Sebuah Perjalanan Menembus Waktu dari Masa Kolonial ke Alam yang Mempesona
Pada suatu pagi cerah di bulan Agustus 1935, di sebuah desa kecil bernama Djomblangdjati—yang bahkan sulit ditemukan di peta—sekelompok orang berkumpul. Mereka tidak sedang berburu binatang hutan atau membuka lahan baru, melainkan menyambut kehadiran sebuah jalan baru: Boschweg Ngandjoek–Bodjonegoro. Jalur ini dibuka secara resmi dengan upacara khidmat, dihadiri oleh para pejabat kolonial, bupati, dan petugas kehutanan. Tapi di balik seremoni itu, jalan ini menyimpan cerita yang lebih dari sekadar proyek infrastruktur.
Jalan yang kini menjadi rute sunyi menuju kawasan Klino, pernah menjadi proyek besar yang melibatkan tangan-tangan cekatan masyarakat desa, terutama saat musim gagal panen mengguncang. Dana sebesar f14.000 dikucurkan untuk membuka lapangan kerja—bukan dari Departemen Pekerjaan Umum, melainkan dari Departemen Kehutanan. Maka dimulailah proyek ambisius ini: menghubungkan dua kabupaten melalui jalur hutan, gunung, dan jurang.
Jalan Hutan yang Mencipta Harapan
Boschweg bukanlah jalan raya modern seperti sekarang yang bisa dilalui dalam waktu singkat. Ia berkelok, mendaki, dan bahkan berderak kala kendaraan kolonial melintasi jembatan kayunya. Tapi justru di situlah pesonanya.
Bayangkan Anda melaju pelan di tengah hutan pegunungan Pandan, angin berdesir lembut, dan aroma kayu hutan menguar. Di kejauhan, jurang-jurang dalam menyembunyikan kehijauan yang pekat, seperti kanvas raksasa ciptaan alam. Jalan ini bukan sekadar penghubung; ia adalah lorong alam yang memeluk siapa pun yang melintasinya.
Meski masih “primitif” dalam ukuran masa itu, Boschweg adalah saksi sejarah dari kerja sama antarwilayah dan upaya pemulihan ekonomi. Di balik setiap gundukan tanah dan pohon yang ditebang, ada kisah kerja keras warga, harapan para pejabat lokal, dan semangat untuk menyambungkan dunia utara dan selatan Jawa Timur.
Klino: Mutiara yang Tersembunyi
Dan di ujung jalan itu, Klino menanti. Bukan kota, bukan pula pasar. Ia adalah tempat singgah yang disiapkan seperti taman mimpi: sebuah kolam renang alami, pepohonan teduh, dan kebun botani mini buatan Departemen Kehutanan. Para pejabat Belanda menyebutnya pasanggrahan, rumah dinas di mana tamu-tamu kolonial bisa menikmati tenangnya alam dan bersantap camilan ringan sambil menyaksikan warga lokal menggelar slametan.
Hari itu, Klino bukan hanya titik akhir dari rombongan kolonial, tapi juga menjadi simbol dari apa yang bisa dilakukan saat alam dan manusia saling bersinergi. Klino adalah wisata tanpa sadar, sebuah tempat pelarian dari hiruk-pikuk, jauh sebelum konsep ekowisata dikenal luas.
Kini, Saatnya Kita Kembali
Delapan dekade telah berlalu. Jalan itu mungkin telah berubah bentuk, dan pasanggrahan Klino pun mungkin tidak lagi serapi taman era kolonial. Tapi jejaknya masih ada. Pemandangan itu belum hilang. Jalan hutan Klino masih menyimpan pesonanya, menunggu untuk ditemukan kembali.
Bagi para pencinta wisata alam tersembunyi, Klino menawarkan sesuatu yang tak bisa dibeli di kafe modern: keheningan, sejarah, dan keindahan yang jujur. Cukup dengan kendaraan yang tangguh dan bekal secukupnya, siapa pun bisa menyusuri rute ini seperti para pengelana dulu. Berkemah, berendam di kolam alami, atau sekadar duduk menikmati cahaya senja menimpa lereng Pandan—semuanya adalah potongan kecil dari keajaiban masa lalu yang bisa direngkuh kembali hari ini.
Catatan Penutup
Jika di masa lalu jalan ini dibuka untuk memperkuat koneksi antarwilayah, maka kini saatnya kita membukanya kembali sebagai gerbang menuju kearifan alam dan sejarah.
Klino bukan sekadar tujuan; ia adalah napas panjang yang menghubungkan masa lalu dengan kita hari ini.
Penulis : Syafik
Sumber : Soerabaijasch handelsblad edisi 8-8-1935 diunduh dari delpher.nl, diterjemahkan dengan chat.qwen.ai