damarinfo.com -Bayangkan sebuah lonceng tua berdentang pelan di ufuk Bojonegoro, menggema pada 20 Mei, mengingatkan kita pada tahun 1908. Saat itu, sekelompok pemuda, dipimpin sosok seperti dr. Soetomo yang baru berusia 20 tahun, mendirikan Budi Utomo—percikan pertama kebangkitan nasional yang mengubah sejarah.
Hari Kebangkitan Nasional bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan undangan untuk menatap cermin: apakah semangat perjuangan, persatuan, dan nasionalisme itu masih hidup di hati pemuda Bojonegoro hari ini? Atau, sudahkah ia meredup, tertimbun angka-angka statistik dan kebijakan yang berjalan setengah hati?
Di Bojonegoro, pemuda bukan sekadar angka dalam laporan. Mereka adalah kekuatan hidup—hampir 19% dari total penduduk atau sekitar 251.335 jiwa, menurut Statistik Pemuda Jawa Timur 2024. Bayangkan, jumlah ini lebih besar dari populasi sebuah kabupaten kecil. Mereka adalah gelombang potensi, dengan 74,46% tak merokok, menandakan fisik yang sehat, siap mengukir prestasi. Tapi, di balik angka-angka itu, ada cerita lain yang mengiris hati.
Hanya 7,1% pemuda Bojonegoro yang berhasil merengkuh gelar sarjana. Lebih memilukan, 0,23% tak menamatkan SD, dan 0,22% bahkan tak pernah mengenal bangku sekolah. Pengangguran mengintai di sudut-sudut desa, akses pendidikan tinggi bagaikan oase yang sulit diraih, dan ruang untuk berkarya terasa sempit. Ini bukan lagi soal melawan penjajah dengan bambu runcing, melainkan melawan sistem yang seolah tak cukup peduli untuk membuka jalan bagi mereka.
Langkah yang Merangkak
Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) Bojonegoro, bagai anak kecil yang belajar berjalan, menunjukkan sedikit kemajuan: dari 48,06 di 2019 menjadi 54,05 di 2023. Tapi, jangan buru-buru bersorak. Angka ini masih jauh dari ideal (100), dan di tengah tantangan yang kian rumit—ketimpangan keterampilan, minimnya inovasi, hingga daya saing yang lemah—kenaikan ini terasa seperti setetes air di padang gersang.
Lebih ironis lagi, dokumen resmi Rancangan Teknokratik RPJMD 2025–2029 mengakui: prestasi pemuda dan olahraga di Bojonegoro justru merosot. Lalu, di mana letak salahnya?
Anggaran yang Mengecewakan
Kabupaten Bojonegoro, dengan APBD 2025 sebesar Rp 7,9 triliun, seharusnya punya cukup ruang untuk mengangkat pemudanya. Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) mendapat jatah Rp 111,3 miliar—angka yang terdengar megah di atas kertas. Tapi, coba telisik lebih dalam. Dari jumlah itu, hanya Rp 6,1 miliar—atau 0,07% dari APBD—yang benar-benar dialokasikan untuk Program Pengembangan Kapasitas Daya Saing Kepemudaan, program yang seharusnya menjadi jantungan pengembangan pemuda.
Bayangkan, hanya segelintir koin dari tumpukan emas yang digunakan untuk mencetak pemuda unggul, kompetitif, dan siap bersaing di panggung global. Ini bukan sekadar soal angka, melainkan cermin dari prioritas yang salah tempat. Bagaimana kita bisa bicara tentang kebangkitan nasional, jika investasi pada pemuda—tulang punggung masa depan—hanya sebesar ini?
Menjadi Budi Utomo Baru
Hari Kebangkitan Nasional seharusnya lebih dari sekadar nostalgia. Ia adalah panggilan untuk bertindak, untuk menyalakan kembali api perubahan yang dulu dinyalakan oleh para pemuda Budi Utomo.
Bojonegoro butuh lebih dari kata-kata manis atau seremoni tahunan. Ia butuh ekosistem yang hidup, yang memungkinkan pemuda untuk bermimpi besar dan mewujudkannya.
Bayangkan ruang-ruang di mana pemuda bisa berpartisipasi dalam pembangunan, bukan sekadar jadi penonton. Bayangkan akses pendidikan tinggi yang tak lagi jadi barang mewah, atau pelatihan keterampilan yang menyiapkan mereka untuk dunia kerja yang berubah cepat.
Bayangkan inkubator kewirausahaan yang mendorong ide-ide gila menjadi kenyataan. Dan, yang tak kalah penting, bayangkan anggaran yang tak hanya besar di atas kertas, tapi benar-benar sampai ke tangan pemuda dalam bentuk program nyata.
Pemerintah daerah, DPRD, tokoh masyarakat, dunia pendidikan, hingga sektor swasta—semua harus bergandengan tangan. Jika dr. Soetomo dan kawan-kawannya bisa mengguncang dunia di usia 20 tahun, mengapa pemuda Bojonegoro hari ini tidak bisa? Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Kalau bukan mereka, siapa lagi?
Lonceng yang Masih Berdentang
Hari Kebangkitan Nasional adalah lonceng pengingat bahwa pemuda bukan sekadar angka dalam buku tahunan atau penutup laporan seremonial. Mereka adalah detak jantung Bojonegoro, masa depan yang sedang menunggu untuk dilibatkan, disiapkan, dan didukung sepenuhnya.
Tapi, tanpa kebijakan yang berpihak, tanpa anggaran yang tepat sasaran, dan tanpa ekosistem yang memberi ruang, semangat kebangkitan itu hanya akan jadi kenangan yang pudar. Bojonegoro, sudahkah kau mendengar dentang lonceng itu? Atau, akankah kau biarkan ia berdentang sia-sia
Penulis : Syafik
Sumber data :Statisti Pemuda Jawa Timur Tahun 2024, Teknokratik RPJMD Kabupaten Bojonegoro 2025-2029