Bojonegoro dan Ilusi Kaya: Saatnya Bangun dari Mimpi Migas

oleh 127 Dilihat
oleh
Bojonegoro- Sore hari di proyek Pengeboran Gas yang dilakukan oleh PT Pertamina EP Cepu (PEPC) di wilayah operasional Proyek Jambaran – Tiung Biru telah mendekati masa akhir.Foto/dok

Ilusi Kaya di Negeri Migas

Jika APBD adalah panggung sandiwara, maka Bojonegoro telah memainkan lakon “kaya semu” dengan penuh keyakinan. Angka-angka triliunan tercetak setiap tahun, SILPA menumpuk Rp 2–3 triliun seakan jadi bukti kemakmuran. Tetapi, semua itu hanyalah fatamorgana. Di balik gemerlap angka, Bojonegoro masih menggantungkan hidup pada siraman dana pusat.

Seperti tanaman dengan akar lemah yang hanya hidup dari air hujan, 80–85% pendapatan Bojonegoro 2019–2024 berasal dari transfer pusat, terutama Dana Bagi Hasil (DBH) migas. Sementara itu, PAD hanya 15–17%.

Data 2019–2024: Tabungan yang Menyesatkan

Mari menengok data enam tahun terakhir:

Tahun Pendapatan (Realisasi) Belanja (Realisasi) SILPA
2019 Rp 4,77 T Rp 3,40 T Rp 2,02 T
2020 Rp 4,16 T Rp 3,75 T Rp 2,01 T
2021 Rp 5,90 T Rp 5,09 T Rp 2,82 T
2022 Rp 5,77 T Rp 5,38 T Rp 3,21 T
2023 Rp 6,02 T Rp 6,35 T Rp 2,89 T
2024 Rp 5,72 T Rp 6,57 T Rp 2,02 T

Pola yang tampak jelas: pendapatan sebagian besar dari pusat, belanja tidak pernah terserap penuh, SILPA terus menumpuk. Tumpukan ini bukanlah bukti kelebihan uang, melainkan cermin dari ketidakmampuan menyerap anggaran.

(Grafik by chatgpt)

APBD Perubahan 2025: Defisit Tertutup Tabungan

Masuk ke 2025, setelah perubahan, pendapatan tercatat Rp 5,7 triliun, sementara belanja mencapai Rp 6,5 triliun. Sekilas tampak defisit Rp 853 miliar.

Baca Juga :   Berikut Tiga OPD di Bojonegoro dengan Serapan Anggaran Terendah

Namun, defisit ini ditutup dengan SILPA 2024 sebesar Rp 2 triliun. Artinya, secara kertas Bojonegoro aman. Tapi apakah sehat jika sebuah rumah tangga selalu menutup pengeluaran dengan menguras tabungan?

2026: Simulasi Jika Transfer Dipotong 30%

Kini badai itu benar-benar datang. Wakil Ketua Komisi B DPRD Bojonegoro, Lasuri, mengingatkan bahwa mulai 2026, pemerintah pusat berencana memangkas transfer ke daerah hingga 30%.

“Kalau berdasar dana transfer tahun 2024, maka diperkirakan akan ada penurunan hingga Rp 1,2 triliun,” tegasnya.

Mari kita buat simulasi:

Komponen 2025 (Perubahan) 2026 (Simulasi, Transfer -30%)
Pendapatan Asli Daerah Rp 1,064,5 T Rp 1,064,5 T
Transfer Pusat Rp 4,595,1 T Rp 3,216,6 T
Total Pendapatan Rp 5,659,6 T Rp 4,281,0 T
Belanja Rp 7,683,7 T Rp 7,683,7 T
Defisit Rp 2,025,0 T Rp 3,402,6 T

Inilah pertama kalinya, meski ada SILPA, Bojonegoro tetap menghadapi lubang anggaran. Ilusi kaya kini benar-benar runtuh.

Dari Mindset “Kaya Semu” ke Mandiri

Masalah utama bukan sekadar kurangnya uang, tetapi mindset. Ada tiga penyakit yang terus berulang:

  1. Belanja jor-joran tanpa kapasitas. Tahun 2024 belanja Rp 8,2 T, pendapatan hanya Rp 5,7 T.

  2. PAD stagnan. Bojonegoro ibarat petani malas menggali sumur, karena selalu menunggu hujan dari pusat.

  3. SILPA dijadikan selimut. Seolah selalu ada tabungan, padahal itu justru cermin ketidakmampuan menyerap.

Baca Juga :   Ra Kaprah...APBD Kabupaten Bojonegoro Tahun 2024 “bisa” Tembus Rp. 8,5 Triliun

Pilihan Jalan: Tabungan, Pangkas, atau Transformasi?

Di persimpangan ini, Bojonegoro punya tiga pilihan:

  • Habiskan SILPA: seperti menguras tabungan untuk membiayai gaya hidup. Aman sesaat, tapi rawan bangkrut.

  • Pangkas belanja drastis: ibarat keluarga yang memotong semua pengeluaran. Selamat dari krisis, tapi layanan publik merosot.

  • Transformasi menuju kemandirian: kombinasi efisiensi belanja, penggunaan SILPA terbatas, dan agresif mengembangkan PAD.

Menanam Pohon Kemandirian

Pemotongan transfer pusat harus jadi alarm keras. Saatnya Bojonegoro menanam pohon kemandirian fiskal:

  • Mengairi akar PAD: pajak daerah, retribusi, BUMD harus jadi prioritas.

  • Memangkas ranting kering: belanja yang tidak produktif harus disisihkan.

  • Menjadikan SILPA benih masa depan: bukan untuk ditumpuk, bukan untuk dihamburkan, tapi diinvestasikan.

  • Menggali sumur baru: sektor non-migas—pariwisata, pertanian, ekonomi kreatif—harus digenjot.

Titik Balik

Pepatah Jawa berkata: Memayu hayuning bawana—menjaga harmoni kehidupan. Bagi Bojonegoro, harmoni itu hanya mungkin jika kapal ini berdiri di atas mesin kemandirian, bukan sekadar layar besar yang tergantung pada angin luar.

Tantangan badai hari ini adalah peluang menulis ulang peta pelayaran masa depan. Saatnya Bojonegoro menutup bab ilusi migas dan membuka lembaran baru menuju kedaulatan fiskal sejati.

Penulis : Syafik