Anggaran Bojonegoro 2025 Terjepit: Belanja Operasi Membengkak, Modal Dipangkas

oleh 248 Dilihat
oleh
(Bupati Setyo Wahono dan Wabup Nurul Azizah menyerahkan secara simbolis SK ASN. Alun-alun Kota Bojonegoro, Rabu 30-4-2025. Foto : bojonegorokab.go.id)

damarinfo.com -Setelah melalui proses panjang di tahun politik, Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro, Setyo Wahono – Nurul Azizah, resmi dilantik pada 20 Februari 2025. Mereka langsung dihadapkan pada tantangan besar: mewarisi postur APBD 2025 yang sudah terbentuk, lengkap dengan beban struktural yang menumpuk.

Dengan waktu tersisa kurang dari satu tahun anggaran, pertanyaannya kini adalah bagaimana mereka akan mengelola sisa waktu dan menyiapkan koreksi strategis pada tahun-tahun berikutnya.

Postur anggaran yang diwarisi ini terlihat besar di permukaan, namun menyimpan keterbatasan yang tak sedikit. Alih-alih menjadi mesin pembangunan, APBD 2025 justru tampak seperti kendaraan berat yang harus berjalan pelan karena beban di dalamnya terlalu dominan pada belanja rutin.

Oleh karena itu, situasi ini menuntut pemimpin baru untuk berpikir cepat dan bertindak cermat agar roda pemerintahan tetap bergerak dan arah pembangunan tetap terjaga.

Rp 7,6 triliun. Itulah angka belanja daerah Bojonegoro yang tercantum dalam Rancangan Perubahan KUA-PPAS 2025. Sekilas, jumlah itu terlihat seperti kekuatan raksasa yang bisa mengubah banyak hal: dari jalan berlubang, sekolah reyot, hingga layanan kesehatan yang tersendat. Namun benarkah APBD sebesar itu memberi ruang gerak yang luas?

Kalau kita mau jujur, angka besar belum tentu berarti daya dorong besar. Seperti truk penuh muatan tapi bensinnya tinggal setengah tangki, APBD Bojonegoro tampaknya sedang menghadapi tantangan: bebannya berat, tapi ruang geraknya terbatas.

📉 Ketika Belanja Melampaui Pendapatan

Mari kita mulai dari dasar. Pendapatan daerah yang tercantum dalam rancangan KUA-PPAS 2025 adalah sebesar Rp 5,65 triliun. Namun demikian, belanja yang direncanakan justru mencapai Rp 7,68 triliun. Artinya, sejak awal, APBD ini sudah menghadapi defisit struktural sebesar:

Rp 2,02 triliun.

Ya, bahkan sebelum dimulai pun, Bojonegoro sudah harus menambal selisih lebih dari dua triliun rupiah. Pemerintah akan menutup defisit ini lewat SILPA (Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran) tahun sebelumnya.

🔍 Struktur Belanja: Rutin Mendominasi, Modal Tersingkir

Dari total belanja tersebut, lebih dari setengahnya (Rp 4,32 triliun) terserap untuk belanja operasi: gaji pegawai, belanja barang dan jasa, bantuan sosial, dan hibah.

Baca Juga :   Kajian Sor Keres Seri-4 Petani, Tengkulak dan Penguasa

Yang paling besar menyedot anggaran adalah belanja pegawai, mencapai Rp 2,33 triliun, atau lebih dari 41% dari total pendapatan daerah. Jika dilihat dari struktur internalnya, tiga komponen terbesarnya adalah:

Komponen Belanja Pegawai Nilai (Rp)
Gaji Pokok ASN (PNS + PPPK) 878,66 miliar
Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) 766,69 miliar
Tunjangan Profesi Guru (TPG) 273,06 miliar (PNSD + PPPK)

Artinya, lebih dari separuh belanja pegawai hanya untuk menggaji dan memberi tunjangan, tanpa menyisakan ruang cukup luas bagi belanja produktif lainnya.

Di sisi lain, belanja modal—yang seharusnya menjadi mesin pembangunan seperti perbaikan jalan, irigasi, gedung sekolah, dan fasilitas publik lainnya—justru dipangkas drastis. Dari semula direncanakan Rp 2,19 triliun, dipangkas menjadi Rp 1,56 triliun, alias turun hampir 30%.

Padahal, dari belanja modal itulah masyarakat berharap perbaikan layanan. Kini, pos infrastruktur dan aset publik mulai “bergeser ke pojokan”.

💬 Bantuan Keuangan Naik Tajam, Tapi untuk Apa?

Selain belanja operasi dan belanja modal, belanja transfer, terutama bantuan keuangan ke desa dan lembaga lain, justru melonjak signifikan: naik 43% menjadi Rp 1,65 triliun. Ini kabar baik kalau uang itu betul-betul digunakan untuk mempercepat layanan dasar di desa. Namun tanpa indikator kinerja dan pengawasan, kenaikan ini bisa menjadi jebakan: besar di angka, minim dampak.

Hal ini penting dicermati, karena belanja yang terus meningkat tanpa arah dan evaluasi akan berisiko menguras kemampuan fiskal dan meninggalkan pembangunan yang tak tuntas.

🔧 Kapasitas Fiskal Riil: Seberapa Kuat Nafas Bojonegoro?

Sekarang mari kita hitung secara jujur:

  • Pendapatan: Rp 5,65 triliun
  • Belanja: Rp 7,68 triliun
  • Persentase belanja yang bisa dibiayai langsung: 73,66%
  • Defisit: Rp 2,02 triliun

Artinya, hanya 3 dari 4 rupiah belanja yang bisa dibiayai langsung oleh pendapatan. Sisanya, Bojonegoro harus memutar otak agar program tetap jalan tanpa menggali lubang yang lebih dalam.

Dengan kata lain, kapasitas fiskal riil Bojonegoro tergolong lemah. Pendapatan daerah tidak cukup untuk menjalankan seluruh rencana pembangunan, apalagi untuk menghadapi situasi darurat atau menyambut peluang strategis baru.

Baca Juga :   Surat Redaksi Rendahnya Serapan Anggaran, Bukti Buruknya Perencanaan?

🔄 Rekomendasi Solusi: Mengendalikan Belanja Pegawai

Untuk memperbaiki struktur APBD dan membuka ruang fiskal, pemerintah daerah dapat mempertimbangkan beberapa langkah berikut:

  1. Evaluasi Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP):
    • Tinjau besaran dan skema pemberian TPP.
    • Kaitkan TPP dengan kinerja individu dan unit kerja.
  2. Moratorium Rekrutmen Baru (kecuali untuk sektor prioritas):
    • Tunda rekrutmen non-esensial.
    • Fokus pada kebutuhan tenaga fungsional seperti guru dan tenaga kesehatan.
  3. Digitalisasi Layanan Pemerintahan:
    • Otomatisasi sistem kerja untuk mengurangi beban SDM.
    • Bangun sistem kepegawaian terpadu berbasis teknologi.
  4. Audit dan Rasionalisasi Beban Tunjangan:
    • Lakukan audit tunjangan dan sesuaikan dengan kemampuan fiskal.
  5. Dorong BLUD dan Pola Gaji Berbasis Kinerja:
    • Percepat pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).
    • Gunakan skema insentif berbasis output.
  6. Transparansi dan Partisipasi Publik:
    • Paparkan secara terbuka laporan realisasi dan efektivitas belanja pegawai.

Dengan solusi di atas, Bojonegoro dapat perlahan membebaskan ruang fiskal dari beban rutin, dan mengarahkan kembali anggaran ke sektor produktif.

✊ Saatnya Kembali ke Fungsi Asli Anggaran

APBD bukan hanya kumpulan angka dan tabel, tapi kompas arah pembangunan. Ia seharusnya menjadi alat perubahan, bukan sekadar pembiayaan rutin. Jika sebagian besar APBD habis untuk bertahan hidup, maka jangan harap ada lompatan yang mampu mengangkat kesejahteraan.

Bojonegoro tidak kekurangan dana. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk mengarahkan dana ke tempat yang benar.

Karena pada akhirnya, kapasitas fiskal bukan soal jumlah, tapi soal pilihan. Dan pilihan-pilihan itulah yang akan menentukan apakah Bojonegoro melangkah maju—atau hanya berputar di tempat.

Kini, setelah kepemimpinan baru resmi menjabat, tanggung jawab untuk memperbaiki arah anggaran berada di tangan mereka. Bupati dan Wakil Bupati Bojonegoro, Setyo Wahono – Nurul Azizah, bukan hanya pewaris postur lama, tetapi juga pemegang kendali masa depan fiskal daerah.

Oleh karena itu, tantangan ke depan adalah bagaimana mereka mengelola warisan ini dengan bijak, sambil menyiapkan fondasi yang lebih kokoh untuk tahun-tahun berikutnya.

Penulis : Syafik

Sumber data : Rancangan KUA dan PPAS Kabupaten Bojonegoro Tahun 2025