Damarinfo.com –“Dengan mengucap Bismillahirrohmanirrohim, Kamis 26 Juni 2025, saya Prabowo Subiyanto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan pengoperasian dan pembangunan energi terbarukan di 15 provinsi serta peningkatan produksi minyak 30 ribu barrel dari Blok Cepu…”
Blok Cepu adalah obor terang di tengah malam kebutuhan energi nasional. Ketika Presiden Prabowo meresmikan peningkatan produksinya menjadi 180 ribu barrel per hari, tepuk tangan membahana dari para pejabat negeri: menteri, gubernur, direksi migas, hingga kepala daerah.
Tapi suara tepuk tangan itu tak sampai ke dapur warga Bojonegoro. Di sini, ibu-ibu masih sering menimang tabung gas kosong, sopir truk antre solar, dan petani melihat langit lebih sering daripada melihat air irigasi.
Bojonegoro: Sawah Tua di Atas Tambang Muda
Tanah Bojonegoro ibarat sawah tua yang dulu ditanami harapan, kini digantikan oleh sumur-sumur besi. Tanah ini menyumbang lebih dari 20 persen produksi migas nasional, dan PDRB (dengan migas) mencapai Rp 64,3 triliun. Angka yang fantastis.
Namun mari kita tengok dapurnya:
-
Pendapatan per kapita Rp 48,5 juta setahun, tapi pengeluaran riil hanya Rp 1,11 juta per bulan
-
Asupan kalori 2.029 kkal, protein 56 gram—kalah dari Lamongan, Tuban, dan Ngawi
-
Hampir 10% warga kekurangan pangan
Apa gunanya jadi lumbung energi, kalau warganya masih harus mengatur api kecil untuk memasak nasi?
6,5 Persen Tak Bisa Mengisi Piring Kosong
Pemerintah pusat merasa sudah adil: Bojonegoro mendapat Dana Bagi Hasil Migas 6,5%. Tapi apakah itu cukup?
-
11,69% warga Bojonegoro masih miskin
-
Ketimpangan (Gini Ratio) justru naik jadi 0,310 pada 2024
-
Dan yang paling menyakitkan: ekonomi justru tumbuh lebih baik tanpa migas (5,17%) ketimbang saat migas dihitung (1,67%)
Migas hanya menggemukkan angka PDRB dan DBH Migas hanya menggemukan APBD tapi tak memberi banyak isi pada kantong rakyat.
Belajar pun Masih Berjalan di Tempat
Anak-anak Bojonegoro belajar di bawah bayang-bayang flare gas, tapi tak semua bisa menyelesaikan sekolah.
-
Rata-rata lama sekolah: hanya 8,1 tahun – setara kelas 2 SMP
-
Tamat perguruan tinggi: cuma 5,99% – terendah ketiga se-Jawa Timur
-
Melek huruf: hanya 92,87% – nomor dua terbawah
Sementara di Puskesmas:
-
13 bayi meninggal per 1.000 kelahiran
-
12% balita mengalami stunting
Dan 34.785 orang masih menganggur
Pendidikan dan kesehatan tak bisa hidup dari bau minyak mentah. Mereka butuh sentuhan nyata, bukan statistik yang melambung.
Negara, Dengarkan Suara dari Akar Rumput
Dalam Pidato Presiden, Tidak ada ucapan terima kasih kepada rakyat yang sudah menyerahkan sawahnya, menanggung debu proyek, dan menerima nasib buruk lingkungan yang berubah selamanya.
Apa yang bisa kami wariskan kepada anak cucu? Sumur kosong dan jalan tambang berdebu?
Kami Tak Ingin Menjadi Lilin
Bojonegoro bukan anti-pembangunan. Tapi kami juga bukan lilin—yang harus membakar diri sendiri demi menerangi ruang lain, lalu meleleh dan hilang tak bersisa.
Jika pemerintah pusat tidak mampu memberi lebih dari angka “6,5%”, maka:
- Berikan waduk untuk pertanian, bukan hanya sumur untuk eksploitasi.
- Bangun sekolah unggulan dan vokasi, bukan hanya gedung rapat.
- Hadirkan tenaga medis profesional, bukan hanya angka statistik.
Ketika Tepuk Tangan Tak Sampai ke Dapur
Silakan tepuk tangan untuk lifting migas nasional.
Silakan bangga dengan target produksi dan proyek transisi energi.
Tapi jangan lupa suara kecil dari Bojonegoro.
Kami adalah akar dari obor besar yang menyala itu.
Kami hanya ingin dihitung, disebut, dan dipedulikan.
Penulis: Syafik