Jembatan Kaliketek Bojonegoro: Kapan Dibangun?

oleh 2374 Dilihat
oleh
(ilustrasi by chatgpt)

damarinfo.com – Ketika masyarakat Bojonegoro melintasi jalur menuju Kabupaten Tuban lewat Banjarsari, kita akan menjumpai Jembatan Kaliketek, dengan satu pemandangan mencolok: jembatan rel tua di sebelahnya, sudah tak terpakai dan dipenuhi karat. Jembatan inilah yang dulu menghubungkan Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Tuban di masa kolonial.

Kapan tepatnya jembatan tua itu dibangun? Sebuah artikel dari De Locomotief, tertanggal 29 Januari 1919, memberi kita petunjuk tentang asal-usul dan konteks sejarah pembangunan Jembatan Kaliketek—kisah tentang keuletan, krisis, dan siasat bertahan hidup di tengah keterbatasan.

Saat Rembang Dihubungkan Rel Besi

Awal tahun 1919, pemerintah kolonial Belanda sedang gencar membangun jaringan transportasi darat, terutama di kawasan pesisir utara Jawa seperti Rembang dan Bojonegoro. Tujuannya jelas: menghubungkan sentra produksi komoditas ekspor—gula, tembakau, dan kayu—dengan pelabuhan utama.

Salah satu proyek penting kala itu adalah pembangunan jalur kereta api Staatsspoorwegen (SJS) dari Djatirogo ke Pamotan, yang dijadwalkan beroperasi awal Februari 1919. Jalur ini dirancang untuk membuka isolasi wilayah pedalaman, termasuk Toeban (Tuban) yang saat itu belum terjangkau secara logistik.

Namun, pembangunan ini tidak mulus. Krisis material akibat dampak Perang Dunia I membuat banyak proyek harus berhemat. Rel-rel bekas dan jembatan tua pun dirakit ulang, termasuk untuk membangun Jembatan Kaliketek yang melintasi Sungai Bengawan Solo.

Jembatan Kaliketek: Rakit Ulang Sejarah di Atas Bengawan

Jembatan Kaliketek bukan sekadar infrastruktur, ia adalah simbol ketangguhan. Dibuat dari bagian-bagian jembatan lama yang dipindahkan dari lokasi lain, konstruksi ini tetap didesain untuk menahan beban kereta api.

Baca Juga :   Menyusuri Bojonegoro–Tuban Zaman Kolonial: Kisah di Balik Pesona Alam dan Jejak Sejarah yang Memudar

Namun, pembangunannya belum rampung sepenuhnya. Bagian utama jembatan masih menunggu kiriman material baru dari Belanda. Dalam laporan De Locomotief, disebutkan bahwa bahan-bahan tersebut masih dalam perjalanan saat artikel itu ditulis.

Proyek ini berlangsung di tengah kompetisi sengit antara perusahaan kereta api negara (SJS) dan swasta (NIS). Meski penuh keterbatasan, pembangunan tetap berjalan—dengan banyak improvisasi dan strategi bertahan hidup.

Manfaat Ekonomi yang Mulai Terasa

Meski belum selesai seluruhnya, jalur kereta Bodjonegoro–Djatirogo sudah dibuka untuk angkutan barang. Distribusi masih didominasi oleh barang milik NIS, namun harapan mulai tumbuh. Diharapkan, produk lokal seperti kayu dan tembakau akan menjadi andalan utama jalur ini.

Selain itu, akses ke Rembang menjadi jauh lebih efisien. Jika sebelumnya warga harus memutar lewat Tjepoe–Biora, jalur baru ini memberikan rute yang lebih pendek dan cepat.

Ketika Alam Memberi Ujian

Sayangnya, tantangan alam segera menghadang. Setelah musim kering panjang, hujan deras tiba-tiba mengguyur, menyebabkan sekitar 1.000 bouw (±250 hektare) ladang jagung rusak di distrik Baoeréno (Baureno).

Musibah ini terjadi di tengah kelangkaan pangan, setelah dua tahun berturut-turut panen gagal. Tak hanya tanaman, wabah penyakit seperti influenza dan surra (pada ternak) pun menambah penderitaan masyarakat.

Spekulan dan Intrik di Tengah Kelaparan

Situasi genting membuka ruang bagi spekulasi dan kecurangan. Seorang pedagang Tionghoa tertangkap menyembunyikan 50 pikul beras (sekitar 306 kg). Dengan berpura-pura tidak punya stok—strategi yang dikenal sebagai “tida ada”—ia berharap bisa menjual dengan harga lebih tinggi.

Baca Juga :   Lambang Kota: Dari Soerabaia ke Surabaya

Namun, setelah digerebek polisi, beras itu terbukti disembunyikan. Saat dibawa ke pasar keesokan harinya, warga semakin marah karena beras itu telah dicampur dengan dedak.

Ketika Bupati Menjadi Pedagang Beras

Melihat situasi makin memburuk, pemerintah daerah turun langsung mengatur distribusi beras. Warga pribumi hingga orang Eropa mengantre panjang di kantor distribusi, masing-masing hanya boleh mengambil jatah untuk lima hari.

Meski banyak mengeluh soal kualitas, otoritas lokal menegaskan: “Situasi di sini masih lebih baik daripada di Belanda.”

Yang menarik, para pejabat seperti Asisten Residen dan Bupati terlibat langsung, layaknya pedagang. Mereka mengawasi timbangan dan memastikan pembagian tepat, sementara Kontrolir bahkan memantau langsung di pasar.

Akhir Kata: Dari Besi Bekas Lahir Simbol Keuletan

Kisah Jembatan Kaliketek bukan hanya tentang logam dan rel, tapi juga tentang keteguhan, improvisasi, dan solidaritas. Dari besi tua yang dirakit ulang, dari rel bekas yang menembus isolasi pedesaan, hingga para pejabat yang ikut antre dan berdagang beras—semua menunjukkan bahwa sejarah bukan hanya soal kemenangan, tapi juga daya tahan.

Kini, di abad ke-21, sisa-sisa Jembatan Kaliketek berdiri sebagai pengingat: bahwa bahkan dari reruntuhan, sesuatu yang kokoh bisa dibangun—asal ada tekad.

Penulis : Syafik

Sumber : De Locomotief, 29 Januari 1919