Saat Dunia Bergejolak, Jawa Menggema Diam-Diam
Tahun 1918, ketika Perang Dunia I masih berkecamuk di Eropa, sebuah laporan kecil tapi penting lahir dari Hindia Belanda: “Het Saminisme.” Laporan itu merupakan hasil pengamatan Tjipto Mangoenkoesoemo tentang gerakan Samin. Namun, yang menarik, laporan ini tidak diterbitkan oleh pemerintah, melainkan oleh Persatuan “Insuline”, sebuah kelompok progresif yang menaruh perhatian pada arus-arus spiritual yang tumbuh diam-diam di desa-desa Jawa.
Dalam kata pengantarnya, B. Walbeem—seorang pejabat Belanda sekaligus anggota komite penyelidik spiritualitas pedesaan—menyampaikan pandangannya yang berubah setelah membaca laporan Tjipto. Bagi Walbeem, apa yang semula tampak sebagai perlawanan bodoh justru menyimpan kebijaksanaan lokal yang dalam.

Ketika Laporan Menyentuh Nurani Kolonial
Tjipto Mangoenkoesoemo, tokoh pergerakan dan intelektual Hindia Belanda, menyusun laporan tersebut dengan pendekatan humanis. Ia mengangkat Samin Soerontiko bukan sebagai penghasut atau kriminal, tetapi sebagai pemikir yang menolak ketimpangan.
B. Walbeem, dalam pengantar laporan itu, mengakui bahwa sudut pandang Tjipto membuka matanya.
“Selama ini kami memandang Samin sebagai sosok aneh, bahkan subversif. Tapi tulisan ini memaksa kami melihat dengan cara yang baru.”
Dengan kata lain, lensa kolonial mulai retak, dan cahaya dari desa-desa mulai masuk.

Dari Pengasingan Samin ke Pengakuan Moral
Samin Soerontiko diasingkan ke Padang pada tahun 1907 dan wafat tujuh tahun kemudian. Namun, seperti dicatat Tjipto, ajarannya tetap menyebar, terutama tentang penolakan terhadap pajak, kewajiban kerja rodi, dan kepemilikan sumber daya alam oleh negara.
Walbeem menilai bahwa gerakan Samin, jika dilihat dari dekat, bukan pemberontakan, melainkan ekspresi keadilan lokal.
“Ia bukan agitator. Ia adalah pengingat, bahwa tanah ini bukan hanya milik negara, tapi milik mereka yang hidup darinya.”
Ketika Sumber Daya Diprivatisasi, Suara Samin Menggema
Dalam laporannya, Tjipto mengkritik kebijakan kolonial yang merampas hutan jati, melarang rakyat membuat garam, dan melelang telur penyu.
Samin menyampaikan prinsip radikal:
“Jika bumi ini milik semua orang, maka hasilnya juga bukan milik segelintir penguasa.”
Walbeem tidak membantah. Ia justru menyesali bahwa suara seperti ini tidak pernah dipertimbangkan secara serius oleh pemerintah Hindia Belanda.
“Barangkali, jika lebih banyak suara seperti Samin kita dengarkan, pemberontakan bersenjata tak perlu terjadi.”
Relasi Perempuan dan Laki-laki: Samin Lebih Maju dari Kolonialisme
Salah satu aspek paling mengejutkan dari ajaran Samin, menurut Walbeem, adalah pandangannya tentang perempuan dan relasi sosial.
Tjipto mencatat, Samin menolak standar ganda moral yang diterapkan kepada perempuan:
“Mengapa laki-laki disebut gagah ketika berselingkuh, tetapi perempuan disebut hina?”
Dalam masyarakat kolonial yang patriarkis, pemikiran ini terasa revolusioner. Bagi Walbeem, ajaran itu mencerminkan kesadaran kesetaraan gender yang belum dicapai bahkan oleh sebagian besar masyarakat Eropa waktu itu.
Agama sebagai Dialog, Bukan Dogma
Hal yang menyentuh Walbeem secara pribadi adalah bagaimana Samin dan Tjipto merenungkan agama. Mereka mempertanyakan mengapa umat beragama sering kali menolak pertanyaan.
Tjipto menulis tentang Nabi Muhammad yang pada akhir hayatnya ingin menulis pesan, tapi dicegah oleh para sahabat:
“Siapa yang tahu? Mungkin sang nabi ingin menyampaikan kebenaran yang lebih dalam. Tapi umatnya belum siap.”
Sebagai pejabat kolonial yang beragama Kristen, Walbeem merasa pernyataan itu menusuk. Ia sadar bahwa iman yang sejati tumbuh lewat keberanian untuk bertanya, bukan sekadar menghafal.
Dari Musuh Negara Menjadi Guru Bangsa
Akhir kata pengantar, B. Walbeem menyatakan bahwa Samin seharusnya tidak diasingkan, tetapi didengarkan.
“Ia layak diberi ruang, bukan dibungkam.”
Dan tentang Tjipto, ia menulis:
“Ia telah menulis sesuatu yang akan dikenang lama setelah pemerintah ini tak ada.”
Epilog: Laporan yang Nyaris Terlupakan
Laporan “Het Saminisme” mungkin tak masuk kurikulum sejarah sekolah. Tapi dalam kata pengantar B. Walbeem, kita menemukan pengakuan langka:
Bahwa kebenaran bisa datang dari desa terpencil. Bahwa kolonialisme bisa dikritik dari dalam sistemnya sendiri. Dan bahwa, dalam diamnya, Samin Soerontiko telah mengguncang Belanda lebih dalam daripada banyak pemberontakan berdarah.
“Bumi ini bukan milikmu, Tuan. Ia milik kita semua.”
Penulis : Syafik
Sumber artikel : Kata Pengantar Laporan “Het Saminisme“, oleh Tjipto Mangoenkoesoemo, 1918