Wisata Pegunungan yang Terlupa di Bojonegoro
damarinfo.com -Siapa sangka bahwa pada masa kolonial Belanda, Kabupaten Bojonegoro sudah memiliki tempat wisata pegunungan. Orang-orang Belanda dan warga Eropa di Hindia Belanda kerap mengunjunginya untuk beristirahat dan menikmati udara sejuk. Salah satu catatan koran De Indische Courant edisi 27 September 1933 menggambarkan tempat itu secara detail—yakni Gunung Pandan, yang terletak di Desa Klino, wilayah yang kini termasuk Kecamatan Sekar.
“Bodjonegoro zal dan een ontspannings- en gezondheidsoord rijk zijn…”
(Bojonegoro akan memiliki tempat peristirahatan dan kesehatan yang ramai dikunjungi.)
— De Indische Courant, 27 September 1933
Panas Kota, Sejuknya Lereng Pandan
Bojonegoro berdiri di dataran rendah yang pada musim kemarau terasa sangat terik. Sementara itu, Gunung Pandan di selatan menghadirkan kesejukan di ketinggian sekitar 900 meter. Di lerengnya, pemerintah kolonial membangun pesanggrahan atau rumah peristirahatan. Awalnya bangunan ini dikelola pemerintah, lalu dialihkan ke Dinas Kehutanan karena kebijakan penghematan.
Sayangnya, perjalanan menuju Klino kala itu tidak mudah. Sebagian jalan rusak, membuat wisatawan enggan berkunjung. Namun, kondisi itu berubah setelah muncul proyek pembangunan Waduk Patjal di kaki Gunung Pandan. Waduk ini menampung aliran Sungai Patjal yang berhulu di gunung tersebut. Proyek besar itu mendorong pembangunan jalan mobil dari jalan utama hingga ke lereng. Panjang jalannya sekitar 49 kilometer, dan 20 kilometer di antaranya langsung bisa dilalui kendaraan.
Pemerintah kemudian memperbaiki sisa 29 kilometer agar akses menjadi lebih baik. Rencananya, jalan itu dibuka pada 14 Oktober 1933. Warga Bojonegoro menyambutnya dengan gembira, sebab mereka akhirnya memiliki tempat wisata alam pegunungan—sejuk seperti Lawang di Malang.

Iklim Sejuk dan Pesanggrahan yang Diperbesar
Koresponden De Indische Courant menyebut bahwa udara di Klino sama segarnya dengan Lawang. Karena belum banyak bangunan, suhu di sana terasa lebih dingin dan kering. Pesanggrahan di lereng Pandan saat itu hanya memiliki empat kamar. Namun, pemerintah berencana menambah dua kamar besar agar bisa menampung lebih banyak pengunjung.
Rencana sederhana ini memperlihatkan bahwa Bojonegoro pada masa itu sudah memandang penting wisata berbasis alam dan kesehatan. Gunung Pandan menjadi destinasi bagi mereka yang ingin melepas penat sekaligus menghirup udara pegunungan yang segar.
Pandan dalam Catatan Ilmiah (Soerabaijasch Handelsblad, 1935)
Dua tahun kemudian, nama Gunung Pandan kembali muncul di media Belanda. Surat kabar Soerabaijasch Handelsblad edisi 26 Juni 1935 menulis tentang ekspedisi ilmiah yang diadakan oleh Afdeeling Malang der Natuur-Historische Vereeniging (Perhimpunan Sejarah Alam).
“Een excursie naar den G. Pandan… Via Ngantang en Ngandjoek wordt gereden naar Kelina, een afstand van 160 K.M. De G. Pandan, 879 M hoog…”
(Sebuah perjalanan ke Gunung Pandan… melalui Ngantang dan Nganjuk menuju Kelina, sejauh 160 km. Gunung Pandan, setinggi 879 meter…)
— Soerabaijasch Handelsblad, 26 Juni 1935
Ekspedisi itu berangkat sebelum fajar dari Malang menuju Klino. Para peneliti menelusuri kawasan Pandan untuk mempelajari geologi dan sejarah purba. Catatan mereka menyebutkan bahwa Gunung Pandan merupakan bagian dari rangkaian pegunungan yang memisahkan wilayah Ngawi–Kertosono di selatan dan Bojonegoro di utara.
Di daerah itu, para ahli menemukan fosil binatang purba seperti stegodon, mastodon, buaya, hingga pithecantropus erectus. Karena banyaknya sisa makhluk raksasa, kawasan Pandan bahkan dijuluki “kuburan mamalia besar.” Ekspedisi ini dipimpin oleh ir. Trooster, seorang geolog yang memberikan penjelasan langsung di lapangan.
Penemuan tersebut membuktikan bahwa Gunung Pandan tidak hanya indah, tetapi juga menyimpan nilai ilmiah dan arkeologis yang penting bagi sejarah alam Indonesia.
Menghidupkan Kembali Pesona Pandan
Kini, hampir satu abad setelah laporan-laporan itu terbit, Desa Klino di Kecamatan Sekar tampak sunyi. Padahal, jejak sejarah menunjukkan bahwa wilayah ini pernah menjadi kebanggaan Bojonegoro. Saat tren wisata alam dan edukasi kembali naik, Gunung Pandan punya peluang besar untuk bangkit.
Pemerintah daerah, akademisi, dan masyarakat bisa berkolaborasi untuk menghidupkan kembali potensi ini. Perbaikan akses jalan, penyediaan fasilitas dasar, serta pelibatan warga lokal sebagai pemandu atau pengelola akan menjadi kunci. Selain itu, paket wisata sejarah dan geowisata bisa menjadi daya tarik baru, menggabungkan keindahan alam, pengetahuan, dan pelestarian.
Mengembalikan Pandan bukan sekadar membangun ulang pesanggrahan tua. Lebih dari itu, ini tentang menghidupkan kembali identitas Bojonegoro sebagai daerah yang kaya alam dan cerita. Dengan pengelolaan berkelanjutan, Gunung Pandan dan Desa Klino bisa menjadi destinasi wisata berkelas, tempat sejarah, alam, dan manusia berpadu harmonis.
Penulis : Syafik





