Menggali Masa Lalu Cirebon dari Sumber Kolonial
Di ujung utara Pulau Jawa, kota Cirebon menyimpan sejarah panjang tentang lahirnya Islam di pesisir barat. Jejaknya tertulis bukan hanya dalam babad, tapi juga dalam koran Belanda De Locomotief, edisi 17 Januari 1920. Dalam artikel “Een greep uit Cheribon’s verleden”, M. van Gils mengutip laporan Topografische Dienst. Ia menggambarkan Cirebon sebagai kota suci karena di dekatnya berdiri makam Sunan Gunung Jati, salah satu Wali Songo.
Van Gils menulis:
“Bij de Inlandsche bevolking heeft in oude kronieken steeds geschreven Tjêrbon—vermaardheid, wyl inde nabijheid van de stad de begraafplaats gelegen is van den grondvester van den Mohammedaanschen godsdienst Sjeich Noerdin ar-Rahim Maulana Israël, ook wel geheeten Sjeich Maulana Hidajat Toellab, meer algemeen bekend als Soenan Goenoeng Djati.”
Terjemahan:
“Di kalangan penduduk pribumi, Cirebon selalu terkenal dalam kronik-kronik kuno, karena dekat kota ini terletak makam pendiri agama Islam, Syekh Nuruddin ar-Rahim Maulana Israil, lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.”
Putra itu lahir pada tahun 795 H. Ia diberi nama Hidayat Sarip. Saat dewasa, ia kembali ke Jawa. Sunan Ampel menyuruhnya menetap di Gunung Jati. Di sana, kerabatnya seperti Haji Abdullah Iman dan Kuwu Cirebon sudah menyebarkan Islam. Sunan Gunung Jati pun memperluas dakwahnya.
Legenda dari Tiongkok
Sunan Gunung Jati pernah ke Tiongkok. Kaisar mendengar kebijaksanaannya. Ia menguji sang wali dengan menyamar putrinya sebagai wanita hamil. Sunan Gunung Jati menyatakan: “Ia benar mengandung.” Kaisar marah. Ia mengusir sang wali.
Beberapa bulan kemudian, kehamilan putri terbukti benar. Kaisar menyesal. Ia mengirim putrinya ke laut dalam perahu kecil. Perahu itu terdampar di Muara Jati. Sunan Gunung Jati menemukannya, mengislamkannya, dan menikahinya.
Van Gils mencatat:
“De grens tusschen waarheid en vervalsching is hierbij moeilyk vast te stellen, doch deze legende verklaart, waarom behalve Javanen, nog tal van Chineezen offeren by de begraafplaats van den heilige…”
Terjemahan:
“Sulit membedakan fakta dan mitos. Tapi legenda ini menjelaskan mengapa banyak orang Tionghoa tetap berziarah ke makam sang wali.”

Kekuasaan dan Penaklukan
Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama. Ia juga pemimpin militer. Ia menaklukkan Telaga, Galuh, Kuningan, Sumedang, dan Badung. Banten dan Djakaria tunduk secara damai.
Ia membangun Masjid Agung Cipta Rasa di alun-alun Kasepuhan. Van Gils mencatat:
“Volgens de overlevering zou de missigit Agoeng, staande aan den Westkant van de alun-alun van den kraton Kasepoehan, in een en denzelfden nacht zijn gebouwd als de missigit te Demak.”
Terjemahan:
“Menurut tradisi, Masjid Agung Kasepuhan dibangun dalam satu malam, bersamaan dengan Masjid Demak.”
Dari sinilah lahir tiga kerajaan: Keraton Kasepuhan, Keraton Kanoman, dan Keraton Kacirebonan.
Pembagian Kerajaan dan Campur Tangan Belanda
Setelah Panembahan Girilaya II wafat pada 1662, kerajaan dibagi. Dua putranya menjadi raja: Martawijaya (Panembahan Sepuh I) dan Kartawijaya (Panembahan Anom I). Perselisihan antar saudara melemahkan kekuasaan.
Belanda melihat peluang. Pada 1681, para panembahan tidak lagi ke Mataram. Mereka pergi ke Batavia. Mereka tandatangani perjanjian dengan VOC. Sejak itu, pengaruh Belanda tumbuh.

Dari Sultan hingga Simbol Budaya
Pada 1804, Pangeran Raja Kanoman dipulihkan. Ia mendapat gelar Sultan Cirebon. Pada 1820, Belanda mengambil alih pemerintahan. Kedua sultan hanya mempertahankan gelar dan uang bulanan f 18.000.
Van Gils mencatat:
“In 1820 de overeenkomst tot stand kwam, waarbij elk der beide overblijvende Sultans een jaarlijksch inkomen van f 18000 werd toegekend onder afstanddoening van alle bestuursrechten.”
Terjemahan:
“Pada 1820 tercapai kesepakatan: kedua Sultan menerima f 18.000 per tahun, tetapi melepas semua hak pemerintahan.”
Meski begitu, keraton tetap hidup. Mereka dapat Taman Sunyaragi, hutan Larangan, dan hak merawat makam leluhur.
Makam di Gunung Jati: Pusat Ziarah
Di Kampung Astana, makam Sunan Gunung Jati berdiri di atas bukit 36 meter. Kompleksnya punya sembilan tembok di selatan, enam di sisi lain. Lima pelataran naik bertingkat ke puncak.
“Om den heuvel zjjn kringsgewijze muren gebouwd, aau de zuidelijke zijde 9, en aan de overige zjjden 6…”
Terjemahan:
“Di sekeliling bukit dibangun tembok melingkar: sembilan di selatan, enam di sisi lain.”
Di puncak, terdapat makam sang wali. Di sekitarnya dimakamkan raja, ulama, dan orang Tionghoa yang masuk Islam. Setiap tahun, ribuan peziarah datang. Mereka berdoa, mencari berkah, atau sekadar merenung di bawah pohon Nagasari.

Warisan yang Hidup
Sunan Gunung Jati bukan hanya tokoh masa lalu. Ia adalah simbol perpaduan: Jawa, Islam, dan Tionghoa. Kerajaannya mungkin lenyap, tapi rohnya hidup dalam budaya Cirebon.
Upacara sedekah laut, wayang golek, dan kendaraan keramat di Kampung Pecinan adalah bukti nyata. Van Gils menyimpulkan:
“Dat het uiterlijk aanzien van het geheel na zooveel jaren er niet op vooruit is gegaan, behoeft geen betoog; geestelijk is de waarde van het heiligdom niet verminderd.”
Terjemahan:
“Penampilan fisik kompleks ini mungkin tak berubah. Tapi nilai spiritualnya tetap utuh.”
Sunan Gunung Jati bukan hanya nama dalam sejarah. Ia adalah wali, raja, dan simbol keharmonisan. Di Cirebon, cahayanya masih menyala.
Penulis : Syafik
Sumber artikel : Koran De Locomotief Edisi 17-Januari-1920