Ada beberapa peristiwa unik yang terjadi usai Proklamasi Kemerdekaan ala Bodjonegoro yang dikumandangkan di Alun-alun Kota Bojoengoro 24 September 1945, silam. Cerita yang membekas adalah, perjuangan pemuda Bojonegoro memaksa penjajah Jepang menyerahkan kekuasannya kepada Pemerintah Bojonegoro ketika itu.
Peristiwa unika lainya adalah para pemuda menggela aksi massa mencari para pangreh praja yang tidak jujur atau kalau sekarang disebut reformasi. Mereka itu dari bupati hingga ke pegawai terbawah. Ada lagi pertama kali penyebutan pejabat dengan sebutan saudara.
Dan yang paling unik, Bojonegoro memiliki sistem pemerintah daerah sendiri yang tidak sama dengan ketentuan dari pemerintah pusat. Semua peristiwa itu tidak lepas dari para pemuda di wilayah Karesidenan Bodjonegoro.
Nah, kita mulai dari peristiwa upaya memaksa Jepang menyerahkan kekuasan kepada Pemerintah Daerah Bojonegoro, setelah proklamasi ala Bojonegoro itu dikumandangkan. Nyatanya penjajah Jepang tidak serta mereta mau menyerahkan kekuasaanya. Upaya damai dari Komite Nasional Indonesia (KNI) Bodjonegoro melalui jalan perundingan ternyata tidak diterima penjajah Jepang. Para tentaranya (Butai) masih memegang senjata begitu pun dengan polisinya (Kenpei). Keadaan ini pun dilaporkan oleh Ketua KNI yang baru hasil sidang KNI akhir September 1945, yakni Soetarjo yang didampingi pengurus lainya yakni Soedarnadi, Abdul Soekiman dan Soedirman, kepada Residen Bodjonegoro saat itu Raden Mas Toemenggoeng Ario Soerjo.
Dalam pertemuan itu diputuskan untuk mengirim utusan ke Surabaya terdiri dari Kenpetai, dan dari KNI Oetomo, Roeslan dan Soetarjo. Pada saat bersamaan Badan Keamanan Rakjat (BKR), Polisi, Polisi Istimewa dibantu para pemuda dan lasykar-lasykar mengepung kantor-kantor yang masih dikuasai oleh Jepang. Upaya-upaya ini membuahkan hasil, Jepang akhirnya menyerah dengan mendapatkan jaminan keamanan jiwa dan hartanya.
Peristiwa berikutnya adalah soal pergantian Residen Bodjonegoro, pasalnya RMTA Soerjo diangkat oleh pemerintah pusat sebagai Gubernur Jawa Timur. Setelah Gubernur Soerjo-begitu biasa disebut, ke Surabaya tanggal 12 Oktober 1945, terjadi kekosongan jabatan Residen Bodjonegoro.
Rupaya kekosongan Residen ini menjadi salah satu sebab semakin keruhnya siutasi di Karesidenan Bodjonegoro. Untuk itu Gubernur Soerjo mengangkat Bupati Bodjonegoro, Oetomo sebagai Wakil Residen. Namun ternyata penetapan Oetomo sebagai wakil residen tidak mengatasai masalah, maka KNI Bojonegoro pun mendesak pemerintah pusat untuk menetapkan Residen Bodjonegoro dan Wakilnya.
Namun pemerintah pusat hanya menunjut Mr. Boedisoesetyo sebagai wakil residen. Ternyata keputusan ini menjadikan keadaan semakin kacau. Ketidakpercayaan kepada pangreh praja. Situasi ini mendorong para pemuda mengadakan penggeledahan kepada para pangreh praja yang tidak jujur terutama yang tersangkut kasus pembagian pakaian kepada rakyat. “Penggeledahan dilakukan kepada siapa sadja tidak pandang bulu, mulai bupati sampai asisten wedana sampai anggota pemerintahan lainya.” seperti ditulis dalam buku propinsi djawa timur dari Kementrian Penerangan tahun 1953.
Akhirnya pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada KNI untuk memilih residen, dan ditetapkan Mr. Hindromartono sebagai residen, dan disetujui oleh pemerintah pusat. Mr. Hindromartono pun dilantik sebagai Residen Bojonegoro pada tanggal 17 November 1945, di Kantor Keresidenan Bodjonegoro. Pada pelantikan inilah pertama kali panggilan saudara-saudara menggantikan tuan-tuan dalam pertemuan resmi. Hal ini dilontarkan oleh Bupati Lamongan Tjokrosoedirjo yang hadir pada pelantikan tersebut. Tentu saja ini belum pernah terjadi dalam sejarah pertemuan-pertemuan resmi pada saat itu.
Residen baru bersama KNI dan Commitee Van Actie yang dibentuk oleh angkatan muda pun melakukan rapat untuk menyelesaikan masalah. Keputusan rapat adalah diterbitkanya Keputusan Residen tertanggal 15 Desember 1945 nomor A.2713/2 tentang Peraturan Susunan Pemerintahan. Keputusan rapat ini disambut baik oleh rakyat, dan segala kerusuhan bisa diredam.
Di antara isi dari keputusan tersebut adalah diadakannya pemilihan langsung oleh rakyat dari kepala desa/lurah, camat hingga bupati. Keputusan lain adalah pembentukan komisarisan daerah Bodjonegoro yang tidak ada dalam ketentuan peraturan pemerintah pusat. Residen Mr. Hidromartono juga sudah membicarakan tentang peraturan tersebut dengan Gubernur Jawa di Kediri, dan tidak mendapatkan teguran. Sehingga Peraturan Residen tersebut dilaksanakan mulai bulan Februari 1946.
Namun setelah dilaksanakan ternyata residen mendapatkan teguran dari Gubernur Jawa Timur, dan Pemerintah Pusat. Namun Mr. Hindromartono bergeming dan keputusan residen tersebut mendapatkan dukungan dari KNI Bodjonegoro. Meski perbedaaan tata pemerintahan ini menyebakan kelembatan pembayaran gaji para pegawai, Mr. Hindromartono tetap pada keputusanya. Untuk mengatasi hal itu, Mr. Hindromartono menentukan “…sebutan di luar tetap komisaris, tetapi sebutan resmi serta tjap dan lain sebagainya dirubah kembali menjadi residen, kantor karesidenan; sistem pemilihan diteruskan, sebutan bupati, wedana, althans sebutannya dikembalikan. Kecuali Ophister dirubah menjadi tjamat”
“Kenakalan” Bodjonegoro ini mendapatkan perhatian serius dari pemerintah pusat yang pada akhir tahun 1946 ibu kotanya sempat pindah ke Jogjakarta. Mr. Hindromartono harus menjelaskan dalam forum yang dihadiri oleh Menteri Dalam Negeri Mr. Roem, Menteri Muda Dalam Negeri Mr. Wijono, hadir juga Mr. Harmani dari Kementerian Dalam Negeri. Namun hasil pertemuan tersebut tidak diketahui.
“Hanja sadja tahu-tahu pada bulan Djanuari 1947, Mr. Hindromartono ditarik ke pusat dan beberapa minggu sebelumnya wakil residen BoediSoesetyo mengundurkan diri sebagai wakil residen dan kembali ke lingkungan kehakiman di Kediri” begitu tertulis dalam buku Propinsi Djawa Timur terbitan dari Kementrian Penerangan tahun 1953.
Dan keadaan dikembalikan kepada keadaan semula setelah pada bulan maret 1947 dilakukan timbang terima jabatan Residen Bojonegoro dari Mr. Hindromartono ke Mr. Tandiono Manu.
Sejarah itu salah satu bukti kalau Pemoeda Bodjonegoro itoe Pemberani.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko