salah satu catatan sejarah berbentuk sastra yang merekam perjuangan Ranggalawe mendirikan Kerajaan Majapahit dan perjuangannya mempertahankan Tuban dari serangan kerajaan yang didirikanya.

Ada banyak karya satra yang juga menulis dengan bahasa sastra jawa kuno yang juga menceritakan kisah pahlawan Tuban ini, semisal Serat Pararathon dan Kidung Harsa –Wijaya.

Dalam bagian kedua Kidung Ranggalawe berlatarkan beberapa tahun setelah perang. Raden Wijaya atau Raja Kertarajasa mengangkat sahabat-sahabatnya atau abdi yang membantunya memenangkan perang di berbagai jabatan di kerajaannya.

Kala mendengar berita pengangkatan Nambi sebagai patih, Lawe yang diangkat menjadi Menteri Mancanegara di Tuban marah. Menurutnya, dia dan Sora telah mempertaruhkan nyawa mereka berdua selama perang serta pembangunan negeri, tapi justru raja menghadiahi pengorbanan mereka dengan tidak setimpal. Lawe pun berangkat ke Kerajaan Majapahit untuk mempertanyakan keputusan Raja Kertarajasa.

Tindakan mempertanyakan keputusan Raja ini membuat pejabat keraton lain jengkel dan marah. Kebo Anabrang tidak kuasa menahan amarah. Kupingnya telah panas. Kebo Anabrang berdiri, menuding Lawe, lalu menyeru, “Jika kamu memang berani berontak, segeralah pulang dan kumpulkan sanak atau prajuritmu.”    (Lawe ko ya wani yan, ndaga pamulihagelis, atag wandhu, -wargantamukty agagaman.”) Kidung Rangga Lawe, VIII, 38, hlm. 66

Lawe yang mendengar ucapan Kebo Anabrang lekas pergi meninggalkan balai tanpa pamit. Sepeninggal Lawe, raja gusar dengan protes abdinya itu. Dia tidak pernah menduga bahwa keputusannya akan mengundang perlawanan.

Setelah keluar dari balai pertemuan, di luar keraton, kemarahan Lawe yang sudah mencapai ubun-ubun dilampiaskan pada barang-barang di sekitarnya. Sora bermaksud mendatangi Rangga Lawe dan menasehatinya, tapi malah dikejutkan dengan permintaan kerabatnya itu. Sontak, Sora segera berubah; dia merasa kasihan dengan keponakannya dan memintanya untuk mempertimbangkan perbuatan atau rencana pemberontakannya sekali lagi.

Baca Juga :   Refleksi Pemikiran Soekarno, Gusdurian: Modernisasi Pembangunan Jangan Hilangkan Kearifan Lokal

“Pan tan marya derangrusak wawangunan, malah sirna aradin, dadi asmu kagyat, sapraptanira Sora, linesu Khadgane angling, lah paman Sora, patenanengsun iki.” Terjemahan: “Karena tak juga berhenti merusak bangunan, malah rusak tak bersisa, [Lawe] terkejut dengan kedatangan Sora lapar kerisnya lalu berkata, ‘Paman Sora, bunuh saya.’” Kidung Rangga Lawe, IX, 17, hlm. 69

Lawe memutuskan pulang ke Tuban, tetapi sebelumnya dia mengirimkan pesan ancaman kepada orang-orang Wilatikta/Majapahit

(Ilustrasi Wajah Ranggalawe. Sumber : https://www.jejaktapak.com/2018/08/19/gonjang-ganjing-cawapres-dan-pemberontakan-ranggalawe/)

Sepulangnya di Tuban, para punggawa keraton Tuban yang telah mendengar rencana pemberontakan Lawe segera menyetujui dan mendukung keputusan tuan mereka, bahkan masyarakat di Tuban, dari berbagai kalangan, tua mudadan petani juga ikut mengangkat senjata. Tampak, hasrat pribadi Rangga Lawe telah menjadi hasrat kolektif—masyarakat Tuban.

Serangan pertama pasukan kerajaan Majapahit yang dipimpin oleh Patih Nambi, berhasil dipukul mundur oleh Pasukan Rangga Lawe yang dipimpin oleh Gagarang Tambak Wisti dan Gagarang Tambak Bhaya. Meski pada awalnya Pasukan Tuban sempat dipukul mundur, namun setelah Rangga Lawe turun ke medan laga, keadaan berbalik dan membuat semangat pasukan Tuban semakin besar menggempur Pasukan Majapahit. Rangga Lawe pun menghadapi Patih Nambi, namun karena memang dalam olah kanuragan Patih Nambi memang dibawah Rangga Lawe, akhirnya Patih Nambi kalah dan memutuskan mundur ke arah Sungai Tambakberas dan kembali ke Keraton.

Perang itu telah membuat banyak abdi berpangkat tinggi gugur. Itu kerugian besar bagi Majapahit. Raja Kertarajasa pun mengumpulkan seluruh pejabat kerajaan untuk mempersiapkan serangan ke du ke Tuban. Tidak diketahui apakah pasukan gelombang kedua ini lebih besar daripada gelombang sebelumnya. Namun ada banyak nama-nama dari pejabat bertanda menteri yang disebut pujangga bergabung dalam pasukan itu, bahkan sang Raja pun turut dalam gelombang kedua itu. Salah dua pejabat tinggi dalam pasukan ialah Sora dan Kebo Anabrang. Nambi tidak disebutkan. Pasukan Majapahit dideskripsikan dengan penuh megah. Tidak hanya kuda dan pasukan bersenjata, tetapi juga ada payung tanda jabatan dan tetabuhan.

Baca Juga :   Mentjari Bodjonegoro Siapa Boepati Bodjonegoro Tahun 1937?  R. Dradjat atau R.T. Prawirosoedjono?

Setelah mendapat kabar dari Ki Tambak Bhaya, Rangga Lawe menyuruh abdinya untuk mengumpulkan bala tentara dan segera mengaturnya sesuai dengan strateginya. Perang pun berkecamuk kembali, sejak permulaan, perang berjalan begitu sengit. Banyak pejabat tanda menteri dari Majapahit yang tewas dalam peperangan. Pasukan Tuban semakin menggila setelah Adipati Rangga Lawe menjanjikan hadiah jika memenangkan pertarungan itu.81 Sementara itu, Raja Majapahit semakin gundah gulana.

Akhirnya, Rangga Lawe bertemu dengan Kebo Anabrang. Pertempuran mereka berdua sangat sengit. Mereka saling bertukar pukulan, tendangan, adu keris dan tangkis di atas kuda. Saat Kebo Anabrang beristirahat di pinggir sungai,, Lawe mendekatinya diam-diam menyerang secara tiba-tiba. Kuda Anabrang berhasil dibunuh oleh Lawe.

Pertarungan terjadi di darat dan air, tetapi sewaktu di air Anabrang menyepakkan air ke arah Lawe hingga membuat penglihatannya terganggu. Lawe semakin kewalahan bertarung di air dan secepat kilat Anabrang menyerangnya serta membenamkannya ke dalam air. Serangan itu membuat Lawe kekurangan udara dan akhirnya mati.

Sora yang melihat kematian keponakannya terlihat marah. Dia mendekati Kebo Anabrang sembari membawa keris dan berkata ada lintah di tubuh bagian belakangnya.  Kebo Anabrang yang takut akan lintah berteriak kaget, berbalik, dan tertusuklah dadanya oleh keris Sora.

Dan perjuangan Rangga Lawe ini dicacat oleh Masyarakat Tuban menjadi pengukuh atas gelar kepahlawanan Rangga lawe, hingga Tuban menjuluki dirinya sebagai Bumi Rangga Lawe.

Penulis : Syafik

Sumber : Skripsi Ahmad Fatkhur Hidayat Fajar, Program Studi Sejarah, Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *