Masa Hindia Belanda & Jejak Wali: Saat Warga Pribumi, Tionghoa, dan Eropa Bersatu Berziarah ke Sunan Muria

oleh 86 Dilihat
oleh
(Masjid Sunan Muria, sumber foto : Soerabaijasch handelsblad, 15-7-1938)

damarinfo.com – Di tengah hiruk-pikuk zaman Hindia Belanda, ketika tanah Jawa dipetakan ulang oleh peta kolonial dan kehidupan diatur oleh hierarki ras, ada satu tempat di mana semua batas itu lenyap.

Di puncak Gunung Muria, jauh dari gedung-gedung kantor Residency dan deru trem kota Semarang, ribuan orang — pribumi berselendang, pedagang Tionghoa dengan lentera merah, bahkan beberapa warga Eropa dengan sikap khidmat — menapaki jalan setapak yang sama. Tujuannya bukan untuk berdagang, bukan untuk bertugas, tapi untuk satu hal yang menyatukan mereka: berziarah ke makam Sunan Muria, salah satu dari Wali Songo penyebar Islam di Jawa.

Ini bukan cerita legenda semata. Ini tercatat dalam tinta sejarah — tepatnya dalam edisi Soerabaijasch Handelsblad, 15 Juli 1938. Seorang wartawan dari Semarang melaporkan fenomena yang langka di masa kolonial: sebuah ziarah massal yang mengabaikan garis ras, agama, dan status sosial.

Pada hari Kamis Legi, gunung yang biasanya sunyi menjadi lautan manusia. Mereka datang dari desa-desa terpencil, dari pasar kota, bahkan dari lingkungan Eropa yang elite. Semua berkumpul di lereng Muria, bukan untuk memberontak, tapi untuk memohon berkah dari seorang wali yang telah lama tiada.

Yang lebih mengejutkan? Di tengah dominasi rasial yang kental di era kolonial, koran Belanda itu mencatat dengan nada takjub:

“Mereka datang — Inheemschen, Chinezen, en ook Europeanen — om den zegen van den Soenan af te smeeken.”
(“Orang-orang datang — pribumi, Tionghoa, dan juga Eropa — untuk memohon berkah dari Sang Wali.”)

Sebuah pengakuan diam-diam: bahwa di balik tembok kolonialisme, ada kekuatan spiritual yang tak bisa dikendalikan oleh kekuasaan manapun.

Dan di sanalah, di antara kabut dan doa, kita menemukan jejak lain dari Indonesia: bukan yang terpecah oleh darah dan kelas, tapi yang disatukan oleh iman.

Dari Tlogo Menuju Puncak Wali

Tlogo (kini Tlogowungu) dulu menjadi tempat liburan favorit pegawai kantor Pati. Udara sejuk dan pemandangan indah membuatnya jadi oase ketenangan di masa kolonial.

Dari Tlogo, sebuah jalan setapak meliuk naik ke Gunung Muria. Jalannya curam, sepi, dan menguji kesabaran. Tidak semua orang sanggup menapakinya. Hanya mereka yang punya niat kuat — atau keyakinan yang dalam — yang akan sampai ke tujuan: makam Sunan Muria.

Baca Juga :   Giri, Kerajaan Islam di Tanah Jawa: Antara Dakwah, Perdagangan, dan Perlawanan

Di puncak, berdiri sebuah masjid tua dan beberapa gubuk darurat. Tempat ini menjadi basecamp bagi peziarah yang datang dari jauh, terutama saat Kamis Legi, hari keramat yang dipercaya membuka pintu langit bagi doa-doa manusia.

Pada hari itu, ribuan orang memadati lereng gunung: pribumi, Tionghoa, bahkan orang-orang Eropa. Mereka datang bukan untuk bersenang-senang, tapi untuk memohon berkah dari sang wali yang telah tiada.

(Makam Sunan Muria, Sumber foto : Soerabaijasch handelsblad, 15-7-1938)

Gentong Ajaib yang Tak Pernah Kosong

Seorang penjaga makam mengantar rombongan ke area yang dikelilingi tembok batu tua. Pintunya dikunci rapat.

“Kuncinya ada di tangan Djoeroe Koentji, tinggal di bawah,” katanya, menunjuk ke arah pasanggrahan. “Tapi kamu bisa lihat sesuatu yang lebih menarik.”

Ia membawa tamu ke sebuah gentong besar yang sebagian terkubur di tanah. Konon, gentong ini bekas tempat minum Sunan Muria.

“Airnya bisa menyembuhkan penyakit,” kata si penjaga. “Setiap peziarah boleh minum, bahkan mengisi botol untuk dibawa pulang.”

Yang paling mencengangkan? Masyarakat hanya mengisi gentong ini dua kaleng minyak tanah air setiap bulan. Tapi entah bagaimana, airnya cukup untuk ribuan orang yang datang di Kamis Legi.

Sang penjaga menambahkan dengan suara pelan:

“Setiap kali air dituangkan, permukaan gentong tidak naik sedikit pun. Tidak turun juga. Seperti ada kekuatan yang menjaganya.”

Wartawan itu ingin menyaksikan sendiri proses pengisian. Tapi si penjaga langsung menolak.

“Jangan. Jika kita melanggar aturan Sunan, kemarahannya akan turun. Air hanya boleh diisi pada hari tertentu. Itu perintah.”

Legenda Pintu Keramat dari Majapahit

Namun, di balik misteri gentong, ada satu legenda yang lebih besar: kisah pintu suci dari zaman Majapahit. Konon, Sunan Muria hidup di masa Raja Brawijaya. Suatu hari, ia harus menyeberangi sungai Rendole yang sedang banjir. Seekor kerbau betina membantunya, meski heran: “Bagaimana mungkin seorang wali butuh bantuan saya?”

Beberapa waktu kemudian, kerbau itu melahirkan bayi laki-laki. Nenek moyang setempat menamainya Bambang Bonjabrang, karena lahir dari binatang (bon = kerbau, jabrang = luar biasa). Sunan Muria mengakuinya sebagai anak, karena ia pernah memberi kerbau itu air suci sebagai balas budi.

Saat Bambang dewasa, Sunan memberinya rumah, dengan syarat: ia harus membawa sebuah pintu keramat dari istana Majapahit. Tanpa sepengetahuan Raja Brawijaya, pintu itu dibawa pergi. Saat sang raja tahu, ia marah besar dan mengejar sang pencuri. Pertempuran dahsyat nyaris terjadi — sampai Sunan Muria datang melerai.

Baca Juga :   Sunan Gunung Jati: Sang Penyebar Cahaya Islam di Pesisir Jawa Barat

Dengan tenang, ia berkata:

“Berdirilah kalian berdua di depan pintu itu.”

Detik itu juga, wajah mereka terpatri ke kayu pintu, seperti lukisan hidup. Kekuasaan kerajaan runtuh bukan oleh pedang, tapi oleh kesaktian spiritual.

Pintu itu kini masih berdiri di Desa Muktihardjo (dulu Rendole), tak jauh dari stasiun percobaan kapok. Penduduk setempat masih merawatnya: menabur bunga, membakar dupa, dan menggelar upacara tahunan.

Restorasi yang Awalnya Dianggap Penghujatan

Pada suatu masa, Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala Belanda) ingin merestorasi pintu itu. Tapi penduduk setempat menolak keras. Bagi mereka, menyentuh pintu keramat adalah penghujatan. Hingga akhirnya, seorang juru bicara pribumi — wedono Pati — berhasil meyakinkan masyarakat. Bahkan, tukang kayu khusus didatangkan dari Cirebon, karena warga lokal takut menodai kesucian benda itu.

Perlahan, hati mereka luluh. Restorasi dilakukan, dan pintu tetap utuh, meski kini dirawat dengan cara modern. Namun rohnya tak pernah hilang.

Sunan Muria: Warisan yang Masih Bernafas

Hari ini, Gunung Muria bukan hanya destinasi religius, tapi juga simbol perpaduan antara Islam, budaya Jawa, dan alam. Di puncaknya, di tengah heningnya kabut pagi, kamu bisa merasakan getaran spiritual yang sulit dijelaskan dengan logika.

Ribuan orang masih datang. Mereka minum dari gentong yang tak pernah kosong. Mereka berdoa di hari Kamis Legi. Mereka menyentuh pintu yang konon menyimpan wajah raja dan pahlawan. Dan meskipun zaman telah berubah, Sunan Muria tetap diam, tapi hadir.

Seperti catatan sang wartawan tempo dulu:

“Anda harus datang ke sini di Kemis Legi. Baru Anda tahu, betapa kuatnya doa yang naik ke langit dari puncak gunung ini.”

Sebuah Cerita yang Tak Lekang Waktu

Di era serba cepat seperti sekarang, tempat seperti Sunan Muria mengingatkan kita bahwa ada hal-hal yang tak bisa diukur dengan data, tapi dirasakan dengan hati.  Siapa tahu, di suatu Kamis Legi nanti, kamu juga ingin menapaki jalan setapak itu. Bukan untuk mencari sensasi — tapi untuk menemukan kedamaian yang selama ini hilang.

Penulis : Syafik

Sumber : Soerabaijasch handelsblad, edisi 15-7-1938, diunduh dari delpher.nl, 27-9-2025