Legenda Menara Kudus: Iman, Arsitektur, dan Doa dari Masa Silam

oleh 22 Dilihat
oleh
(De menoro van Koedoes, een oud bouwwerk, waarvan de steenen zijn samengevoegd zonder cement. — In de minaret de onlangs aangebrachte klok, rechts het nieuwe gedeelte van de moskee.” Terjemahannya dalam bahasa Indonesia: “Menara Kudus, sebuah bangunan tua yang susunan batanya disatukan tanpa semen. — Di menara itu kini terpasang sebuah jam yang baru-baru ini dipasang, sementara di sebelah kanan tampak bagian baru dari masjid. foto : De Locomotief (19 Maret 1935”)

Kudus, Desa yang Bernafaskan Doa

damarinfo.com – Di kaki selatan Gunung Muria yang sunyi, berdiri sebuah desa kecil bernama Kudus. Ia bukan sekadar titik di peta, melainkan ruang di mana waktu seolah melambat dan setiap batu bata menyimpan kisah. Di antara Demak dan Pati, di tengah desir angin pantai utara Jawa, berdiri menara tua yang menjulang—menoro, peninggalan masa ketika iman dibangun dengan tangan dan doa.

“Koedoes, het plaatsje tusschen Demak en Pati, aan den Zuidvoet van den eenzamen Meriah, is zoo een centrum van legenden…”
(Kudus, desa kecil antara Demak dan Pati di kaki selatan Gunung Muria yang sunyi, adalah pusat dari legenda-legenda…)
De Locomotief, 19 Maret 1935

Laporan surat kabar kolonial itu menggambarkan Kudus sebagai desa kramat—tempat suci yang lahir dari doa dan ikhtiar para leluhur.

Empat Kyai dan Sebuah Nubuat

Pada masa Sultan Trenggono III berkuasa di Demak, empat tokoh bijak—Kyai Ageng Wajah, Kyai Ageng Tlingsing, Kyai Ageng Kedangejan, dan Kyai Ageng Mlati—menghadapi hutan belantara yang mengelilingi tempat tinggal mereka. Mereka ingin membuka tanah itu, namun tenaga dan pengetahuan tak mencukupi. Maka mereka berdoa kepada Tuhan agar diberi penuntun.

Dari langit, menurut kisah yang ditulis De Locomotief, terdengar sebuah suara:

“Als gij wenscht slagen, wacht dan op den man, die een abs met zich voert, en die komen zal uit het Zuid-Westen.”
(Jika kamu ingin berhasil, tunggulah orang yang membawa lentera, yang akan datang dari arah barat daya.)

Lelaki dari Barat Daya

Beberapa waktu kemudian, di istana Demak, Sech Djakpar Sidik—penghulu Sultan Trenggono—terjadi peristiwa kecil yang mengubah jalan hidupnya. Ia keliru menentukan awal bulan puasa. Merasa malu, ia memutuskan meninggalkan keramaian untuk menebus dosa dan mencari ilmu. Ia berjalan ke arah barat daya, menuju Ampel.

Baca Juga :   Pelajar Lembaga Walisongo Bagi-bagi Masker ke Pedagang Pasar

Dalam perjalanannya, ia singgah di sebuah tempat sunyi—Kudus. Salah satu dari empat kyai itu melihatnya datang sambil membawa lentera di tangan. Mereka pun tahu, inilah lelaki yang dijanjikan langit. Namun Sech Djakpar menolak untuk menetap. “Nanti,” katanya, “setelah aku kembali dari Ampel.”

Tempat di mana para kyai memohon kepadanya kemudian dikenal sebagai Rendeng, dari kata iring-ding, tempat manusia berserah diri kepada yang gaib—nama yang masih dikenal hingga kini.

Sang Sunan Kembali

Bertahun kemudian, Sech Djakpar Sidik kembali dari Ampel dengan gelar Sunan. Ia mendirikan rumah besar berbentuk kraton, yang dikenal sebagai Langar Dalem Suboto, lalu membangun Masjid Agung Kudus dan menara bata merah yang kini termasyhur itu.

“De menoro van Koedoes, een oud bouwwerk, waarvan de steenen zijn samengevoegd zonder cement.”
(Menara Kudus, sebuah bangunan tua yang batanya disusun tanpa semen.)
De Locomotief, 1935

Menara itu berdiri setinggi 14,75 meter, dibangun tanpa perekat buatan—hanya dengan tanah, air, dan keyakinan. Sekitar tahun 1930, masyarakat setempat memasang sebuah jam besar di puncaknya, buatan tangan pengrajin Jawa, dengan diameter satu meter.

“Een jaar of vijf geleden heeft men boven in de menoro een klok aangebracht met een wijzerplaat van een meter doorsnede.”
(Sekitar lima tahun lalu, sebuah jam dipasang di atas menara, dengan muka berdiameter satu meter.)

Inisiatif itu lahir bukan dari pemerintah kolonial, tetapi dari masyarakat sendiri—tanda bahwa warisan Sunan Kudus masih hidup dalam kesadaran rakyat.

Baca Juga :   Mentjari Indonesia Dua Poesaka Boepati Blora Warisan Soenan Bonang. Apa saja?

Jejak yang Tak Hilang

Di belakang menara, di balik dinding bata tua, terdapat kompleks makam keramat tempat Sunan Kudus dimakamkan, bersama keluarganya dan tokoh-tokoh penting: Pangeran Damaran, R.A.A. Tjakranagara, hingga keturunan Majapahit. Setiap batu nisan di sana seperti berbicara pelan, mengisahkan perjumpaan antara Islam, budaya Jawa, dan arsitektur lokal.

Langgar Dalem Hari Ini

Hampir seabad setelah laporan De Locomotief itu terbit, jejak peninggalan Sunan Kudus masih dapat disentuh. Di Desa Langgar Dalem, Kecamatan Kota Kudus, berdiri bangunan tua yang oleh masyarakat disebut Masjid Langgar Dalem.

(Tangkapan Layar akun instagram disbudpar Kabupaten kudus)

Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus, masjid ini terbuat dari tembok, kayu jati, dan bata merah tanpa semen. Diperkirakan dibangun pada tahun 863 H / 1458 M, jauh sebelum masa kolonial. Di dalamnya terdapat panel kayu berukir dan tangga undhak-undhakan menuju serambi—yang dipercaya sebagai tempat Sunan Kudus bermunajat.

Kini bangunan itu masih digunakan sebagai mushola dan situs sejarah, terawat rapi di tengah pemukiman modern.
Seolah menegaskan, kisah yang dahulu hanya tercatat dalam surat kabar kolonial itu bukan sekadar legenda.
Di antara bata merah dan lantai batu, waktu terus berputar—tetapi doa yang pernah dipanjatkan di sana tetap bergema hingga kini.

Penulis : Syafik

Sumber : De Locomotief, 19 Maret 1935, halaman 3, Artikel berjudul “MIDDEN-JAVA. Een Soenan Kwam uit het Zuid-Westen… De stichtingsgeschiedenis van het plaatsje Koedoes.”