APBD Jumbo, Hasil Mini: Bojonegoro Masih Kalah dari Nganjuk, Saatnya Mengejar

oleh 193 Dilihat
oleh
(ilustrasi by grok)

Dulu Mau Salip Lamongan, Sekarang Kalah dari Nganjuk

Dua dekade lalu, ketika Suyoto (Bupati Bojonegoro 2008- 2018) pertama mencalonkan diri sebagai Bupati Bojonegoro, ia mengusung slogan yang ringkas tapi penuh arah: “Melebihi Lamongan.” Layaknya nakhoda kapal, Kang Yoto memberi harapan bahwa Bojonegoro akan berlayar lebih cepat, bahkan melewati kabupaten tetangga.

Tapi seperti kapal yang kehilangan angin, Bojonegoro kini malah tertinggal. Bukan hanya dari Lamongan, tapi juga dari Nganjuk—kabupaten yang selama ini jarang masuk radar persaingan pembangunan.

Tertinggal di Lintasan, Padahal Mesinnya Gede

Dengan mesin fiskal raksasa, Bojonegoro mestinya melaju kencang. Tapi kenyataannya, indikator seperti kemiskinan, pendidikan, dan IPM justru stagnan.

Indikator Nilai Peringkat Catatan
Angka Kemiskinan 11,69% 11 dari bawah Zona merah kemiskinan tinggi
Pertumbuhan Ekonomi (dengan Migas) 1,67% 38 dari 38 Paling rendah di Jawa Timur
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 72,75 25 dari 38 Di bawah rata-rata provinsi
Rata-rata Lama Sekolah 8,69 tahun 27 Setara kelas 2 SMP
Rumah Tak Layak Huni (RTLH) 32,99% 6 terbanyak 1 dari 3 rumah tidak layak

Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada anak sekolah tidak sampai SMA dan warga yang tetap miskin, meski anggaran sosialnya triliunan.

Baca Juga :   110 Ribu Keluarga di Bojonegoro (Masih) Pra Sejahtera.

Nganjuk Melaju, Bojonegoro Malah Parkir

Bandingkan dengan Nganjuk. Meski kantongnya jauh lebih kecil, kabupaten ini tahu ke mana arah pelayarannya.

Indikator Bojonegoro Nganjuk Lamongan Tuban Ngawi
Kemiskinan (%) 11,69 10,17 12,16 14,36 13,81
Pertumbuhan Ekonomi (non-migas) 1,67 4,93 4,81 3,86 4,64
IPM 72,75 75,24 75,90 72,31 73,91
Rata-rata Lama Sekolah 8,10 8,51 8,89 8,29 8,29
Rumah Tak Layak Huni (%) 32,99 16,96 28,66 28,07 30,89

Padahal, belanja bansos Bojonegoro tahun 2024 mencapai Rp 122,8 miliar, dibandingkan Nganjuk yang hanya Rp 14 miliar. Tapi hasilnya? Jauh di bawah.

Nakhoda Baru, Tapi Kapalnya Masih Berputar

Sejak awal 2025, Bojonegoro punya pemimpin baru: Setyo Wahono–Nurul Azizah. Mereka membawa visi: “Bojonegoro Bahagia, Makmur, Membanggakan.”

Tapi sejauh ini, kapalnya masih berputar di sekitar dermaga. Ini dapat dipahami karena mereka baru memegang kendali kapal, namun sayanganya hingga lima bulan belum jelas mau berlayar ke mana.

Visi seperti “pembangunan berkeadilan” atau “tak ada yang tertinggal” terdengar manis. Tapi rakyat butuh bukti, bukan slogan. Apakah mereka sedang membaca peta? Atau belum tahu peta mana yang harus dipakai?

Raksasa yang Bingung Belanja

Bojonegoro tahun 2024 punya pendapatan Rp 5,43 triliun, dan belanja Rp 8,23 triliun—salah satu yang terbesar di Jawa Timur. Tapi seperti raksasa yang nyasar di pasar malam, uang banyak tak berarti arah jelas.

Dengan anggaran seperti ini, Bojonegoro mestinya bisa melaju kencang. Tapi kenyataannya, banyak desa masih dengan jalan rusak, dan anak-anak berhenti sekolah di SMP.

Sudah Saatnya Menentukan Arah

Rakyat Bojonegoro tidak butuh keajaiban. Mereka hanya ingin tahu ke mana kapal ini akan berlayar.

Tiga pertanyaan sederhana untuk pemimpin baru:

  1. Siapa yang ingin kita salip?
    Mulailah dari yang realistis: Nganjuk.

  2. Apa strategi kita?
    Fokus pada pendidikan, infrastruktur, dan pengurangan kemiskinan.

  3. Kapan target itu tercapai?
    Tetapkan tenggat waktu, bukan janji mengambang.

Tanpa itu, kapal besar bernama Bojonegoro ini akan terus seperti kapal pesiar yang muter-muter di pelabuhan: mewah, mahal, tapi tak pernah sampai.

Penulis : Syafik