Setiap tahun, peringatan Hari Jadi Bojonegoro (HJB) selalu dirayakan dengan penuh kemegahan. Tahun 2025 ini, usia Kabupaten Bojonegoro telah menginjak 348 tahun, sebuah usia yang matang bagi sebuah daerah dengan sumber daya alam melimpah dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang sangat besar. Namun, di balik gemerlap pesta hari jadi dan geliat pembangunan infrastruktur, terdapat satu kenyataan yang menyedihkan: guru-guru madrasah di Bojonegoro masih terpinggirkan dan terabaikan dari perhatian pemerintah daerah.
Bojonegoro dikenal sebagai salah satu daerah dengan APBD tinggi di Jawa Timur, bahkan secara nasional pernah masuk jajaran kabupaten dengan dana bagi hasil migas terbesar. Ironisnya, limpahan anggaran ini belum sepenuhnya menyentuh sektor pendidikan keagamaan, khususnya madrasah swasta. Guru-guru RA, MI, MTs, hingga MA swasta masih harus berjuang keras mempertahankan pengabdian mereka dengan honorarium minim, bahkan belum pernah menerima insentif daerah sama sekali.
Padahal, jika kita mengacu pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 11 ayat (1) menyatakan bahwa “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.” Ini berarti bahwa pendidikan keagamaan seperti madrasah juga memiliki hak yang sama untuk memperoleh dukungan daerah, sebagaimana sekolah umum di bawah naungan Dinas Pendidikan.
Telah kita ketahui bersama bahwa Kabupaten Bojonegoro telah memiliki Perda No 08 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Di Kabupaten Bojonegoro, jelas diatur dalam Bab III Prinsip-Prinsip Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 3 ayat 1 yang berbunyi bahwa Penyelenggaraan Pendidikan di kabupaten Bojonegoro berdasarkan prinsip :
a. Demokratis;
b. berkeadilan dan tidak diskriminatif antara sekolah dan madrasah antara negeri dan swasta dan
c. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moral, hak asasi manusia(HAM),Transparansi, Akuntabilitas, resposnsif gender, dan kultur Masyarakat.
Lebih jauh, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan, Pasal 29 menegaskan bahwa pemerintah daerah dapat memberikan bantuan kepada satuan pendidikan keagamaan dalam bentuk dana, sarana prasarana, pelatihan pendidik, maupun bentuk lain yang relevan. Sayangnya, klausul “dapat” ini sering dijadikan celah oleh pemerintah daerah untuk tidak menjadikan madrasah sebagai prioritas pembangunan pendidikan.
Padahal, madrasah memiliki peran strategis dalam mencetak generasi berakhlak, berilmu, dan berkarakter keagamaan kuat. Di pelosok Bojonegoro, madrasah sering kali menjadi satu-satunya lembaga pendidikan formal yang terjangkau oleh masyarakat. Guru-guru madrasah tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik, membimbing, dan menjadi teladan moral bagi peserta didik. Namun, peran besar ini tidak diimbangi dengan kesejahteraan yang layak.
Dalam konteks Desentralisasi Pendidikan, Pemerintah Daerah memiliki ruang fiskal luas untuk melakukan inovasi pendanaan melalui APBD. Sayangnya, alokasi anggaran daerah masih terlalu tersentral pada sekolah negeri dan program fisik, bukan pada peningkatan kesejahteraan pendidik madrasah. Padahal, dengan APBD triliunan, memberikan tunjangan layak kepada guru madrasah bukanlah hal mustahil—melainkan masalah kemauan politik.
Jika kita membuka Kembali naskah RPJMD Kabupaten Bojonegoro tahun 2025-2029 dengan VISI ”Terwujudnya Bojonegoro Makmur dan Membanggakan” yang memiliki makna sebagai berikut :
• Bojonegoro : seluruh wilayah daerah otonom Bojonegoro beserta masyarakat, kehidupan dan sumber penghidupannya.
• Makmur : Pembangunan daerah harus dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, tidak ada diskriminasi, menjunjung tinggi keberagaman, keadilan, dan kesetaraan dan inklusivitas sosial. Kondisi ini sesuai dengan jargon dari Pembangunan berkelanjutan, yaitu no one left behind atau tidak boleh ada satupun yang tertinggal/ditinggalkan.
Maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah daerah untuk segera memperhatikan keberadaan guru-guru non ASN yang ada di RA, MI, MTs dan MA.
Momentum HJB ke-348 ini seharusnya menjadi cermin bagi Pemerintah Kabupaten Bojonegoro untuk menata ulang arah pembangunan daerah, khususnya dalam bidang pendidikan keagamaan. Sudah saatnya Bojonegoro tidak hanya bangga dengan label “kabupaten kaya,” tetapi juga dikenal sebagai kabupaten yang adil dalam memperlakukan semua pendidik, termasuk guru madrasah.
Pemerintah daerah perlu membuat regulasi turunan, seperti Peraturan Bupati, yang memberikan dasar hukum kuat bagi pemberian insentif dan tunjangan daerah kepada guru madrasah. Langkah ini bukan hanya bentuk kepedulian, melainkan implementasi nyata dari amanat konstitusi dan regulasi nasional.
Guru madrasah bukan warga kelas dua. Mereka adalah garda depan penjaga moral bangsa. Jika Bojonegoro ingin maju secara lahir dan batin, keadilan bagi guru madrasah harus menjadi bagian dari agenda pembangunan daerah.
Penulis : Masyhudi, Kepala MI Fathul Ulum Sumberjokidul.