Uang yang Tak Mengalir: Fenomena Lama di Tanah Minyak
Damarinfo.com – Menteri Keuangan Purbaya kembali menjadi sorotan publik. Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah Tahun 2025 yang digelar Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan disiarkan melalui kanal YouTube resmi Kemendagri RI, Senin 20-10-2025.
Ia melontarkan pernyataan yang mengguncang ruang diskusi publik.
“Kalau Bojonegoro punya Rp3 triliun lebih di bank lalu tidak dibelanjakan, mau diapakan? Uang itu bukan untuk ditabung, tapi untuk memakmurkan rakyat,” ujarnya tegas.
Pernyataan itu membuat nama Bojonegoro kembali mencuat—bukan karena prestasi, tetapi karena catatan lamanya dalam hal dana mengendap. Dari laporan Kementerian Dalam Negeri yang disampaikan Tito Karnavian, Bojonegoro menempati posisi tertinggi secara nasional dalam kategori dana daerah yang “tidur” di rekening kas daerah.
Namun, bagi warga Bojonegoro, kabar ini bukan hal baru. Sejak 2018, fenomena dana mengendap sudah menjadi semacam “ritual tahunan”. Data keuangan daerah menunjukkan bahwa Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) Bojonegoro terus membengkak selama tujuh tahun terakhir, mencerminkan rendahnya serapan belanja dibandingkan besarnya pendapatan—terutama dari sektor migas.

Jejak Dana Mengendap
Fenomena dana mengendap di rekening kas daerah Bojonegoro sudah berlangsung lama. Sejak 2018, Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) Bojonegoro nyaris tak pernah di bawah Rp2 triliun.
Tahun itu, dari total APBD Rp3,6 triliun, anggaran yang tak terserap mencapai Rp2,01 triliun — setara 55,6 persen. Sejak saat itu, tren dana mengendap menjadi pola tahunan.
Pada 2019, SiLPA tetap tinggi di Rp2,2 triliun (30,9% dari APBD).
Tahun-tahun berikutnya, situasinya tidak banyak berubah:
-
2020: Rp2 triliun (35,1%)
-
2021: Rp2,8 triliun (45%)
-
2022: Puncaknya Rp3,2 triliun (45,7%)
-
2023: Turun sedikit menjadi Rp2,88 triliun (33,3%)
-
2024: Masih Rp2,02 triliun (24,1%)
Dari grafik tren 2010–2024, lonjakan terbesar jelas terjadi pada periode 2018–2022. Jika pada 2010–2016 SiLPA rata-rata hanya 10–11 persen dari APBD, maka setelah 2018 angkanya melompat lebih dari tiga kali lipat.

Bukan Efisiensi, tapi Perlambatan
Dalam laporan keuangan daerah, SiLPA sering diasosiasikan dengan “efisiensi anggaran”. Namun di Bojonegoro, efisiensi itu terasa semu. Dana besar yang tidak terserap bukan karena hemat, tapi karena banyak program yang tidak terlaksana tepat waktu. Proyek infrastruktur tertunda, belanja modal tidak terserap, dan sebagian dana transfer migas baru turun di penghujung tahun anggaran.
Dari total SiLPA 2024 sebesar Rp2,02 triliun, lebih dari separuhnya—sekitar Rp1,26 triliun—berasal dari penghematan belanja. Belanja modal yang seharusnya menjadi motor pembangunan bahkan menyumbang Rp550 miliar dana tak terserap, termasuk Rp400 miliar untuk proyek jalan dan jembatan yang tertunda.
Sementara itu, pelampauan Dana Bagi Hasil (DBH) Migas menyumbang sekitar Rp488 miliar, dan pelampauan PAD menyumbang setengah triliun rupiah. Kombinasi itulah yang setiap tahun membuat saldo kas daerah Bojonegoro menumpuk tinggi di akhir tahun.
Tahun 2023. Berdasarkan laporan keuangan daerah, SiLPA mencapai Rp2,88 triliun. Sumbernya tidak jauh berbeda dengan tahun 2024—yang secara simulatif memperlihatkan pola yang sama. Dari data terperinci, terlihat bahwa DBH Migas menyumbang bagian terbesar: Rp1,503 triliun. Selain itu, terdapat pelampauan DBH Pajak Bumi dan Bangunan sebesar Rp303 miliar, penghematan belanja pegawai dan modal hingga ratusan miliar rupiah, serta sisa dana pembiayaan Rp535,5 miliar.
Dengan kata lain, meskipun pendapatan Bojonegoro melimpah, sebagian besar dana itu tidak sempat bertransformasi menjadi aktivitas pembangunan. Uang mengendap bukan karena hilang, tetapi karena tidak terpakai tepat waktu.
Ketika Migas Menjadi Cermin Dua Sisi
Ironisnya, sumber utama kekuatan fiskal Bojonegoro—DBH Migas—juga menjadi sumber utamanya SiLPA.
Uang dari minyak dan gas memang deras, tetapi sering kali datang di penghujung tahun, ketika ruang belanja sudah sempit. Akibatnya, dana tak sempat terserap dan berpindah menjadi saldo kas mengendap.
Inilah yang menjadikan Bojonegoro “kaya di angka, lambat di realisasi.” Di atas kertas, APBD Bojonegoro menembus Rp8,6 triliun pada 2023, bahkan setara dengan beberapa kota besar di Indonesia. Namun di lapangan, sebagian besar uang itu hanya berputar di rekening perbendaharaan daerah, belum sepenuhnya bertransformasi menjadi kesejahteraan.
Cerita Lama yang Masih Berulang
Bagi warga Bojonegoro, isu “uang ngendon di kas daerah” sudah seperti lagu lama. Setiap pergantian tahun anggaran, berita serupa muncul: SiLPA triliunan, penyerapan rendah, alasan teknis serupa. Yang berbeda mungkin hanya angka di belakang koma.
Kini, setelah pernyataan Menteri Purbaya menjadi viral, sorotan kembali tertuju ke Bojonegoro. Namun jika melihat data 15 tahun terakhir, fenomena ini bukanlah kejutan. Bojonegoro memang sudah lama hidup di antara dua ekstrem: limpahan pendapatan migas dan tantangan menyerapnya.
Selama dana itu belum bergerak menjadi jalan, jembatan, sekolah, atau sawah produktif, maka setiap angka triliun di rekening pemerintah hanyalah angka di layar—bukan kesejahteraan di lapangan.
Barangkali, inilah paradoks daerah kaya sumber daya: uang datang deras, tapi pergerakannya lambat. Seperti air Bengawan yang tenang di musim kemarau—dalam dan menyimpan potensi besar—namun belum tentu menghidupi sawah di hilir. Dan selama itu belum berubah, Bojonegoro akan terus menyimpan cerita lama: kaya di rekening, pelan di pembangunan.
Penulis : Syafik
Sumber data :bpkad.id, CaLK Pemkab Bojonegoro





