Ketika Petani Melawan: Kisah 22 Rakyat Padangan Menolak Ganti Rugi Paksa Zaman Belanda

oleh 103 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by chatgpt)

Kabar Rel dan Ancaman bagi Sawah

Bayangkan suasana pedesaan Jawa awal abad ke-20. Sawah hijau terbentang, kerbau santai berkubang di tepi jalan tanah, dan kehidupan berjalan mengikuti ritme musim tanam. Hingga suatu hari, kabar mengejutkan datang: pemerintah kolonial Belanda berencana membangun jalur kereta api dari Goendih ke Surabaya. Proyek ini akan memotong jalur sawah dan pekarangan warga.

Namun, warga tidak tinggal diam. Mereka menolak menyerahkan tanah yang telah mereka kelola turun-temurun tanpa perlawanan.

22 Petani Menolak Tawaran Murah

Pada tahun 1902, koran De Locomotief mencatat kejadian luar biasa: 22 petani dari wilayah Bodjonegoro–Padangan–Panolan menolak nilai ganti rugi dari pemerintah kolonial. Alih-alih tunduk, mereka menuntut 20 kali lipat dari harga yang ditawarkan.

Permintaan ini mengejutkan pihak Belanda. Dalam laporan koran, suasana di lapangan digambarkan soesahribut dan kacau. Biasanya, proyek kereta api berjalan mulus karena pemerintah bisa memaksa pengambilalihan lahan lewat hukum. Tapi kali ini, proyek mandek. Rel belum bisa dipasang, dan jembatan tak kunjung dibangun.

Baca Juga :   Mentjari Bodjonegoro Pemoeda Bodjonegoro Itoe Pemberani

Negosiasi: Dari Peta ke Harga

Pemerintah dan perusahaan kereta api akhirnya mengalah. Mereka memilih menyelesaikan sengketa dengan membayar. Totalnya mencapai f 60.000 gulden—jumlah yang sangat besar untuk masa itu. Setelah pembayaran selesai, proyek kembali berjalan, rel dipasang, dan jembatan diselesaikan.

Tapi lebih dari itu, warga telah membuktikan bahwa mereka bisa menegosiasikan hak. Mereka sadar bahwa tanah bukan sekadar lahan kosong, tetapi penghidupan dan masa depan.

Melawan Tanpa Kekerasan

Para petani tidak membawa senjata, tidak pula menggelar demonstrasi besar. Tapi mereka punya satu senjata: pengetahuan atas nilai tanah mereka sendiri. Mereka memilih untuk melawan lewat angka dan akal sehat.

Baca Juga :   Hoetan Djati Bodjonegoro di Era Kolonial: Intrik Penebang, Perampok, dan Ritual Mistis

Catatan De Locomotief edisi 8 November 1902 menjadi bukti tertulis perlawanan cerdas rakyat kecil. Di tengah sistem kolonial yang represif, mereka berhasil membuka ruang tawar dan memaksakan keadilan versi mereka.

Jejak yang Masih Terasa Hari Ini

Kini, mungkin tidak ada yang mengenal nama ke-22 petani itu. Buku sejarah tidak mencatat nama mereka, dan prasasti pun tak ada. Namun, rel-rel tua yang masih aktif di Jawa Timur mungkin melintasi lahan yang mereka perjuangkan.

Dan di antara tiupan angin pagi dari arah sawah Padangan, mungkin masih terdengar bisikan mereka:
“Kalau mau ambil, bayar yang pantas.” 

Penulis : Syafik

Sumber : De Locomotief edisi 8 November 1902