Penghujung tahun 2018 jagad poltiik di Indonesia dikejutkan dengan ditangkapnya 41 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Malang periode 2014 -2019. Penangkapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI) atas kasus gratifikasi pengelolaan sampah dan suap pembahasan Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Malang tahun 2015. (https://news.detik.com/berita-jawa-timur/d-4365158/gonjang-ganjing-korupsi-massal-41-anggota-dprd-kota-malang)
Dengan ditahannya 41 anggoat DPRD dari 45 anggota DPRD Kota Malang tersebut, kegiatan DPRD Kota Malang lumpuh. Juga aktifitas kenegaraan untuk Pemerintahan Kota Malang tidak bisa berjalan, diantaranya pembahasan P-APBD 2018. Beruntung seluruh partai politik yang memiliki anggota DPRD di Kota Apel tersebut bergerak dengan cepat untuk melakukan Pergantian Antar Waktu (PAW) dari anggota DPRD yang ditahan oleh KPK. Gubernur Jawa Timur saat itu Soekarwo juga melakukan percepatan pengurusan pengajuan PAW, dan segera melantik anggota DPRD hasil PAW tersebut. Sehingga roda Pemerintahan Kota Malang kembali berjalan sebagaimana mestinya.
Di Bojonegoro saat ini, Kepolisian Resort (Polres) Bojonegoro sedang menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat terkait dana Pokok-pokok pikiran (Pokir) yang dilaksanakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bojonegoro. Dugaannya pelaksanaan dana pokir ini menyalahi aturan perundang-undangan. Menjadi menarik ketika dalam proses penyelidikan Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Bojonegoro harus meminta klarifikasi dari 34 anggota DPRD Bojonegoro, untuk memperjelas duduk permasalahan adanya dana Pokir tesebut. Saat ini proses pemeriksaan masih berjalan, dan penyidik pun belum bisa menyimpulkan kebenaran pengaduan masyarakat. Masuk dalam ranah tindak pidana korupsi atau bukan.
Berita soal ini tentu tidak seheboh yang terjadi di Kota Malang, tetapi menilik jumlah anggota DPRD yang akan diminta klarifikasi oleh kepolisian tentu menjadi menarik. Tentu saja karena bisa berdampak pada jalannya pemerintahan seandainya dilakukan tindakan hukum seperti yang terjadi pada anggota DPRD Kota Malang. Pasalanya jumlahnya 34 anggota dari total 50 anggota DPRD Bojonegoro atau 65 persen.
Beruntungnya ke 34 orang tersebut tidak ditahan oleh pihak Kepolisian Bojonegoro karena pengaduan ini belum secara gamblang mengarah ke arah tindak pidana korupsi atau bukan. Sehingga Pemerintahan Bojonegoro tidak terganggu dengan persoalan ini. Pun para anggota DPRD yang nama-namanya disebutkan oleh beberapa media masih menjalankan tugas-tugasnya sebagai anggota dewan. Seperti melakukan kegiatan reses pertama di masa sidang pertama tahun 2021 ini.
Mungkinkan yang terjadi di Kota Malang bakal terjadi di Kabuapten Bojonegoro? Tentu harus dilihat perbedaanya. Di Kota Malang perkaranya sudah jelas, yakni perkara tindak pidana korupsi sehingga sudah ada penetapan tersangka (sudah diputus di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan sudah incraht). Dan 41 anggota DPRD yang sudah ditetapkan tersangka ditahan oleh KPK sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai anggota DPRD.
Sementara di Bojonegoro penyidik belum menentukan bahwa pengaduan masyarakat tersebut, masuk ranah pidana atau bukan. Jika pun masuk ranah pidana termasuk jenis pidana apa. Untuk itu belum ada tersangka dalam kasus ini, pun jika ada tersangka, apakah akan dilakukan penahanan? Masih gelap.
Sekali lagi jika sudah masuk dalam ranah pidana tindak pidana, maka proses hukum membutuhkan waktu yang panjang untuk sampai pada Pergantian Antar Waktu (PAW) bahkan bisa jadi sampai akhir masa jabatan DPRD Bojonegoro di tahun 2024 mendatang.

Pasalanya Pemberhentian anggota DPRD dibatasi oleh Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Dalam konteks perkara pidana harus mengacu pada Pasal 405 Ayat 2 hurus c, yang menyebutkan “Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun”
Tentu untuk sampai tahapan hukum yang incraht (kekuatan hukum tetap) memerlukan waktu yang panjang karena bisa sampai di tingkat Mahakamah Agung.
Publik mesti bersabar untuk menunggu proses hukum yang saat ini digelar. Tentu masyarakat berharap proses akan berjalan adil dan transparan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan pemerintahan di Kabupaten Bojonegoro tidak sampai terganggu dengan adanya pengaduan masyarakat ini.
Dan kawan-kawan di DPRD Bojonegoro mesti lebih berhati-hati dalam menjalankan tugas-tugas kenegaraanya sebagai wakil rakyat. Tentu agar tidak terganggu dengan permasalahan-permasalahan hukum. Karena ini akan menguras emosi dan energi dalam menghadapinya.
Yang terjadi di Kota Malang 2018 lalu, diharapkan jangan sampai terjadi di Bojonegoro.
Bercerminlah pada pengalaman.
Penulis : Syafik