Damarinfo.com – Pada 26 September 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur merilis data terbaru tentang kemiskinan. Laporan itu menampilkan angka kemiskinan, jumlah penduduk miskin, garis kemiskinan, serta indeks kedalaman (P1) dan keparahan (P2).
Secara umum, angka kemiskinan provinsi memang turun, dari 9,8 persen pada 2024 menjadi 9,5 persen di 2025. Jumlah penduduk miskin di banyak daerah juga berkurang, meskipun garis kemiskinan terus naik akibat inflasi.
Di Bojonegoro, kondisinya tidak jauh berbeda. Angka kemiskinan turun tipis dari 11,69% menjadi 11,49% pada 2025. Jumlah penduduk miskin menyusut sekitar 2.430 jiwa, dari 147.330 menjadi 144.900 orang. Penurunan ini ada, tetapi jelas belum signifikan.
Namun, perhatian publik bukan hanya soal tren penurunan kecil itu. Masalah yang lebih besar muncul dari target kemiskinan dalam RPJMD 2025–2029. Pemerintah Kabupaten Bojonegoro memasang target 10,95% di 2025 dan 8,98% di 2026. Pertanyaannya, apakah target ini realistis, atau sekadar ilusi perencanaan?
Target 8,98%: Ambisi atau Mimpi di Siang Bolong?
Untuk menurunkan angka kemiskinan ke 8,98% pada 2026, Bojonegoro harus memangkas 2,51 poin persentase dalam setahun. Itu berarti sekitar 31 ribu orang miskin harus keluar dari kemiskinan hanya dalam waktu 12 bulan.
Sejarah membuktikan bahwa penurunan sebesar itu jarang terjadi. Bojonegoro memang pernah mencatat capaian besar pada 2008–2009 dan 2009–2010, tetapi setelah itu laju penurunan jauh lebih lambat. Selama 22 tahun terakhir, rata-rata penurunan hanya 0,75 poin per tahun.
Lebih jauh lagi, tren terbaru justru makin pelan. Dari 2022 ke 2025, angka kemiskinan turun dari 12,21% menjadi 11,49%. Artinya, rata-rata penurunan hanya 0,24 poin per tahun. Jika tren ini berlanjut, target 8,98% baru bisa tercapai pada 2034–2035, bukan di 2026.
Dengan demikian, target 2026 terasa seperti ingin berlari maraton dengan kecepatan sprinter. Butuh strategi luar biasa, bukan sekadar langkah rutin.

Program 2025: Jalan Rutin Menuju Target yang Luar Biasa
Mari kita lihat program kemiskinan Bojonegoro tahun 2025. Bantuan sosial langsung hanya mencapai Rp170,88 miliar. Program lain seperti bedah rumah, pemasangan listrik gratis, dan BOS memang membantu, tetapi dampaknya tidak serta-merta menurunkan angka kemiskinan secara signifikan.
Oleh karena itu, jika Bojonegoro benar-benar ingin mengejar target 8,98%, program pengentasan kemiskinan harus berubah secara radikal.
1. Intervensi Ekonomi dan Lapangan Kerja
Bojonegoro harus membuka lapangan kerja baru melalui padat karya di sektor pertanian, industri pengolahan, dan pembangunan infrastruktur desa. Pemerintah juga perlu mendorong UMKM berbasis agroindustri dan energi. Selain itu, Dana Bagi Hasil Migas harus diarahkan lebih besar pada program yang langsung mengentaskan kemiskinan, bukan hanya proyek infrastruktur.
2. Perlindungan Sosial Tepat Sasaran
Pemerintah perlu memperkuat BPNT, PKH, BLT, dan subsidi pangan agar keluarga miskin tidak semakin jatuh. Integrasi Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dengan data lokal menjadi kunci agar bantuan benar-benar sampai pada warga yang membutuhkan.
3. Peningkatan Kapasitas SDM
Bojonegoro harus memperluas program pelatihan vokasi dan kewirausahaan bagi pemuda desa. Akses pendidikan dan kesehatan juga harus terus diperluas karena kualitas SDM menjadi modal penting untuk keluar dari jerat kemiskinan.
4. Fokus pada Kemiskinan Ekstrem
Sebagian penduduk miskin sebenarnya sudah dekat dengan garis kemiskinan. Dengan dorongan kecil berupa modal usaha, subsidi, atau lapangan kerja baru, mereka bisa segera keluar dari status miskin.
Jika Target Itu Ilusi Perencanaan
Tetapi jika target 8,98% ternyata lahir tanpa hitungan matang, maka Bojonegoro perlu bersikap realistis. Target yang terlalu muluk bisa mematahkan semangat pelaksana program dan menggerus kepercayaan publik.
Revisi target ke kisaran 10,5%–11,0% jauh lebih masuk akal. Pemerintah bisa fokus pada penurunan indeks kedalaman (P1) dan keparahan kemiskinan (P2), sambil menyusun roadmap yang konsisten untuk 2026–2030. Dengan begitu, kualitas program tetap terjaga, meski angka kemiskinan tidak turun secepat mimpi di atas kertas.
Antara Angka dan Wajah Nyata Kemiskinan
Target 8,98% bisa menjadi mimpi indah yang memberi energi perubahan. Tetapi tanpa strategi luar biasa, mimpi itu berisiko berubah menjadi ilusi. Bojonegoro harus memilih: apakah ingin sekadar menorehkan angka cantik di tabel statistik, atau benar-benar mengubah hidup ribuan warganya?
Karena pada akhirnya, angka kemiskinan bukan sekadar persentase. Angka itu mewakili cerita nyata: anak-anak yang bisa bersekolah, keluarga yang bisa makan layak, dan warga desa yang bisa hidup lebih bermartabat.
Jika Bojonegoro sungguh ingin mewujudkan mimpi, maka saatnya bukan hanya menulis target, tetapi menyiapkan langkah konkret. Waktu terus berjalan, dan sejarah akan mencatat apakah 8,98% akan dikenang sebagai prestasi gemilang atau sekadar ilusi perencanaan.
Penulis : Syafik
Sumber data : BPS Jawa Timur, BPS Bojonegoro