Hoetan Djati Bodjonegoro di Era Kolonial: Intrik Penebang, Perampok, dan Ritual Mistis

oleh 123 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by grok.com)

damarinfo.com – Malam menyelimuti selatan Residensi Rembang (Bodjonegoro), di mana hutan jati terbentang luas di bawah sinar bulan yang samar. Batang-batang pohon menjulang rapi, ditanam dengan jarak teratur, menciptakan pemandangan yang bagi pejabat Belanda terasa monoton dan membosankan.

Seperti dicatat dalam Bataviaasch Nieuwsblad pada 15 Januari 1912, “In het zuiden der residentie Rembang is het overal djatibosch met hier en daar kleine desa’s die schraal bevolkt zijn”—hutan jati mendominasi, hanya diselingi dusun-dusun kecil dengan penduduk yang jarang. Tak ada keragaman flora atau fauna yang memikat, hanya barisan pohon gundul yang seolah menyimpan rahasia di setiap batangnya.

“Inn het zuiden der residentie Rembang is het overal djatibosch met hier en daar kleine desa’s die schraal bevolkt zijn.” (Bataviaasch Nieuwsblad tahun 1912)
(Di selatan wilayah residensi Rembang, hutan jati menjulang di mana-mana, dengan dusun-dusun kecil yang penduduknya sedikit.)

Namun, di balik kesunyian itu, hutan jati Bodjonegoro menjadi panggung kehidupan yang penuh intrik pada masa kolonial Belanda. Ini adalah kisah tentang kecerdikan warga, ritual mistis para perampok, dan petugas kehutanan yang kewalahan menghadapi realitas yang tak terkendali.

Bayang-Bayang di Malam Hari: Penebangan Liar yang Terselubung

Di tengah kegelapan, dua sosok penebang berjalan hati-hati, memikul balok kayu sepanjang sembilan meter. Mereka bukan pekerja resmi dinas kehutanan—kayu itu adalah hasil tebangan liar, sebuah praktik yang sudah menjadi rahasia umum di Distrik Soegihwaras.

Kayu curian dari Soegihwaras kebanyakan dibawa ke Soemberredjo, di mana para pembeli menunggu dengan harga sekitar 9 gulden per meter kubik. Konon, ada seorang Jepang yang beroperasi sebagai pembeli di sana, menjadi bagian dari jaringan perdagangan kayu gelap yang berkembang di bawah hidung pemerintah kolonial.

“Mereka sangat berani mengangkut kayu curian di malam hari. Suatu kali, seorang pengawas hampir tertabrak balok sepanjang 9 meter yang sedang dipikul dua orang,” tulis laporan itu.

Baca Juga :   Desa Sudah Bojonegoro: Warisan Majapahit di Tepi Bengawan Solo

Pengawasan di hutan seluas ini nyaris mustahil. Jumlah petugas kehutanan terbatas, dan kepala desa di dusun-dusun kecil seperti Soemberredjo sering kali menutup mata terhadap aksi warganya. “Hidup dan biarkan hidup,” begitu prinsip tak tertulis yang berlaku.

Seorang petugas kehutanan yang berpatroli malam itu hanya bisa mendengar gema kapak dari kejauhan, namun saat tiba di lokasi, ia hanya menemukan pohon yang sudah roboh—pelakunya telah lenyap, meninggalkan jejak samar di tanah kering.

“Dulu, penjagaan hampir mustahil. Luas hutan sangat besar, jumlah petugas terbatas, dan kepala desa kerap tutup mata jika warganya mencuri kayu,” demikian catatan koran tersebut.

Kecerdikan Warga: Trik “Kayu Klètahan

Di desa-desa sekitar Bodjonegoro, warga memiliki cara cerdik untuk mengakali aturan kolonial. Salah satunya adalah trik “kayu klètahan,” kayu bekas yang dipinjam dari tetangga untuk keperluan izin membangun rumah. Setelah pengawas dari asisten wedana memberikan persetujuan, kayu itu tak pernah benar-benar digunakan. Sang pemilik rumah akan mengambil kapak, menyelinap ke hutan, dan menebang pohon baru untuk kebutuhan pribadi atau bahkan untuk dijual.

Begitu beraninya mereka, hingga suatu malam seorang pengawas yang berjalan di jalan desa nyaris tertabrak balok kayu yang dipikul dua orang. Petugas kehutanan kala itu hampir tak berdaya—tanpa izin kepala desa, mereka tak bisa menggeledah rumah warga, meski tahu ada kayu curian di dalamnya.

(Tangkapan Layar Potongan Koran Bataviaasch Nieuwsblad, edisi 15 Januari 1912.diunduh dari laman delpher.nl)

Penebang Tua: Ahli Kapak dengan Insting Tajam

Di sisi lain, para penebang resmi yang bekerja untuk dinas kehutanan memiliki keahlian yang memukau. Para penebang tua, yang telah menghabiskan bertahun-tahun berpindah dari hutan ke hutan, bisa memperkirakan hasil kayu hanya dengan melihat pohon.

“Dari pohon ini, kita bisa dapat sepuluh balok dan lima bantalan rel,” ujar mereka dengan yakin, dan tebakan mereka hampir selalu tepat.

Baca Juga :   Mentjari Indonesia Begini Traffic Light Zaman Penjajahan Belanda

Dengan kapak sederhana, mereka menebang pohon tanpa tali, hanya mengandalkan tebasan presisi agar pohon roboh di tempat yang diinginkan. Di antara mereka, para wanita yang disebut “inventaris” turut berperan, menyediakan makanan dan berjualan di pondok-pondok penebang.

Ritual Mistis Perampok: “Pontjo Soedho” dan Kuasa Tradisi

Hutan jati Bodjonegoro juga menjadi tempat persembunyian para perampok yang masih memegang tradisi kuno. Sebelum merampok, mereka berkonsultasi dengan dukun untuk menentukan “pontjo soedho,” hari baik dan arah serangan yang tepat. Jika perhitungan menunjukkan mereka harus bergerak ke selatan pada tanggal 10 bulan Jawa, mereka tak akan menyimpang—keyakinan ini begitu kuat.

“Inilah mirip dengan gangster Italia tempo dulu yang pergi ke gereja meminta restu dari pelindung santo-nya sebelum melakukan pembunuhan berdarah dingin,” tulis wartawan Belanda itu.

Ironisnya, kepercayaan ini menjadi celah bagi polisi kolonial. Seorang petugas di Batavia, Henne, dikenal sering mendatangi dukun untuk melacak jejak para penjahat, memanfaatkan kelemahan mereka dengan imbalan beberapa gulden.

Hutan yang Mistis: Kesunyian yang Menghantui

Di malam yang sunyi, saat badai menggemuruh di puncak pohon dan bulan muncul dari balik awan, hutan jati Bodjonegoro berubah menjadi tempat yang mistis. Cahaya pucat menyelinap di sela-sela batang, menciptakan bayangan yang seolah hidup. Bagi para penebang yang menghabiskan hidup di tengah kesunyian ini, hutan adalah rumah—tapi juga penjara. Suara serangga yang memecah malam dan gemuruh angin di dedaunan menjadi satu-satunya teman mereka, membuat kerinduan akan kehidupan kota semakin kuat.

Kisah-kisah ini, yang terekam dalam Bataviaasch Nieuwsblad, menggambarkan Bodjonegoro pada era kolonial Belanda sebagai lebih dari sekadar hutan jati. Ini adalah ruang di mana manusia, alam, dan tradisi bertemu—tempat di mana kecerdikan warga, kepercayaan kuno, dan kuasa kolonial saling berbenturan, menciptakan cerita yang hidup hingga hari ini.

Penulis : Syafik

Sumber: (Bataviaasch Nieuwsblad, edisi 15 Januari 1912. Diterjamahkan dengan grok.com)