“Ironis” sebuah kata yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pengelolaan anggaran di Bojonegoro. Bagaimana tidak, sementara angka kemiskinan terus merangkak naik, namun nilai Sisa Lebih Pembiyaan Anggaran (SiLPA) juga ikut naik. Nilainya juga tidak kecil selalu di atas angka Rp. 2 triliun. “Ndah neo nek ditukokno Chip, oleh pirang B kuwi” kata para Sloter game yang lagi viral saat ini.
Tahun 2021 SiLPA Kabupaten Bojonegoro diperkirakan mencapai Rp. 2,8 trilliun. Sementara angka kemiskinan mencapai 13,27 persen dari penduduk atau sebanyak 166 ribu jiwa lebih. jumlah ini meningkat dibanding tahun 2020 yang sebesar 161 ribu jiwa atau ada penambahan 5.420 jiwa. Prosentase dan Jumlah Penduduk Miskin tahun 2021 menempatkan Bojonegoro pada ranking 13 dari 38 Kabupaten/Kota dengan prosentase kemiskinan tertinggi.

Ukuran kesejahteraan rakyat lain yang dipakai adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang digunakan untuk mengukur hasil pembangunan dari suatu daerah/wilayah dalam tiga dimensi dasar pembangunan, yaitu: lamanya hidup, pengetahuan/tingkat pendidikan dan standard hidup layak. Intepretasinya semakin tinggi nilai IPM suatu negara/daerah, menunjukkan pencapaian pembangunan manusianya semakin baik.
Untuk IPM Bojonegoro dari tahun ke tahun terus naik. Tahun 2019 angka IPM nya adalah 68,75, tahun 2020 naik 69,04 dan tahun 2021 naik lagi menjadi 69,59. Meski naik IPM Kabupaten Bojonegoro masih di rangking 13 dari 38 Kabupaten/Kota di Jawa Timur.

Data ini bisa jadi menunjukan ada yang salah dalam pengelolaan anggaran di Bojonegor. APBD Kabupaten Bojonegoro begitu besar tapi tak mampu menekan angka kemiskinan dan mengakselerasi IPM.
Coba dibandingkan dengan Kabupaten/Kota yang lain, pasalnya dengan APBD yang jauh dibawah APBD Kabupaten Bojonegoro. Nyatanya angka kemiskinannya rendah dan IPM nya tinggi. Sebut saja Kabupaten Blitar dengan kekuatan APBD sebesar Rp. 2,2 triliun atau setara dengan SiLPA APBD Bojonegoro tahun 2020, angka kemiskinannya hanya 9,63 persen dengan IPM sebesar 78,98 dan berada pada peringkat 5 dalam rangking IPM se Jawa Timur.
Tentu saja ada program dari Pemkab Bojonegoro untuk peningkatan kesejahteraan ini. Sebut saja Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT), UHC atau jaminan kesehatan. Ada juga bedah rumah, Bantuan Khusus Kepada Pemerintah Desa (BKD), Revitalisasi Pasar, Stimulan BUMDes, Kartu Pedagang Produktif (Kredit Ultra Mikro), Kartu Petani Mandiri (KPM), Beasiswa Mahasiswa, BOS Madrasah, DAK Aliyah dan program-program lainnya. Namun nyatanya program-program tersebut tak mampu menahan laju angka kemiskinan dan mendongkrak IPM.

Begitu banyak program tentu membutuhkan anggaran yang besar, seharusnya anggaran bisa dimaksimalkan untuk pembiayaan program-program tersebut dan tidak perlu ada SiLPA yang nilainya sedemikian besar. Tujuannya tentu agar kemiskinan dapat segera teratasi dan IPM kita dapat terdongkrak, setimpal dengan besarnya APBD tersebut.
Tiga tahun SiLPA APBD Bojonegoro selalu di atas Rp. 2 Triliun, tahun 2019 nilai SiLPA adalah Rp. 2,2 triliun, tahun 2020 SiLPA naik lagi sebesar Rp. 2,4 triliun, tahun 2021 diperkirakan SiLPA Kabupaten Bojonegoro Rp. 2,8 triliun.

Evaluasi komprehensif sangat diperlukan untuk mengetahui penyebab tidak maksimalnya program-program yang menjadi andalan Bupati Bojonegoro Anna Muawanah tersebut.
Malu dong Bojonegoro dengan Kabupaten/kota dengan APBD yang besarnya jauh di bawah Bojonegoro tapi mampu membuat masyarakatnya sejahtera. Salah satu ukuruan yang bisa dipakai kemiskinan dan IPM itu.
Infrastruktur jalan jembatan adalah modal penting untuk pembangunan, namun perlu dibarengi dengan memaksimalkan program pengentasan kemiskinan dan peningkatan IPM.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko