Dulu Mau Salip Lamongan, Sekarang Kalah dari Nganjuk
Dua dekade lalu, ketika Suyoto (Bupati Bojonegoro 2008- 2018) pertama mencalonkan diri sebagai Bupati Bojonegoro, ia mengusung slogan yang ringkas tapi penuh arah: “Melebihi Lamongan.” Layaknya nakhoda kapal, Kang Yoto memberi harapan bahwa Bojonegoro akan berlayar lebih cepat, bahkan melewati kabupaten tetangga.
Tapi seperti kapal yang kehilangan angin, Bojonegoro kini malah tertinggal. Bukan hanya dari Lamongan, tapi juga dari Nganjuk—kabupaten yang selama ini jarang masuk radar persaingan pembangunan.
Tertinggal di Lintasan, Padahal Mesinnya Gede
Dengan mesin fiskal raksasa, Bojonegoro mestinya melaju kencang. Tapi kenyataannya, indikator seperti kemiskinan, pendidikan, dan IPM justru stagnan.
Indikator | Nilai | Peringkat | Catatan |
---|---|---|---|
Angka Kemiskinan | 11,69% | 11 dari bawah | Zona merah kemiskinan tinggi |
Pertumbuhan Ekonomi (dengan Migas) | 1,67% | 38 dari 38 | Paling rendah di Jawa Timur |
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) | 72,75 | 25 dari 38 | Di bawah rata-rata provinsi |
Rata-rata Lama Sekolah | 8,69 tahun | 27 | Setara kelas 2 SMP |
Rumah Tak Layak Huni (RTLH) | 32,99% | 6 terbanyak | 1 dari 3 rumah tidak layak |
Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada anak sekolah tidak sampai SMA dan warga yang tetap miskin, meski anggaran sosialnya triliunan.
Nganjuk Melaju, Bojonegoro Malah Parkir
Bandingkan dengan Nganjuk. Meski kantongnya jauh lebih kecil, kabupaten ini tahu ke mana arah pelayarannya.
Indikator | Bojonegoro | Nganjuk | Lamongan | Tuban | Ngawi |
---|---|---|---|---|---|
Kemiskinan (%) | 11,69 | 10,17 | 12,16 | 14,36 | 13,81 |
Pertumbuhan Ekonomi (non-migas) | 1,67 | 4,93 | 4,81 | 3,86 | 4,64 |
IPM | 72,75 | 75,24 | 75,90 | 72,31 | 73,91 |
Rata-rata Lama Sekolah | 8,10 | 8,51 | 8,89 | 8,29 | 8,29 |
Rumah Tak Layak Huni (%) | 32,99 | 16,96 | 28,66 | 28,07 | 30,89 |
Padahal, belanja bansos Bojonegoro tahun 2024 mencapai Rp 122,8 miliar, dibandingkan Nganjuk yang hanya Rp 14 miliar. Tapi hasilnya? Jauh di bawah.
Nakhoda Baru, Tapi Kapalnya Masih Berputar
Sejak awal 2025, Bojonegoro punya pemimpin baru: Setyo Wahono–Nurul Azizah. Mereka membawa visi: “Bojonegoro Bahagia, Makmur, Membanggakan.”
Tapi sejauh ini, kapalnya masih berputar di sekitar dermaga. Ini dapat dipahami karena mereka baru memegang kendali kapal, namun sayanganya hingga lima bulan belum jelas mau berlayar ke mana.
Visi seperti “pembangunan berkeadilan” atau “tak ada yang tertinggal” terdengar manis. Tapi rakyat butuh bukti, bukan slogan. Apakah mereka sedang membaca peta? Atau belum tahu peta mana yang harus dipakai?
Raksasa yang Bingung Belanja
Bojonegoro tahun 2024 punya pendapatan Rp 5,43 triliun, dan belanja Rp 8,23 triliun—salah satu yang terbesar di Jawa Timur. Tapi seperti raksasa yang nyasar di pasar malam, uang banyak tak berarti arah jelas.
Komponen | Bojonegoro | Nganjuk | Lamongan | Tuban |
---|---|---|---|---|
Pendapatan Daerah | Rp 5,43 T | Rp 2,4 T | Rp 3,46 T | Rp 3,21 T |
Belanja Daerah | Rp 8,23 T | Rp 2,67 T | Rp 3,48 T | Rp 3,47 T |
Belanja Modal | Rp 2,2 T | Rp 219 M | Rp 409 M | Rp 798 M |
Belanja Bansos | Rp 122,8 M | Rp 14 M | Rp 7,8 M | Rp 9,1 M |
Dengan anggaran seperti ini, Bojonegoro mestinya bisa melaju kencang. Tapi kenyataannya, banyak desa masih dengan jalan rusak, dan anak-anak berhenti sekolah di SMP.
Sudah Saatnya Menentukan Arah
Rakyat Bojonegoro tidak butuh keajaiban. Mereka hanya ingin tahu ke mana kapal ini akan berlayar.
Tiga pertanyaan sederhana untuk pemimpin baru:
-
Siapa yang ingin kita salip?
Mulailah dari yang realistis: Nganjuk. -
Apa strategi kita?
Fokus pada pendidikan, infrastruktur, dan pengurangan kemiskinan. -
Kapan target itu tercapai?
Tetapkan tenggat waktu, bukan janji mengambang.
Tanpa itu, kapal besar bernama Bojonegoro ini akan terus seperti kapal pesiar yang muter-muter di pelabuhan: mewah, mahal, tapi tak pernah sampai.
Penulis : Syafik