Bojonegoro,damarinfo.com – Malam itu Kamis 16-6-2022, purnama sesekali tampak, karena arak-arakan mendung berarak di angkasa melewati indahnya bulan purnama di Desa Sugihwaras Kecamatan Sugihwaras Bojonegoro. Tepatnya di kediaman yang juga menjadi Warung yang diberi nama Warung Lesung Abdi Dalem milik Suyanto alias Yanto Munyuk.
Warung tradisional khas jawa itu memang menjadi lokasi acara Purnama Sastra Bojonegoro (PSB) yang ke 66. Kemeriahan malam itu terasa sekali dengan hadirnya banyak seniman dan pelaku sastra, tidak hanya dari Bojonegoro yang hadir tapi juga Sidoarjo, Mojokerto dan Lamongan.
Dari Sidoarjo hadir Widodo Basuki dari Sidoarjo yang djuluki sebagai Raja Gurit, Aming Aminoedhin dari Mojokerto yang dijuluki Presiden Penyair Jawa Timur dan Herry Lamongan dari Lamongan yang mendapat julukan sebagai Bupati Gurit.
Penyematan julukan itu bukan tanpa alasan. Aming Aminoedhin dijuluki sebagai Presiden Penyair karena dikenal sangat produktif dalam penerbitan antologi puisi dan getol dalam menyelenggarakan even sastra di Jawa Timur. Terlebih pada saat itu Aming masih aktif sebagai pegawai negeri sipil di Balai Bahasa Jawa Timur.
Kemudian Widodo Basuki mendapat julukan sebagai Raja Gurit karena selain dikenal sebagai penulis geguritan (puisi Jawa) yang sangat produktif, dia adalah pemimpin redaksi majalah Jayabaya yang cukup memberi ruang yang luas bagi penulis sastra Jawa, baik yang masih pemula maupun sudah senior.
Sementara itu Suheri yang dikenal dengan nama Herry Lamongan mendapat julukan sebagai Bupati Gurit, karena selain cukup produktif dalam penulisan karya sastra juga mempunyai pengaruh yang cukup kuat di komunitas sastra dan teater di Kabupaten Lamongan.
Ikhwal ketertarikan mereka dengan Purnama Sastra Bojonegoro, mereka mengatakan bahwa Purnama Sastra Bojonegoro adalah peristiwa budaya yang tidak boleh dilewatkan.
“Purnama Sastra Bojonegoro menjadi fenomena karena konsistensinya. Tidak banyak lho event yang bisa bertahan dengan kemandirian tanpa ada sokongan anggaran dari pemerintah,” kata Aming.
Sementara itu Widodo Basuki menyatakan dirinya sudah lama mengamati pergerakan Sastra Bojonegoro, khususnya Purnama Sastra Bojonegoro.
“Sebenarnya saya sudah lama ingin hadir di acara PSB ini, namun baru sekarang bisa hadir,” terang Widodo Basuki usai acara.
Selain dihadiri tokoh tokoh sastra Jawa Timur, juga dihadiri para pegiat sastra di Bojonegoro, Nganjuk dan Tuban mulai dari pelajar, mahasiswa hingga sastrawan yang lebih senior.
Suyanto selaku tuan rumah penyelenggaraan PSB ke 66 mengaku puas dengan performa para penyaji.
“Sungguh saya merasa puas dan sangat berterima kasih kepada semua yang hadir, sebab penampilan yang disajikan cukup beragam, mulai dari sajian musik, tari, puisi dan geguritan yang bukan saja menghibur tetapi juga bisa menjadi media introspeksi,” papar lelaki yang dikenal dengan nama Yanto Munyuk ini.
Terkait dengan tema “Manusia Merdeka” yang disematkan pada PSB ke 66 ini, Yanto mengungkapkan bahwa pada dasarnya seni dan sastra bersifat memerdekakan dan saat ini dirinya merasa benar benar merasakan sebagai manusia merdeka karena telah terlepas dari sistem yang cenderung membunuh laku kreatif individu.
“Sastra atau kesenian lainnya itu harus merdeka dan tidak bergantung. Dan PSB telah membuktikan kemandirian itu, jadi bisa dikatakan bahwa PSB adalah tempat berkumpulnya manusia manusia merdeka,” terang Suyanto.
Senada dengan Suyanto, Agus Sighro Budiono mengatakan bahwa PSB adalah gerakan yang unik, sebab PSB terus bergerak meskipun tidak ada pengurusnya.
“PSB ini benar benar gerakan yang merdeka dan mandiri sebab di PSB tidak ada pengurusnya, semua berjalan berdasar keikhlasan,” pungkasnya.
Penulis : Syafik