damarinfo.com – Kabupaten Bojonegoro kini mulai bersinar sebagai bintang baru dalam produksi cabai rawit di Jawa Timur. Dengan peningkatan signifikan pada luas panen dan jumlah produksi cabai rawit dalam dua tahun terakhir, Bojonegoro tak lagi hanya jadi lumbung padi atau ladang migas — tapi juga dapur pedas yang layak diperhitungkan .
Namun, jika bicara soal cabai besar , ada satu kecamatan yang patut diacungi jempol: Sugihwaras. Bukan hanya luas lahannya yang mengungguli daerah lain, hasil panennya pun bikin mata pedih — alias melimpah. Tapi bagaimana dengan kecamatan lain? Apakah ada yang mampu menandingi “pedas” Sugihwaras?
Mari kita kupas lebih dalam menggunakan data resmi dari Bojonegoro dalam Angka 2025 .
Sugihwaras: Raja Cabai Besar
Kalau bicara cabai besar , nama Sugihwaras langsung mencuat. Dengan luas panen 68 hektare pada 2023 dan naik menjadi 111 hektare pada 2024 , kecamatan ini bukan hanya paling luas, tapi juga paling produktif. Hasilnya? 6.622,5 kuintal di 2023 dan melonjak menjadi 10.797 kuintal di 2024 .
Itu artinya, satu kecamatan saja mampu menyuplai ribuan ton cabai besar — cukup untuk membuat banyak ibu rumah tangga tersenyum lega, atau pedagang sayur bernapas lega.
Temayang: Pedas yang Menggigit
Berbeda dengan cabai besar, cabai keriting lebih suka bermain di wilayah Temayang. Di tahun 2023, Temayang punya luas panen 16 hektare , meski turun drastis menjadi 2 hektare di 2024 , produksinya tetap stabil: 3.300 kuintal di 2023 dan 350 kuintal di 2024 .
Meskipun penurunan terjadi, Temayang masih jadi juara dalam hal produksi cabai keriting. Mungkin seperti kembang api: meski singkat, efeknya tetap terasa.
Kedungadem: Penguasa Rawit Nusantara
Sementara itu, cabai rawit dikuasai oleh Kedungadem. Di tahun 2023, luas panennya mencapai 55 hektare , meski di 2024 turun menjadi 19 hektare . Namun, produksinya tetap tinggi: 8.725 kuintal di 2023 dan 3.168 kuintal di 2024 .
Dengan jumlah sebesar itu, Kedungadem layak disebut sebagai “kota seribu rawit” di Bojonegoro. Cukup untuk bikin lidah merinding seantero pulau Jawa.
Margomulyo: Zona Mati Cabai
Di ujung lain cerita ini, ada Margomulyo. Kecamatan ini tidak memiliki luas panen maupun produksi cabai untuk ketiga jenis cabai tersebut, baik di 2023 maupun 2024.
Jika dianalogikan, Margomulyo seperti dapur kosong yang belum dinyalakan apinya. Apakah karena faktor iklim, minat petani, atau alasan ekonomi? Ini bisa jadi peluang besar untuk pengembangan pertanian di masa depan.
Tren Pertanian Cabai: Naik-Turun Seperti Roller Coaster
Secara keseluruhan, ada tren menarik dari 2023 ke 2024. Beberapa kecamatan mengalami peningkatan luas panen dan produksi , seperti Sugihwaras dan Kedungadem. Sementara itu, ada juga yang mengalami penyusutan , seperti Temayang dan beberapa daerah lainnya.
Ini bisa jadi cerminan dari dinamika harga pasar, perubahan iklim, atau bahkan kebijakan lokal yang kurang mendukung. Tapi satu hal yang pasti: data ini bisa jadi panduan bagi pemerintah daerah untuk mengambil langkah strategis .
Petani Itu Penjaga Api Rempah Nusantara
Cabai mungkin terlihat kecil, tapi perannya besar. Ia adalah simbol semangat dan rasa dalam masakan Indonesia. Dan di Bojonegoro, ada kecamatan-kecamatan yang dengan gigih menjaga tradisi itu tetap hidup.
Namun, di tengah pencapaian luar biasa dari Sugihwaras, Temayang, dan Kedungadem, kita juga harus mulai bertanya: bagaimana nasib kecamatan yang belum “melek” cabai? Apa yang bisa kita lakukan agar mereka juga ikut menikmati hasil panen?
Mungkin inilah saatnya para pemimpin daerah, penyulam program pertanian, dan komunitas petani saling bergandengan tangan. Karena semakin banyak tangan yang membantu, semakin pedas dan lezatlah cita rasa negeri ini .
Penulis : Syafik
Sumber Data : Bojonegoro dalam Angka 2025