Mengintip Boedi Oetomo Tahun 1910: Semangat Kebangkitan di Bawah Kolonial Belanda

oleh 113 Dilihat
oleh
(Kongres Pertama Boedi Oetomo, Gedung Sekolah Pendidikan Guru Yogyakarta, 3 - 5 Oktober 1908, dok: Muskitnas)

damarinfo.com – Bayangkan Jawa di tahun 1910, ketika malam dihiasi lampu minyak yang berkedip-kedip dan suara kereta api bergemuruh di kejauhan, membawa kabar dari dunia yang jauh. Di tengah sawah hijau dan jalanan berdebu, sebuah gerakan bernama Boedi Oetomo mulai menyalakan api kecil di hati masyarakat. Koran De Locomotief edisi 6 Oktober 1911 mencatat perjuangan mereka, sebuah kisah nostalgia yang membawa kita kembali ke era kolonial Belanda, saat semangat kebangkitan mulai bersemi.

Awal Mula Boedi Oetomo: Oase Harapan

Boedi Oetomo, yang lahir pada 1908, adalah seperti oase di tengah gurun ketidakpastian. Para priyayi dengan kain batik tersampir rapi berkumpul, berbagi mimpi tentang masa depan bangsa. Namun, seperti dicatat dalam laporan tahunan mereka, semangat untuk bertindak belum sepenuhnya berkobar. “Orang Jawa masih tertidur,” tulis pengurus dengan penuh harap, “tapi kami yakin, suatu saat semua akan bangkit dan bersama membangun.” Kata-kata ini bagai angin sepoi yang menggoyang dedaunan, pelan namun penuh janji.

Menabur Benih Persatuan

Benih organisasi ini ditaburkan oleh M. Ng. Soedirohoesodo, seorang priyayi yang berkelana dari Jawa Timur hingga Jawa Barat, menanamkan gagasan persatuan di hati rakyat. Benih itu dipupuk oleh para guru di sekolah-sekolah, yang dengan penuh dedikasi membimbing generasi muda. Tapi, tantangan tak pernah jauh. Banyak cabang, yang dipimpin pelajar bersemangat, mulai goyah karena kurangnya tokoh senior. Di beberapa tempat, tanpa pemimpin yang lebih tua, cabang-cabang itu bagai pohon muda yang kehilangan akar, terancam layu. Bagi yang sudah berkeluarga, menyebarkan propaganda sambil mencari nafkah adalah beban berat. “Mungkin kelak,” tulis laporan itu, “tugas ini akan dipercayakan kepada mereka yang hidup hanya untuk Boedi Oetomo.”

Baca Juga :   Edy, Pemuda Pelopor UKM dari Sekaran

Perubahan dan Pertumbuhan Organisasi

Tahun 1910 mencatat perubahan di kepengurusan pusat. M. Ng. Dirdjasewojo, guru di sekolah keguruan Yogyakarta, mengundurkan diri sebagai sekretaris karena kesibukan lain, digantikan oleh R. Soejana, asisten wedana dari Sroeweng, Karanganjar. Di cabang-cabang seperti Batavia, Buitenzorg, dan Bandung, banyak pengurus mundur tanpa pengganti, meninggalkan tanda tanya. Namun, di tengah tantangan, Boedi Oetomo terus bertumbuh. Dari 22 cabang, mereka menyambut 12 cabang baru, dari Ponorogo hingga Pasuruan, hingga total 34 cabang tersebar dari Jawa Barat sampai Banjarmasin.

Lonjakan Anggota dan Kehadiran Perempuan

Jumlah anggota melonjak, mencapai 6.416 jiwa per Agustus 1911, didukung 63 donatur. Cabang Sragen dan Batavia memimpin dengan masing-masing 707 anggota, diikuti Solo dengan 579. Menariknya, cabang Karanganjar mencatat delapan anggota perempuan—langkah kecil namun berarti di era ketika suara perempuan masih terbatas. Berikut adalah rincian jumlah anggota per cabang berdasarkan laporan 1911 dalam format ringkas:

Cabang

Anggota

Cabang

Anggota

Cabang

Anggota

Batavia

707

Pekalongan

351

Malang

111

Sragen

707

Yogyakarta

355

Karanganjar (Kedu)

105 (8 perempuan)

Solo

579

Klaten

310

Cimahi

105

Banjarmasin

452

Wonogiri

292

Magelang

94

Tegal

443

Bandung II

238

Buitenzorg

89

Surabaya (1910)

238

Kudus

223

Cilacap

86

Pati

174

Purwakarta

128

Sumpiuh

75

Karanganjar (Solo)

122

Jombang

115

Madiun

67

Bangkalan

60

Kediri

53

Bojonegoro

50

Pacitan

50

Srandakan

49

Ponorogo

42

Pundang

37

Pasuruan

27

Bandung I

26
Baca Juga :   Pemuda Bojonegoro Tertinggal di SMA, Tetangganya Sudah Sampai Perguruan Tinggi

Suara Boedi Oetomo: Organ Resmi dan Aspirasi

Boedi Oetomo juga mulai menerbitkan organ resmi, dicetak 1.500 eksemplar in Solo, menjadi suara yang bergema di seantero Jawa. Tak hanya soal keanggotaan, mereka berani menyuarakan aspirasi kepada pemerintah kolonial. Permintaan agar anak-anak Jawa belajar bahasa Belanda di usia muda diajukan, sebuah langkah membuka pintu pendidikan. Pemerintah menjawab bahwa kesempatan telah dipermudah, meski pengurus meragukan apakah perubahan itu cukup. Mereka juga mengusulkan lotre 500.000 gulden, usaha ambisius yang masih menunggu restu.

Goeroe Desa dan Semangat yang Tak Padam

Di antara rapat pada Januari dan Juli, pengurus sibuk menerbitkan Goeroe Desa, majalah bulanan yang jadi wadah gagasan. Rencana penerbitan dua kali sebulan tertunda karena dana dan naskah, tapi semangat tak pernah padam. Dari Tegal hingga Banjarmasin, Boedi Oetomo adalah simbol harapan, cerminan jiwa bangsa yang mencari identitas di bawah bayang kolonial.

Warisan Boedi Oetomo: Obor Kebangkitan

Kisah Boedi Oetomo tahun 1910 adalah cerita sederhana namun penuh makna. Di tengah hiruk-pikuk pasar dan derap langkah di jalan berbatu, mereka menyalakan obor kecil yang kelak menerangi jalan kebangkitan nasional. Nostalgia ini mengingatkan kita pada masa ketika mimpi besar lahir dari hati yang sederhana.

Penulis : Syafik

Sumber : (Koran De Locomotief edisi 6 Oktober 1911 diunduh melalui delpher.nl, diterjemahkan dengan grok.com)