Masjid Istiqlal: Simbol Kemerdekaan yang Dibangun dari Mimpi Soekarno hingga Diresmikan oleh Soeharto

oleh 99 Dilihat
oleh
(Masjid Istiqlal tahun 1984. Foto : koran Nederlands dagblad, edisi :20-9-1984)

Awal Mula: Sayembara Gagasan Soekarno

Gagasan membangun masjid nasional pertama kali dilontarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1955. Ia ingin sebuah monumen keagamaan yang merepresentasikan semangat istiqlal—kemerdekaan—Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Untuk mewujudkannya, digelar sayembara desain arsitektur nasional.

Pemenangnya? Friedrich Silaban, seorang arsitek dari Bogor yang beragama Kristen Protestan. Kemenangannya sempat menuai kontroversi di kalangan muslim konservatif. Namun Soekarno membela pilihannya dengan tegas:

“Ini bukan soal agama sang arsitek, tapi tentang visi kebangsaan. Kita ingin masjid yang modern, monumental, dan inklusif.”

Desain Silaban menonjol karena bentuknya yang futuristik, minim ornamen figuratif (sesuai prinsip Islam), namun sarat makna filosofis. Masjid ini dirancang tanpa pilar besar di dalam ruang utama, memberi kesan luas dan terbuka—simbol dari kebebasan beragama dan kesetaraan. Peletakan batu pertama dilakukan pada 1961. Namun proses pembangunan menghadapi banyak hambatan.

Pasang Surut: Krisis, Korupsi, dan Penghentian Proyek

Pembangunan Masjid Istiqlal tidak berjalan mulus. Di tengah krisis ekonomi dan ketidakstabilan politik menjelang akhir era Orde Lama, proyek ini sempat terbengkalai. Pada awal 1970-an, media melaporkan adanya praktik korupsi oleh kontraktor pelaksana, sehingga pemerintah menghentikan sementara pekerjaan selama dua tahun.

Dalam artikel surat kabar Belanda Nieuwsblad van het Noorden edisi 4 April 1978 disebutkan bahwa “dua tahun lalu, pekerjaan pembangunan sempat dihentikan karena laporan penipuan oleh para kontraktor.” Ini menunjukkan betapa kompleksnya tantangan teknis dan administratif yang dihadapi.

Baca Juga :   Polisi Tuban Tangkap Pencuri Kotak Amal Masjid

Namun, tekad nasional untuk menyelesaikan masjid ini tetap hidup. Banyak tokoh Islam, termasuk Ketua Parlemen Achmad Syaichu, mendesak pemerintah untuk menyelesaikan Istiqlal terlebih dahulu sebelum memulai proyek prestisius lain seperti Menara Boeng Karno. Bagi mereka, menyelesaikan masjid adalah prioritas moral dan spiritual.

(Arsip F. Silaban, Bogor Foto Repro: Rusmin Haryanto. Tahun 1962. Sumber : https://www.arsitekturindonesia.org/arsip/proyek/detail?oid=2&page=11)

Peresmian oleh Soeharto: Rekonsiliasi di Tengah Tekanan Politik

Setelah bergulirnya Orde Baru, Presiden Soeharto mengambil alih kelanjutan proyek. Meski awalnya fokus pada stabilitas ekonomi dan pencegahan komunisme (setelah kehancuran PKI pada 1965), tekanan dari oposisi muslim—terutama dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan)—semakin kuat.

Menurut laporan Nieuwsblad van het Noorden, Soeharto menghadapi ancaman politik dari aliansi antara kaum muslim ekstrem dan sosialis (PSI). Militer pun khawatir akan munculnya gerakan yang bisa menggoyang kekuasaan. Salah satu strateginya adalah memancing kelompok oposisi agar terlibat dalam demonstrasi mahasiswa—yang ternyata diatur oleh militer sendiri—agar bisa dikriminalisasi.

Namun, karena oposisi menyadari jebakan tersebut, mereka memilih bersikap hati-hati. Dalam situasi ini, Soeharto memilih pendekatan lunak: meresmikan Masjid Istiqlal sebagai bentuk pengakuan terhadap aspirasi muslim, sekaligus memperkuat legitimasinya sebagai pemimpin yang “pro-Islam”.

Pada 22 Februari 1978, Soeharto secara resmi membuka Masjid Istiqlal. Biaya pembangunan mencapai 30 miliar rupiah (disebutkan dalam beberapa sumber asing setara 130 juta gulden Belanda saat itu), dibiayai dari sumbangan individu, swasta, dan negara-negara Arab. Dalam pidatonya, Soeharto menekankan bahwa masjid ini adalah milik seluruh bangsa, bukan hanya umat Islam.

Baca Juga :   Masjid Al Furqon Sugihwaras Tak Gelar Sholat Ied

Simbol Toleransi: Berseberangan dengan Katedral

Salah satu keunikan Masjid Istiqlal adalah lokasinya: tepat berhadapan dengan Gereja Katedral Jakarta. Desain urban ini bukan kebetulan. Ini adalah pesan tegas dari para pendiri bangsa: bahwa di Indonesia, Islam dan agama lain bisa hidup berdampingan secara damai.

Sebagaimana dicatat dalam artikel Belanda tersebut: “Masjid ini dibangun oleh seorang arsitek Protestan dan berdiri berseberangan dengan katedral Katolik Roma—sebuah ironi yang penuh makna.” Justru di situlah letak keindahannya: toleransi yang dibangun atas dasar kesetaraan dan saling menghormati.

Lebih dari Sekadar Masjid

Masjid Istiqlal bukan sekadar bangunan megah. Ia adalah cermin perjalanan Indonesia: dari masa revolusi, pergolakan politik, hingga upaya membangun identitas nasional yang inklusif. Dari mimpi Soekarno, terhambat oleh krisis, hingga direalisasikan oleh Soeharto dalam konteks politik yang rumit—masjid ini tetap tegak sebagai lambang bahwa kemerdekaan sejati adalah ketika semua warga negara merasa dihargai.

“Di sini kita salat. Di seberang sana mereka berdoa. Dan di antaranya, kita belajar hidup berdampingan.”

Penulis : Syafik

Sumber : Beberapa koran berbahasa belanda yang diunduh dari delpher.nl