damarinfo.com – Bayangkan sebuah tempat di Bojonegoro, di mana udara sejuk menyapa wajah, jauh dari teriknya dataran rendah yang membakar kulit. Di lereng Gunung Pandan, tepatnya di Desa Klino, Kecamatan Sekar, dulu pernah ada surga kecil yang jadi pelarian warga zaman Belanda. Namanya mungkin tak asing di telinga, tapi ceritanya? Barangkali hanya segelintir orang yang tahu.
Pada tahun 1933, sebuah artikel di koran Belanda De Indische Courant menceritakan betapa Klino, yang terletak sekitar 49 kilometer dari pusat Kota Bojonegoro, menjadi harapan baru bagi mereka yang mendambakan ketenangan.
Bojonegoro, yang terletak di lembah dataran rendah, dikenal dengan panasnya yang “smoorheet”—sangat terik, kata orang Belanda. Tak ada pegunungan megah di sekitarnya, kecuali Gunung Pandan yang sederhana dengan ketinggian 900 meter. Tapi, justru di ketinggian 500 meter di lereng gunung itu, Klino menawarkan sesuatu yang istimewa: udara dingin, kering, dan pemandangan yang menyejukkan jiwa.
Dulu, di Klino berdiri sebuah pasanggrahan, semacam rumah peristirahatan yang dikelola pemerintah kolonial. Tempat ini bukan sekadar penginapan, melainkan oase bagi para pejabat Belanda dan warga setempat yang ingin melepas penat. Bayangkan, setelah menempuh perjalanan panjang, mereka bisa duduk di beranda pasanggrahan, menikmati secangkir kopi sambil memandang hamparan hijau.
Suasana Klino, kata artikel itu, mirip dengan Lawang di Jawa Timur, tapi lebih sejuk dan belum tersentuh pembangunan. “Absolut droog,” tulis koran itu, artinya benar-benar kering dan nyaman.
Dahulu menuju Klino bukan perkara mudah di masa itu. Jalanan menuju dusun pegunungan ini hanya sebagian yang bisa dilalui kendaraan. Orang-or-military harus benar-benar punya alasan kuat untuk pergi ke sana.
Tapi, semuanya berubah ketika pemerintah kolonial membangun waduk Patjal, yang airnya mengalir dari Gunung Pandan. Bersamaan dengan itu, mereka membuka jalan mobil sejauh 20 kilometer dari jalan utama menuju Klino. Bahkan, Dinas Kehutanan dan pemerintah kabupaten waktu itu berencana menyelesaikan sisa 29 kilometer jalan agar seluruhnya bisa dilalui mobil. Rencananya, pada 14 Oktober 1933, jalan itu resmi dibuka, menjadikan Klino destinasi rekreasi yang mudah dijangkau.
Pasanggrahan di Klino pun tak luput dari perhatian. Awalnya hanya memiliki empat kamar, tapi rencana perluasan sudah disiapkan dengan menambah dua kamar tamu besar. Impiannya sederhana: menjadikan Klino sebagai tempat rekreasi dan kesehatan, tempat di mana orang bisa menghirup udara segar dan melupakan sesaat hiruk-pikuk kehidupan kota. “Sebuah anugerah bagi Bojonegoro,” tulis koran itu dengan penuh harap.
Hari ini, pasanggrahan tua itu masih berdiri di Klino. Bangunannya masih terawat, menyimpan jejak sejarah yang tak banyak orang tahu. Namun, sayangnya, Klino tak lagi menjadi tempat rekreasi. Entah karena perubahan zaman atau karena perhatian yang beralih ke destinasi lain, pasanggrahan itu kini hanya menjadi saksi bisu masa lalu. Jalan-jalan yang dulu dibangun dengan penuh semangat kini menyatu dengan lanskap desa yang sederhana. Klino, yang pernah jadi permata tersembunyi di lereng Gunung Pandan, kini hanya hidup dalam cerita-cerita tua dan arsip koran Belanda.
Namun, kisah Klino belum harus berakhir. Pasanggrahan yang masih berdiri adalah potensi besar untuk dihidupkan kembali. Kami mengajak Pemerintah Kabupaten Bojonegoro untuk menoleh kembali ke Klino, merestorasi pasanggrahan ini, dan membangun infrastruktur pendukung agar Klino bisa kembali menjadi destinasi wisata. Bayangkan sebuah tempat di mana wisatawan bisa menikmati udara sejuk, belajar tentang sejarah, dan merasakan pesona Gunung Pandan. Klino bisa menjadi kebanggaan baru Bojonegoro, sebuah tempat yang tak hanya menyegarkan tubuh, tapi juga jiwa. Mari bersama-sama menulis babak baru untuk Klino, agar surga kecil ini kembali bersinar.
Penulis : Syafik
Sumber : (De indisceh courant edisi 27-9-1933, diunduh dari laman delpher.nl diterjemahkan dengan grok.com)