Damarinfo.com – Di kantor-kantor dinas Kabupaten Bojonegoro, ruang-ruang rapat nyaris selalu terhidang nasi kotak, kopi hangat, dan camilan yang kadang tak disentuh. Jumlahnya tak tanggung-tanggung—Rp51,25 miliar dianggarkan untuk konsumsi rapat sepanjang tahun 2025.
Sementara itu, di sudut lain kabupaten ini, ada 147 ribu jiwa yang hidup hanya dengan penghasilan dibawah Rp15 ribu per hari—uang yang bahkan tak cukup untuk membeli satu porsi nasi di warung tenda.
Kontras semacam ini bukan hanya soal angka. Ia adalah potret ketimpangan yang hidup berdampingan di hari yang sama, di tanah yang sama.
Anggaran Mengalir Deras ke Meja Rapat
Data dari Aplikasi Monitoring Evaluasi Lokal (AMEL) menunjukkan bahwa total anggaran makanan dan minuman rapat tersebar ke 104 satuan kerja.
Lima instansi dengan belanja konsumsi terbesar adalah:
-
Dinas Pendidikan: Rp10,17 miliar
-
Dinas Pemberdayaan Perempuan: Rp3,54 miliar
-
Dinas Kepemudaan dan Olahraga: Rp3,29 miliar
-
Dinas Kesehatan: Rp2,74 miliar
-
Dinas Ketahanan Pangan: Rp2,69 miliar
Jika dihitung dengan harga porsi makan Rp15.000, maka Rp51,25 miliar itu setara dengan 3,4 juta porsi makanan. Artinya, cukup untuk memberi makan dua kali sehari kepada lebih dari 4.600 orang miskin selama satu tahun penuh.
Efisiensi yang Bisa Menjadi Solusi
Anggaran konsumsi rapat Dinas Pendidikan saja bisa:
-
Membiayai gaji satu tahun untuk 280 guru honorer
-
Menyediakan 67.000 paket alat tulis untuk siswa miskin
-
Mendanai pelatihan keterampilan untuk ribuan pemuda
Sementara itu, anggaran Dinas Pemberdayaan Perempuan cukup untuk 7.000 paket modal usaha bagi ibu kepala keluarga, dan anggaran Dinas Pertanian seharusnya bisa membagikan lebih dari 80 ribu liter pupuk subsidi untuk petani kecil.
Memang, sebagian besar pengadaan dilakukan melalui e-purchasing, yang menjamin transparansi administrasi. Tapi ini belum menjawab pertanyaan paling mendasar:
“Apakah semua rapat itu benar-benar perlu?”
Rapat Perlu, Tapi Rakyat Lebih Perlu
Bayangkan jika setiap rapat di atas Rp50 juta menyisihkan 10% untuk warga sekitar lokasi rapat. Atau jika seluruh dinas melakukan “diet anggaran rapat” sebesar 30%, maka akan terkumpul sekitar Rp15,3 miliar—cukup untuk 5.000 paket sembako selama satu tahun.
Rapat tetap dibutuhkan, tentu saja. Tapi yang lebih dibutuhkan adalah keberanian untuk meninjau ulang kebiasaan yang perlahan menjauhkan pemerintah dari rakyatnya. Saatnya Bojonegoro menggeser prioritas: dari meja rapat ke meja rakyat, dari kue lapis ke posyandu, dari kopi premium ke program pengentasan kemiskinan.
Jangan Lupakan Piring yang Kosong
Bojonegoro kini berdiri di persimpangan anggaran. Di satu sisi ada tradisi birokrasi yang gemar rapat dan suguhan mewah. Di sisi lain ada kenyataan warga miskin yang hanya bisa makan sekali sehari—dan itu pun belum tentu bergizi.
“Sebelum menyusun menu hidangan rapat, barangkali ada baiknya melihat dulu isi dapur tetangga. Jangan-jangan, apa yang dihidangkan hari ini adalah apa yang mereka impikan sejak kemarin.”
Penulis : Syafik
Sumber data : AMEL LPSE Bojonegoro