Surat Redaksi
NU, Khittah dan Kekuasaan

oleh 44 Dilihat
oleh
(Grafis Harlah NU 95. Editor : Syafik)

Selamat Hari Lahir Nahdlatul Ulama ke 95 Tahun.

Lahir di Surabaya, tepatnya 31 Januari 1926 silam, di tengah kegelapan, keterbelakangan, kemiskinan dan kekuasaan penjajah Belanda yang mencengkeram bangsa ini, ketika itu.

Lahirnya  NU berawal dari diskusi panjang antara KH Hasyim Asyari dengan KH Wahab Hasbullah di rumahnya di Surabaya. Tentu juga didukung para tokoh tersohor di Jawa dan Madura. Gagasan para pemikir ini, lahirlah organisasi keagamaan dengan simbol bola dunia dikelilingi bintang sembilan. Tentu dalam perkembangan 95 tahun kemudian, punya sejarah panjang dalam perjalanan bangsa ini, termasuk dalam kekuasaan.

Perjalanan itu memberikan banyak pelajaran untuk NU sebagai organisisasi keagamaan dalam kancah percaturan di dunia politik dan berkenegaraan. Dan puncaknya adalah, pada muktamar tahun 1984 di Situbondo dimana secara resmi NU memutuskan kembali ke Khittah 26.

Disebut khittah atau pedoman, yaitu merujuk pada memperjuangkan ajaran Islam Ahlus Sunnah an Nahdliyah yang garis besarnya adalah: 1). Dalam masalah fiqh mengikuti salah satu dari Imam Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. 2). Dalam masalah aqidah mengikuti Imam Asy’ari atau Imam Maturidi. 3). Dalam masalah tasawuf mengikuti Imam Ghazali atau Imam Junaidi al Baghdadi.(25-November-2019 tebuireng.online).

Muktamar NU yang diteguhkan 41 Kyai  berpengaruh, poin pentingnya adalah, selain kembali ke khittah, NU juga secara tegas menerima Pancasila sebagai azas tunggal. Kemudian, juga secara organisasi tidak terikat dengan partai politik manapun. Dalam bahasa lugasnya, NU secara organisasi tidak terlibat politik praktis dalam posisi apapun pada tingkatan manapun.

Meski demikian sebagai organisasi yang memiliki anggota dalam jumlah terbesar di Indonesia, NU diibaratkan bak gadis cantik yang menarik hati untuk dipinang oleh para pemuda. Anggota NU begitu seksi untuk dijadikan sumber suara dalam memenangkan sebuah kontestasi politik di Indonesia, dari tingkat pusat hingga ke tingkat daerah. Itu adalah fakta dan sejarah dari waktu ke waktu perkembangan organisasi keagamaan ini.

Baca Juga :   Surat Redaksi Milad NU Lambang NU Terlahir dari Mimpi

Sebuah pembenaran yang dijadikan dasar atas keterlibatan elit-elit NU dalam perebutan kekuasaan, adalah sebuah pernyataan, “Secara organisasi NU memang tidak boleh terlibat politik praktis tetapi secara pribadi tidak ada larangan untuk terlibat.”

Implikasinya adalah, banyak para petinggi NU yang terlibat dalam poltiik praktis, pada semua tingkatan. Sebut saja KH. Ma’ruf Amin yang saat ini menjadi Wakil Presiden, sebelum menduduki jabatan tersebut Yai Ma’ruf begitu sapaan orang NU, adalah Ketua Syuriah Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU). Khofifah Indar Parawansa yang sebelum menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur adalah Ketua Pengurus Pusat Muslimat NU, Atau Bupati Tuban Fatkhul Huda yang juga menjabat sebagai Ketua PC NU Tuban. Tentu banyak contoh lain, elit-elit NU yang terlibat dalam politik praktis.

Keterlibatan para petinggi NU ini tidak bisa tidak menggunakan gerbong organisas i untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik dalam memenangkan pertarungan dalam Pemilihan Umum. Sehingga tidak bisa dibedakan pergerakan politik yang dilakukan itu atas nama pribadi atau organisasi. Satu-satunya yang bisa dijadikan indikasi kembali ke Khittah 1926 dalam kontestasi politik adalah, tidak adanya surat resmi dukungan atau instruksi organisasi NU maupun badan otonomnya. Setidaknya untuk mendukung atau tidak mendukung calon-calon pemimpin dalam Pemilu.

Upaya untuk mengelabui Khittah 26 pun dilakukan yakni dengan membentuk organisasi-organisasi sementara. Namun yang menjadi pengurusnya adalah orang-orang yang secara struktural menjadi pengurus NU atau Badan Otonom NU.

Kekhawatiran bahwa para pengurus NU tidak mengurusi masalah-masalah ummat ketika berpolitik ternyata dijawab dengan manis oleh para petinggi NU di semua level. Yaitu dengan memberikan kontribusi pada NU baik secara organisasi maupun jam’iyah.

Baca Juga :   Kaji Prayit Kembali Pimpin Pergunu Bojonegoro

Sebut saja Bantuan Operasional Sekolah Daerah  Madrasah Diniyah (BOSDA MADIN) yang digagas oleh Syaifullah Yusuf saat menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Timur.

Atau yang terjadi di Bojonegoro, pasca kegagalan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2012, pada Pilkada 2018 kader NU  akhirnya menjadi orang nomor satu di Bojonegoro. yakni Anna Muawanah yang sebelumnya menjadi Pengurus Pusat Muslimat NU mampu mengalahkan pesaingnya pada Pilkada  yang digelar 9 April 2018 silam.

Kontribusi Anna Muawanah terhadap NU dapat dilihat dari program-program dan penempatan kader-kader NU dalam jabatan strategis di Bojonegoro. Sebut saja program hibah bantuan pembangunan Kantor Majelis Wilayah Cabang (MWC/pengurus NU tingkat Kecamatan) di wilayah Kabupaten Bojonegoro. Juga hibah untuk PC NU Bojonegoro, juga ada hibah dana untuk jamaah tahlil dan beberapa program lain untuk warga NU di Bojonegoro

Dalam jabatan strategis misalnya, di jajaran Komisaris Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ada nama Ifa Khoiriya Ningrum yang menjabat sebagai Komisaris PT. Asri Dharam Sejahtera (ADS). Ifa saat ini menjabat sebagai Ketua PC Fatayat NU Bojonegoro.

Khittah NU adalah upaya untuk mencegah terserapnya energi NU untuk kegiatan politik praktis. Tujuannya, agar jangan sampai menimbulkan perpecahan antar-pengurus seperti yang terjadi pada masa orde lama. Dan masa reformasi menjadi ujian ketangguhan Khittah NU, setelah terbukanya seluruh posisi kekuasaan untuk diperebutkan oleh semua kalangan termasuk NU.

Selamat hari lahir  NU yang ke-95 semoga selalu memberi manfaat untuk bangsa.

penulis : Syafik

Editor : Sujatmiko