Saat Ganesha Tergantikan: Jejak Sunan Bajat dan Warisan Spiritualitas Jawa

oleh 103 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by chatgpt)

Damarinfo.com – Pada 1938, koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië memuat kisah menarik dari seorang jurnalis Solo yang menelusuri Klaten, jantung pertukangan dan kerajinan rakyat Jawa. Di balik kegiatan para pandai besi, sang jurnalis menyaksikan pergulatan panjang antara warisan Hindu dan kehadiran Islam—dua arus yang hingga kini hidup berdampingan di Jawa Tengah dan Vorstenlanden.

Candi-Candi yang Tersisih

Di rimba Gunung Kidul, reruntuhan candi-candi kecil bersembunyi di balik semak belukar. Penduduk setempat menemukan patung-patung tanpa kepala—bukan akibat usia, melainkan diduga karena ikonoklasme saat gelombang dakwah Islam menyebar sekitar empat hingga lima abad lalu.

Sementara itu, di lereng Gunung Lawu, jejak peradaban Hindu muncul di lokasi-lokasi terpencil. Para pendeta Hindu tampaknya memang memilih tempat-tempat sunyi untuk bertapa—atau barangkali untuk menghindari desakan Islam yang berkembang pesat di Jawa.

Ganesha di Bengkel Pandai Besi

Salah satu situs paling menarik adalah Candi Sukuh, yang berbentuk piramida terpotong. Di antara reliefnya, tampak Ganesha—putra Dewa Siwa—yang tengah duduk di dalam bengkel pandai besi Jawa.

Relief itu menampilkan keris, tombak, dan alat tiup tungku (blowpipe) yang hingga kini masih digunakan oleh pandai besi di desa-desa Jawa. Namun, sejak masuknya Islam, makna di balik relief ini berubah. Jika dulu masyarakat memandang Ganesha sebagai pelindung pandai besi, maka mereka kini menghormati para wali sebagai penjaga tradisi.

Saat Ganesha Digantikan oleh Sunan Bajat

Setelah keruntuhan Majapahit pada 1478, muncul Wali Songo yang menggerakkan perubahan spiritual di Jawa. Salah satunya, Sunan Bajat, berperan penting di Klaten.

Baca Juga :   Mentjari Indonesia Dua Poesaka Boepati Blora Warisan Soenan Bonang. Apa saja?

Sebetulnya, Sunan Bajat adalah Ki Juru Pandan Arang, Adipati Semarang yang dikenal kikir. Namun, pertemuannya dengan Sunan Kalijaga membalikkan hidupnya. Dengan siasat dagang yang penuh hikmah, Kalijaga meluluhkan hatinya. Pandan Arang pun menanggalkan semua harta dan berangkat ke Gunung Jabalkat untuk mendalami Islam.

Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Sunan Bajat—sosok yang menggantikan posisi simbolik Ganesha dalam kehidupan spiritual masyarakat Jawa.

Jejak di Salatiga dan Boyolali: Nama yang Lahir dari Perjalanan

Dalam perjalanannya ke Gunung Jabalkat, Pandan Arang sempat dihadang tiga perampok. Namun, karena sang adipati telah meninggalkan seluruh hartanya, mereka melepaskannya. Konon, tempat itu lalu dikenal sebagai “Salatiga”—dari kata “sala” (orang jahat) dan “tiga”, merujuk pada tiga perampok tadi.

Di sisi lain, istrinya mengalami perampokan. Saat ditinggalkan, ia berseru, “Ojo lali” (jangan lupakan aku). Masyarakat percaya, dari kisah itulah muncul nama Boyolali, sebagai kenangan atas kerinduan sang istri sebelum akhirnya menyusul suaminya ke Gunung Jabalkat.

Dengan demikian, legenda ini menjadi contoh bagaimana kisah para wali berkelindan dengan sejarah asal-usul tempat di Jawa Tengah.

Gunung Jabalkat dan Makam Para Pencari Berkah

Hingga hari ini, Gunung Jabalkat masih ramai diziarahi. Para peziarah mengenang Sunan Bajat sebagai pembawa perubahan batiniah. Tak jauh dari sana, terdapat makam Syech Djombo, seorang pria buta huruf yang dipercaya mendapat karomah—hingga mampu menulis dan berbicara dalam berbagai bahasa, setelah mendapat anugerah dari Sunan Bajat.

Baca Juga :   Pelajar Lembaga Walisongo Bagi-bagi Masker ke Pedagang Pasar

Banyak orang percaya makam Syech Djombo membawa berkah, terutama bagi pelajar. Karena sering diambil tanahnya untuk jimat, makam ini kini terbenam dalam cekungan sedalam satu meter.

Pandai Besi dan Tradisi Wali

Di sentra pandai besi seperti Batoer, para pengrajin masih menuang sembilan potong besi ke tungku—sebagai penghormatan kepada Wali Songo. Meski alat dan tekniknya nyaris tidak berubah sejak lima abad lalu, para pandai besi kini menghayati maknanya secara berbeda. Mereka beralih dari penghormatan kepada Ganesha, menuju iman kepada Islam dan warisan para wali.

Transformasi yang Tak Pernah Usai

Kisah Sunan Bajat bukan sekadar legenda. Ia menjadi cermin transformasi berlapis—dari Hindu ke Islam, dari Majapahit ke kolonial Belanda, dari mitologi ke dakwah. Namun, semua itu tetap berakar di budaya lokal.

Transformasi ini hadir bukan hanya di batu relief atau makam keramat, tapi juga di keris yang ditempa, doa yang dilantunkan, dan cerita yang diwariskan dari mulut ke mulut.

Jawa, Tanah yang Tak Pernah Berhenti Bertutur

Dari Gunung Lawu ke Gunung Jabalkat, dari candi yang ditinggalkan hingga makam para wali, Jawa terus menuturkan perjalanan iman dan pencarian makna hidup. Tradisi dan keyakinan di tanah ini tak pernah benar-benar hilang—ia terus berubah, beradaptasi, dan bertahan.

Karena itulah, Jawa tetap menjadi tanah yang tak pernah berhenti bercerita.

Penulis : Syafik

Sumber : Koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, edisi 2-4-1938