Haji: Impian yang Mengular
Sejak Senin 30-6-2025, jamaah haji asal Kabupaten Bojonegoro sudah mulai kembali dari tanah suci. Dan untuk calon jamaah haji yang sudah mendaftar atau mau mendaftar, perlu tahu berapa lama mereka harus menunggu untuk dapat berangkat menunaikan rukun islam ke lima ini. Berikut ulasannya.
Di tengah geliat pembangunan dan dinamika ekonomi yang belum merata, impian berhaji tetap menyala di hati masyarakat Bojonegoro. Data terbaru menunjukkan bahwa ada 48.005 warga Bojonegoro yang masuk dalam daftar tunggu haji. Jumlah itu bukan angka kecil—setara dengan penduduk satu kecamatan.
Yang mencengangkan, masa tunggu mencapai 34 tahun. Artinya, siapa pun yang mendaftar hari ini, kemungkinan baru bisa berangkat pada tahun 2059. Panjangnya antrian tak menyurutkan semangat. Justru setiap bulan, ratusan nama baru terus masuk.
Ledakan Pendaftaran di Tengah Ketidakpastian
Per bulan terakhir, ada 399 pendaftar baru, naik tajam 45,62% dari bulan sebelumnya. Fenomena ini menunjukkan bahwa keinginan berhaji bukan soal logika ekonomi semata, tapi juga cermin dari keyakinan, tradisi, dan persepsi sosial.
Jemaah Lansia dan Ancaman Penantian
Dari total daftar, terdapat 5.771 jemaah lansia. Jika masa tunggu tak dipercepat, sebagian dari mereka mungkin tak sempat berangkat. Ini menjadi catatan penting dalam perumusan kebijakan afirmatif haji, terutama untuk penggabungan mahram dan prioritas usia.
Perempuan Mendominasi: Fenomena Ibadah dan Peran Sosial
Jika ditilik dari jenis kelamin, 52,5% dari total pendaftar adalah perempuan (25.180 orang), melampaui jumlah laki-laki (22.825 orang). Ini bisa diartikan dua hal: perempuan lebih siap dari sisi administrasi dan ekonomi, atau mereka lebih tergerak secara spiritual—mencari makna ibadah di tengah peran ganda sebagai istri, ibu, dan pengelola rumah tangga.
Mereka yang Berangkat Bukan dari Kota
Profil pendaftar menurut pekerjaan memberikan gambaran menarik:
-
Paling banyak berasal dari kategori “lain-lain”, kemungkinan besar pekerja informal atau ibu rumah tangga.
-
Disusul oleh petani/pekebun, pedagang, dan buruh.
-
Sementara ASN, TNI/Polri, dan pensiunan justru tergolong sedikit.
Artinya, haji bukan lagi dominasi elit kota. Masyarakat akar rumput, terutama di desa-desa Bojonegoro, tampak lebih konsisten menyisihkan penghasilan untuk satu cita-cita: berangkat ke Baitullah.
Pendidikan Rendah, Tekad Tinggi
Distribusi menurut pendidikan pun menguatkan narasi tersebut. Sebagian besar jemaah hanya lulusan SD, disusul oleh SLTA dan S1. Hanya sebagian kecil yang menempuh pendidikan tinggi (S2/S3). Ini membuktikan bahwa tingkat pendidikan tidak membatasi semangat religius. Bahkan, mereka yang minim akses pendidikan sekalipun tetap punya ruang spiritual yang kuat.
Lebih dari Ibadah, Ini Soal Martabat
Dalam masyarakat seperti Bojonegoro, berhaji adalah simbol status sosial, penanda keberhasilan hidup, bahkan warisan kehormatan bagi keluarga. Bagi sebagian, haji adalah bentuk investasi spiritual sekaligus sosial. Maka tak heran jika angka pendaftaran terus melonjak meski masa tunggu makin panjang.
Catatan Penutup
48 ribu nama dalam daftar tunggu bukan hanya angka. Mereka adalah wajah-wajah harapan dari desa, dari kebun, dari pasar, dan dari rumah-rumah kecil di Bojonegoro. Mereka menabung, berdoa, dan menunggu—bukan dalam diam, tapi dalam keyakinan bahwa suatu hari nanti mereka akan menapakkan kaki di Tanah Suci.
Dan mungkin, itulah kekuatan terbesar dari haji: ia menyalakan harapan yang tak pernah padam.
Penulis :Syafik
Sumber data : Siskohat