Malam Bersejarah di Surakarta, 1955
Malam itu, Surakarta tahun 1955 terasa hidup. Lampu-lampu di aula besar menyala terang, riuh tepuk tangan memenuhi udara. Perayaan ulang tahun Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) bukan sekadar hajatan politik—ia seperti reuni jiwa-jiwa yang pernah berjuang bersama. Dan di tengah podium, berdiri Presiden Soekarno, suaranya lantang, matanya berkilat.
Kenangan Soekarno Tahun 1915
“Saya mengenal PSII lebih dari kalian semua,” ujarnya, seakan membelah waktu. “Saya mengenalnya selama empat puluh tahun. Dari dekat. Dari dalam.”
Ia lalu mengajak semua yang hadir berjalan mundur, ke tahun 1915. Saat itu ia hanyalah pemuda yang datang ke sebuah rumah sederhana di Surabaya—rumah seorang pejuang yang kelak dijuluki “guru para pemimpin bangsa”: H.O.S. Tjokroaminoto. Dari rumah itulah, bibit kemerdekaan mulai ditanam.
Tiga Arus Menuju Laut Kemerdekaan
Di awal abad 20, Hindia Belanda adalah tanah yang terikat rantai. Tiga arus besar mengalir, masing-masing dengan benderanya sendiri: gerakan keagamaan, nasionalis, dan sosialis. Mereka kerap berbeda jalan, namun, seperti sungai yang bertemu di muara, semuanya menuju laut yang sama—laut kemerdekaan.
Rumah “Mecca van Java”
Tjokroaminoto memilih jalan sunyi namun tegas. Ia tahu peluru bisa merobek tubuh, tapi hanya kesadaran yang mampu membebaskan bangsa. Di “Mecca van Java”—julukan untuk rumahnya—ia membuka pintu bagi siapa saja. Santri, buruh, nasionalis muda seperti Soekarno, bahkan kader komunis seperti Tan Malaka dan Semaun. Di sana, orang-orang berdebat, belajar, dan memimpikan negeri tanpa tuan kolonial.
Rapat Sarekat Islam 1919
Tahun 1919, tekanan kolonial memuncak. Pemimpin-pemimpin rakyat diancam, sebagian dibuang, sebagian dipenjara. Di rapat Sarekat Islam, Tjokroaminoto mengusulkan pembentukan dana bantuan bagi para korban perjuangan. “Pedang Damocles menggantung di atas kepala setiap pemimpin rakyat,” katanya, “tapi kita tidak boleh diam.”
Menolak Kompromi dan Milisi Kolonial
Ia menolak milisi pribumi bentukan pemerintah kolonial—baginya itu hanya topeng untuk mengendalikan rakyat. Ia menolak kompromi yang menggadaikan prinsip. Yang ia percayai adalah kekuatan persatuan, kesadaran massa, dan aksi damai yang menekan penjajah tanpa kehilangan martabat.
Mengirim Suara ke Negeri Belanda
Ketika Semaun mengusulkan agar Henk Sneevliet dikirim ke Belanda untuk membawa suara rakyat Hindia, Tjokroaminoto setuju—dengan syarat: mandat jelas, pertanggungjawaban penuh, dan tetap berada di bawah kontrol rakyat. “Suara kita di Hindia lemah,” ujarnya. “Tapi di Belanda, suara itu bisa menggema. Biarlah dunia tahu, betapa rakyat kita diperas oleh kapitalisme dan kolonialisme.”
Dari Pelajaran Guru ke Proklamasi 1945
Tahun-tahun berlalu. Gelombang perlawanan menguat. Ketika Jepang masuk pada awal 1940-an, api perjuangan tidak padam—ia hanya berganti bentuk. Para murid Tjokroaminoto, termasuk Soekarno, membawa pelajaran gurunya ke meja politik dan medan diplomasi, memadukan strategi dengan tekad baja. Dan ketika 17 Agustus 1945 tiba, proklamasi itu bukan sekadar hasil perang singkat melawan Jepang atau Belanda. Ia adalah puncak dari kesadaran yang telah dibangunkan puluhan tahun sebelumnya.
Teladan untuk Kemerdekaan yang Abadi
Malam di Surakarta itu, Soekarno mengakhiri pidatonya dengan suara bergetar:
“Tjokroaminoto mengajarkan kita cinta kepada Tuhan, cinta kepada agama, cinta kepada kemerdekaan, cinta kepada toleransi, dan cinta kepada persatuan. Jika kita ingin kemerdekaan ini abadi, kita harus mengikuti teladannya.”
Tepuk tangan bergemuruh. Bagi yang hadir, Tjokroaminoto bukan sekadar nama dalam buku sejarah. Ia adalah suara yang membangunkan bangsa dari tidur panjangnya—suara yang mengajarkan bahwa perjuangan sejati lahir dari kesadaran, keberanian, dan cinta.
Penulis : Syafik
Sumber : Koran Het Nieuwsblad voor Sumatra, edisi 14 April 1955.