Kawan-kawan wartawan yang tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menjadikan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. Dasarnya adalah Surat Keputusan Presiden Soeharto Nomor 5 tahun 1985. Penetapan tanggal 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional didasarkan pada tanggal lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yakni pada tanggal 9 Februari 1946 di Solo.
Dalam jurnal dewan pers Edisi 12, September Tahun 2016, Dewan pers menulis bahwa Pers adalah pilar demokrasi ke empat, setelah Eksekutif, Yudikatif dan Legislatif. Artinya pers menjadi alat kontrol untuk ketiga lembaga tersebut dan melandasi kinerjanya dengan check and balance.
Untuk dapat melakukan peranannya perlu dijunjung kebebasan pers dalam menyampaikan informasi publik secara jujur dan berimbang. Selain itu, untuk menegakkan pilar ke empat demokrasi, pers juga harus bebas dari kapitalisme dan politik. Pers yang tidak sekadar mendukung kepentingan pemilik modal dan melanggengkan kekuasaan politik tanpa mempertimbangkan kepentingan masyarakat yang lebih besar.
Sebuah tulisan menarik dalam jurnal dewan pers tersebut dari almarhum Artidjo Alkostar, bahwa Kebebasan pers di dalam negara hukum Indonesia harus kebebasan substantif yaitu kebebasan yang pelaksanaannya terimplementasikan dalam realita kehidupan masyarakat tanpa kendala berarti.
Jaminan dan perlindungan hukum, serta bebas dari campur tangan dan paksaan dari manapun terhadap kemerdekaan pers merupakan konsekuensi yuridis dari postulat moral yang melatarbelakangi berlakunya UU No. 40 Tahun l999.
Dalil moral tersebut lalu menjadi landasan dari adanya konstruksi hipotetis pasal-pasal yang ada dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun l999. Ideologi hukum dari UU No. 40 tahun l999 adalah kemerdekaan yang sejatinya merupakan kebutuhan asasi bagi kehidupan individu dan komunitas sosial dalam negara demokrasi.
Posisi peran dari pers menjadi kuat dalam kehidupan bernegara karena pers merupakan lembaga sosial dan eksistensinya merupakan manifestasi dari kedaulatan rakyat dalam negara demokrasi. Keluhuran tugas dan sifat altruistik pers terletak pada pengabdian dan perjuangan untuk kepentingan umum.
Masih dalam jurnal dewan pers edisi yang sama Pengamat Pers dan Pengajar di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Atmakusumah menuliskan bahwa dalam pengamatanya Pers di Indonesia dalam masa reformasi ini telah berupaya untuk mengikuti panduan Kode Etik Jurnalistik yang ditetapkan oleh Dewan Pers.
Justru, sebaliknya, hambatan untuk sepenuhnya melaksanakan kode etik jurnalistik dihadapi oleh banyak media pers lokal di daerah akibat tekanan sosial dari masyarakat yang belum terbiasa bergumul dengan kebebasan pers. Kebebasan menyatakan pendapat, dan kebebasan berekspresi.
Namun sebagian warga kita belum terbiasa dengan penampilan pandangan yang berbeda, apalagi bertentangan, dengan pendirian dan keyakinan mereka. Seorang pemimpin suatu lembaga sosial dapat menuntut redaksi media pers untuk tidak melanjutkan pemuatan tulisan yang pendapatnya tidak ia setujui.
Tekanan lainnya yang dialami media pers di daerah dapat berasal dari pemerintah daerah dengan menghentikan bantuan komersial jika pemberitaan media itu mengganggu kepentingan politik pemerintah daerah tersebut.
Di berbagai daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten secara tidak langsung memberikan subsidi berupa pemasangan advertorial dan iklan atau berlangganan media pers cetak sampai ratusan eksemplar untuk setiap edisi.
Dengan demikian, independensi atau kemandirian kebijakan redaksi di negeri ini belum sepenuhnya dapat terlaksana— terutama bagi media pers lokal di berbagai daerah. Padahal, berpendirian independen—yaitu bersikap netral dalam pemberitaan atau berpihak kepada kebenaran dan keadilan—merupakan prinsip penting dalam kode etik jurnalistik.
Apakah yang disampaikan oleh Atmakusumah bisa jadi terjadi di Kabupaten Bojonegoro?
“Kemerdekaan pers merupakan wujud individual and political rights, seperti hak mengeluarkan pemikiran, pendapat, hak kebebasan berkomunikasi, hak memperoleh informasi. Dalam perkembangan sebagai “political institution (the fourth estate)”, kemerdekaan pers berkaitan dengan hak hak partisipasi, hak kontrol, dan hak kritik” Bagir Manan (Ketua Dewan Pers 2010-2016/Ketua Mahkamah Agung 2001-2008)
Selamat Memperingati Hari Pers Nasional Kawan-kawan PWI. Semoga Kemandarian, Kemerdekaan dan Marwah atau Harga diri Pers tetap Terjaga.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko
Sumber : Jurnal Dewan Pers Edisi 12, September Tahun 2016