Di pesisir utara Jawa Timur, terletak sebuah kota tua yang punya karakter masyarakat unik: Tuban . Kota ini tidak hanya dikenal karena mata air Bekti , keberadaan fosil ikan paus , atau jejak sejarah Islam dan Majapahit , tetapi juga karena sifat-sifat khas masyarakatnya yang terbentuk sejak ratusan tahun silam.
Masyarakat Tuban dikenal tidak mudah menyerah , cepat emosi tapi juga cepat memaafkan , mandiri, dan punya semangat tinggi . Karakter ini tidak muncul begitu saja, melainkan terbentuk dari sejarah, geografi, dan budaya lokal yang kuat. Bahkan dalam laporan kolonial Belanda , masyarakat Tuban digambarkan sebagai kelompok yang sulit dikendalikan dan selalu punya semangat untuk melawan .
Kemandirian yang Tumbuh dari Kehidupan Sederhana
Masyarakat Tuban tumbuh dalam lingkungan yang relatif terpencil , dengan akses yang terbatas , terutama sebelum abad ke-20. Mereka hidup sederhana dan mandiri , bertani, berdagang, atau menjadi nelayan dengan cara dan alat sendiri .
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda, seperti yang ditulis oleh J. E. Jasper pada tahun 1919 , masyarakat Tuban hidup dengan kemandirian yang tinggi . Mereka tidak suka bergantung, dan lebih memilih menyelesaikan masalah sendiri , meski dengan cara yang tegas.
“Het is namelijk in deze afdeeling geen zeldzaamheid, dat een dessaman om een onbeduidende plagerij, een weigering, een gering verlies bij het spel, om zijn echtgenoote, die door hem verstooten en met een ander in het huwelijk getreden is, om menschen en dingen, die het zich meer uitende en zich zelf meer beheerschende wezen al lang zou hebben vergeten, het blanke wapen gebruikt, om er zijn vermeenden vijand of diens vee mee te dooden of te verwonden.”
Artinya:
“Di wilayah ini bukanlah hal yang langka bila seorang kepala dusun menggunakan senjata tajam karena cemoohan sepele, penolakan, kerugian kecil dalam permainan, atau karena istrinya diceraikan dan menikah lagi dengan orang lain. Mereka cepat emosi dan tidak segan-segan menggunakan senjata untuk melukai atau membunuh lawan atau ternaknya.”
Meskipun terkesan keras, sifat ini mencerminkan harga diri yang tinggi dan kemandirian dalam menyelesaikan masalah — nilai yang sangat dihargai dalam budaya Jawa tradisional.
Semangat Tinggi yang Sering Dianggap Sebagai Ancaman
Tuban sering disebut sebagai kota yang punya semangat “haantje de voorste” — istilah Belanda yang artinya ayam jago yang selalu maju duluan . Ini bukan hanya julukan untuk para pemimpin, tapi juga untuk rakyat biasa.
Dalam sejarah, Tuban dikenal sebagai kota yang tidak mudah tunduk . Mereka pernah melawan Belanda , mendukung pemberontakan Trunajaya , dan bahkan ikut dalam pemberontakan Tionghoa di Jawa tahun 1740-an . Masyarakat Tuban dikenal cepat bertindak dan tidak suka diam saat merasa dizalimi .
Namun, keberanian ini juga membuat mereka mudah tersinggung . Dalam budaya Tuban, harga diri dan martabat adalah hal yang sangat penting . Jika merasa dihina atau tidak dihormati, mereka tidak segan menegakkan martabat dengan cara yang tegas .
Karangasem 1913: Bukti Jiwa Tuban yang Tak Pernah Menyerah
Salah satu peristiwa penting yang menunjukkan jiwa masyarakat Tuban adalah kerusuhan Karangasem tahun 1913 .
“Bij de put in de dessa Karangasem, waar in 1913 de beruchte relletjes hebben plaats gehad.”
(Di sumur di dusun Karangasem, tempat di mana pada tahun 1913 terjadi kerusuhan terkenal.)
Peristiwa ini terjadi di desa Karangasem , sebuah dusun yang biasanya damai dan tenang. Namun, pada tahun itu, masyarakat setempat terlibat dalam kerusuhan yang cukup serius , yang menurut sumber kolonial Belanda, dipicu oleh beberapa oknum yang memanfaatkan emosi warga .
Yang menarik dari peristiwa ini adalah reaksi masyarakat Tuban . Meskipun awalnya hidup damai, mereka tidak segan bertindak jika merasa dizalimi . Kejadian ini menjadi simbol bahwa jiwa Tuban yang pemberani tidak pernah hilang , meskipun dalam kondisi yang damai sekalipun.
Ketenangan yang Tak Menghilangkan Semangat
Di balik sifatnya yang keras dan berani, masyarakat Tuban juga dikenal sederhana dan penuh ketangguhan . Mereka hidup dekat dengan alam, dan tetap bertahan dengan kehidupan agraris dan maritim meski zaman terus berubah.
Di pedalaman Tuban, penduduk masih banyak yang menggunakan alat tradisional untuk bertani, berdagang keliling desa , atau mengangkut hasil bumi dengan gerobak kayu dan sapi . Meskipun terkesan kuno, cara-cara ini masih efektif dan ekonomis bagi mereka .
Kehidupan sederhana ini juga membuat mereka tidak mudah tergoda oleh gaya hidup konsumtif . Mereka lebih suka kerja keras daripada minta bantuan , dan lebih suka tinggal di desa daripada merantau ke kota .
Religius dan Setia pada Budaya Lokal
Tuban adalah salah satu pusat penyebaran Islam di Jawa Timur . Sunan Bonang, salah satu Wali Songo, lahir dan berdakwah di wilayah ini. Oleh karena itu, masyarakat Tuban dikenal religius , dengan kehidupan yang kental akan nilai-nilai agama dan tradisi .
Upacara adat seperti Grebeg Besar , Ziarah ke Makam Sunan Bonang , dan ritual di mata air Bekti masih dilestarikan hingga hari ini. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Tuban tidak meninggalkan akar budaya dan spiritualnya , meskipun zaman telah berubah.
Ramah, Tapi Tidak Lemah
Jika kamu pernah bertemu orang Tuban, mungkin kamu akan merasa mereka cepat emosi . Tapi jika sudah saling mengenal, kamu akan menemukan sisi lain: keramahan, kejujuran, dan kerendahan hati .
Mereka santun dalam pergaulan , suka membantu , dan menghargai tamu . Bahkan dalam kondisi sulit, mereka tetap sabar dan tenang . Sifat ini terbentuk dari kehidupan agraris yang penuh kesabaran , dan sejarah yang penuh pergolakan .
Jiwa Tuban yang Tetap Hidup
Karakter masyarakat Tuban adalah cerminan dari sejarah, budaya, dan geografi wilayahnya . Mereka adalah masyarakat yang mandiri, berani, dan punya harga diri tinggi , tetapi juga penuh ketenangan dan keramahan .
Jika kamu ingin memahami jiwa Tuban, jangan hanya melihat dari pantai dan situs sejarahnya. Datanglah ke dusun-dusunnya, bicaralah dengan masyarakatnya, dan rasakan sendiri semangat dan ketangguhan mereka dalam hidup .
Karena di sanalah jiwa Tuban sebenarnya : kuat, sederhana, dan tetap membara — seperti air dari mata air Bekti yang tak pernah kering.
Penulis : Syafik
Sumber : Delpher.nl, Eigen Haard , Jilid 45, No. 2, 11 Januari 1919