“Angsal bingkisan THR saking Bu Anna (dapat bingkisan THR dari Bu Anna /Bupati Bojonegoro.” Begitu celetuk salah satu warga penerima paket sembako dari Pemkab Bojonegoro jelang Hari Raya Idul Fitri 1442 H lalu.
Memang mendekati Hari Raya Idul Fitri, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro melaksanakan dua program sekaligus. Berupa penyaluran paket sembako dan penyaluran sarung batik yang diberikan kepada masyarakat. Sulit untuk menyebut ini bantuan atau program atau sebutan yang lain. Tetapi yang pasti dua kegiatan yang dilaksanakan berlabel dampak Covid-19.
Peristiwa ini menjadi ramai diperbicangkan setelah Wakil Bupati Bojonegoro melakukan pemeriksaan terhadap paket sembako. Temuanya adalah ada ketidaksamaan isi paket yang kedua adanya ucapan selamat Idul Fitri dengan foto Bupati Bojonegoro Anna Muawanah tanpa Wakil Bupati Bojonegoro Budi Irawanto.
Ditambah lagi untuk penyaluran sarung batik, beberapa penerima mengembalikan sarung batik tersebut. Alasannya Pemkab Bojonegoro mencantumkan nomor induk kependudukan (NIK) tanpa izin dari mereka. Hal ini diperparah photo dokumen dari beberapa penerima tersebar di dunia maya.

Untuk program yang pertama disebut sebagai Natura Pemutus Mata Rantai Covid-19. Natura diartikan sebagai Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura atau kenikmatan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa merupakan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang.
Bentuk Naturanya adalah paket sembako (minyak goreng 1 liter, Beras 1,5 Kilogram, dua kaleng biskuit, satu botol sirup, 1 kilogram gula) yang dibungkus dalam goody bag (tas cantik) bersablon, yang di dalamnya ada ucapan Selamat Idul Fitri dari Bupati Bojonegoro Anna Muawanah tanpa foto Wakil Bupati Bojonegoro Budi Irawanto dan satu lembar kertas dengan tulisan tugas pemutus mata rantai covid-19.
Total anggaran yang disediakan untuk paket ini adalah Rp. 4,9 miliar yang dibagikan untuk 29 ribu orang lebih. atau harga per paketnya jika dihitung sebesar Rp. 168.965, atau jika dibulatkan jadi Rp. 168 ribu.
Dengan melihat isi dari paket tersebut, masyarakat Bojonegoro dapat dengan mudah memperkirakan berapa harga realisasi per paketnya. Pasalnya barang-barang tersebut harganya dapat diketahui masyarakat. Jika dihitung berdasar harga umum, ditambah biaya pengemasan dan pengiriman, dan PPN dan PPH (12,5 persen) serta biaya imbal jasa (10 persen) maka didapatkan harga per paketnya adalah Rp. 115.000. Sehingga diperkirakan ada selisih harga sebesar Rp. 52.000 per paket, anggap saja selisih harganya Rp. 50 ribu, maka untuk 29 ribu paket, total selisih harganya mencapai Rp. 1.537.000.000 (Satu miliar lebih). (lihat grafis). Sekali lagi ini harga perkiraan!

Jika perkiraan selisih harga ini dianggap sebagai sebuah kecurangan, tentu harus dibuktikan oleh aparat yang berwenang, bisa dari Inspektorat, BPK atau Aparat Penegak Hukum (Polisi dan Kejaksaan).
Untuk pengadaan barangnya, masyarakat tidak akan bisa mendapatkan informasi melalui lembaga pengadaan secara elektronik (lpse). Pasalnya pengadaan untuk pekerjaan yang ada kaitanya dengan covid-19 dilaksanakan dengan penunjukan langsung. Rujukanya adalah Peraturan Lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah Nomor 13 tahun 2018 Tentang Pengadaan barang/jasa dalam penanganan keadaan darurat. Dan ditegaskan melalui Surat Edaran Kepala Lembaga kebijakan pengadaan barang/jasa pemerintah nomor 32 tahun 2020.
Tata cara pengadaanya adalah dengan mengacu pada Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018 tentang pengadaan barang dan Jasa dalam rangka penangan keadaan darurat. Pada Pasal 59 ayat 5 disebutkan untuk penanganan keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (2), PPK menunjuk Penyedia terdekat yang sedang melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa sejenis atau Pelaku Usaha lain yang dinilai mampu dan memenuhi kualifikasi untuk melaksanakan Pengadaan Barang/Jasa sejenis.
Pada program ini juga terjadi pergeseran Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau Dinas yang menangani, jika rencananya adalah Bagian Kesejahteraan Rakyat (sirup.lkpp.go.id) dalam berita acara penerimaan paket yang melaksanakan adalah Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Pergeseran anggaran ini dimungkinkan jika menyangkut pekerjaan yang berlabel covid, acuanya adalah Pasal 4 ayat 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 20 tahun 2020 dan Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2019 pasal 163.
Program penyaluran sarung batik pinarak Bojonegoro pun jadi “rasan-rasan.” Misalnya “Apa boleh bantuan covid dalam bentuk sarung?” Munculnya rasan-rasan di masyarakat ini karena hanya melihat informasi sarung batik dan Covid-19.
Masyarakat Bojonegoro perlu melihat Surat Keputusan dari Bupati Bojonegoro nomor 188/168/KEP/412.013/2021 tentang penerima Hasil Pengrajin Batik lokal Bojonegoro dalam rangka Pemulihan Ekonomi Akibat Dampak Covid-19 di Kabupaten Bojonegoro tahun 2021. Yang terkait covid adalah dampak yang dialami oleh Pengrajin Batik, selanjutnya Pemkab Bojonegoro membantu mereka dengan membeli produk-produknya, yang selanjutnya dibagi kepada orang-orang yang berjasa dalam pemutusan mata rantai covid-19.
Jumlah anggaran yang dialokasikan untuk pengadaan sarung batik pinarak Bojonegoro ini sebesar Rp. 1.080.000.000 yang rencananya digunakan untuk membeli 4.800 biji. Harga yang direncakan adalah Rp. 225.000 per biji.

Soal harga sarung batik ini juga menjadi “rasan-rasan” dengan harga Rp. 225.000 ini dianggpa terlalu mahal. Coba saja dibandingkan dengan sarung batik kalongguh premium terlaris motif baru fashion solo psd 02 harga di Shopee Rp. 116.000 per potongnya.
Anggap saja harga sarung pinarak Bojonegoro sama dengan sarung premium ini, maka jika ditambah dengan PPN +PPH (12,5 persen) + biaya imbal jasa (10 persen) maka total harga yang didapat adalah Rp. 129.050 atau anggap saja Rp. 130 ribu. Maka ada selisih harga Rp. 95 ribu. Jika ini dikalikan 3.553 buah maka total selisih harganya adalah Rp. 377.535.000 (Tiga Ratus Tujuh Puluh Tujuh Juta Lima Ratus Tiga Puluh Ribu Rupiah).
Kemahalankah ? hanya instansi berwenang yang bisa menjawab masalah itu.
Kejanggalan lain yang muncul dalam SK penerima hasil ini adalah tanggal penanda tanganan SK dan pembagianya bersamaan. Jamaknya SK nya dulu yang diterbitkan, untuk memastikan jumlah penerimanya baru dilakukan pengadaan, berikutnya penyaluran. Sepertinya Pemkab Bojonegoro gerak sangat amat cepat sehingga tanggal SK dan penyaluranya bisa bersamaan.
Temuan menarik lainya adalah dari penerima Sarung Batik Pinarak Bojonegoro terdapat nama-nama yang bukan warga Bojonegoro sebagai penerima sarung batik ini? hal ini ditunjukan dalam lampiran SK tersebut. Terdapat warga dari Bogor, Tuban, Madiun, Madura, Surabaya.
Meski redaksi tidak menemukan adanya aturan yang dilanggar dalam hal penerima yang bukan dari warga Bojonegoro, tetapi hal seperti memunculkan rasan-rasan di masyarakat. Masih banyak warga Bojonegoro yang senang hati menerima sarung batik pinarak Bojonegoro tersebut, mengapa harus diberikan kepada warga dari daerah lain??
Masyarakat Bojonegoro tinggal menunggu bagaimana akhir drama ini apakah sad ending (berakhir sedih), happy ending (berakhir bahagia) atau landai-landai saja atau tanpa ada akhir. Kita tunggu aja.
Penulis : Syafik
Editor : Sujatmiko