Jejak Awal di Tanah Bejagung
Di selatan Kota Tuban, sekitar dua kilometer dari pusat kota, berdiri sebuah desa bernama Bejagung. Desa ini menyimpan jejak penting dalam sejarah penyebaran Islam di pesisir utara Jawa. Di tempat inilah Sunan Bejagung atau Sayyid Abdullah Asy’ari bin Sayyid Jamaluddin Kubro menetap dan menanamkan ajaran Islam.
Menurut sejumlah sumber tradisi dan naskah lama, Sayyid Abdullah Asy’ari merupakan adik Sayyid Maulana Ibrahim Asmoroqondi, ayah Sunan Ampel dan kakek Sunan Bonang. Setelah menempuh perjalanan panjang dari negeri Champa, ia memilih Bejagung sebagai tempat tinggal dan pusat dakwah. Dari sinilah ajaran Islam berkembang pesat ke wilayah pesisir dan pedalaman Tuban.
Dari Champa ke Tuban
Sumber Belanda tertua yang mencatat keberadaan Sunan Bejagung muncul pada tahun 1912–1913, dalam buku etnografi De Javaansche Geestenwereld karya Dr. G. A. J. Hazeu. Di sana disebut:
“Koeboeran Soenan Bedjagoeng, het graf van den prins Tjempa, ook bekend onder den naam van Soenan Bedjagoeng…”
(Makam Sunan Bejagung, makam dari Pangeran Champa, yang juga dikenal dengan nama Sunan Bejagung…)
Penulis Belanda itu menjelaskan bahwa makam Sunan Bejagung terletak di Desa Bejagung, dekat Tuban, dan di sana terdapat sumur batu sedalam 75 kaki — digali sendiri oleh sang Pangeran Champa. Masyarakat menyebutnya “Sumur Bejagung”, yang hingga kini masih terawat di kompleks makam Bejagung Lor.
Keterangan itu memperkuat tradisi lokal bahwa Sunan Bejagung berasal dari negeri Champa, sebuah kerajaan Islam di pesisir Vietnam selatan yang banyak mengirim ulama ke Nusantara pada abad ke-14 dan ke-15. Dari sana pula datang keluarga besar Sayyid Jamaluddin al-Kubra, keturunan Rasulullah SAW, yang menurunkan Sunan Ampel, Sunan Bonang, hingga Sunan Bejagung.
Kerabat Sunan Bonang
Beberapa tahun setelah Hazeu menulis, muncul karya monumental lain, Het Boek van Bonang (1916). Buku ini menyebut:
“…volgens de volksoverlevering door Soenan Bedjagoeng, een bloedverwant van Soenan Bonang, die moet gewoond hebben in de desa Bedjagoeng ten Zuiden van Toeban…”
Terjemahannya:
“Menurut tradisi rakyat, Sunan Bejagung adalah kerabat Sunan Bonang, yang tinggal di desa Bejagung, selatan Tuban.”
Pernyataan itu luar biasa penting. Ia menjadi catatan ilmiah pertama dari peneliti Belanda yang menghubungkan Sunan Bejagung dengan jaringan Wali Songo. Dalam tradisi pesantren Tuban, memang disebut bahwa Sayyid Abdullah Asy’ari (Sunan Bejagung) adalah adik dari Sayyid Maulana Ibrahim Asmoroqondi, ayah Sunan Ampel dan kakek Sunan Bonang. Dengan demikian, Bejagung adalah satu garis dengan pusat dakwah Gresik, Ampel, dan Bonang — tiga poros besar penyebaran Islam di pesisir utara Jawa.
Kisah dari Surat Kabar 1924
Pada tanggal 30 Oktober 1924, harian Belanda De Sumatra Post memuat berita berjudul “De brand te Bedjagoeng” — Kebakaran di Bejagung. Koran itu menulis bahwa pada hari Jumat, 17 Oktober 1924, terjadi kebakaran hebat di Desa Bejagung, Kecamatan Semanding, Tuban. Api berawal dari tungku di rumah seorang modin bernama Pa Mosna dan, karena angin kencang, menjalar cepat membakar 149 rumah dalam waktu kurang dari satu jam.
Namun yang paling menarik adalah keterangan awal berita itu:
“Ten zuiden van de kota Toeban… bevindt zich de heilige begraafplaats van Z.H. S-eaoehoenan Bedjagoeng, een der Islampredikers op Java…
De bedevaartplaats wordt steeds door menschen van bijna geheel Java bezocht.”
Artinya, “Di selatan kota Tuban terdapat makam suci Z.H. Sunan Bejagung, salah satu penyebar Islam di Jawa, yang diziarahi oleh peziarah dari hampir seluruh Jawa.”
Catatan ini memperlihatkan bahwa pada masa Hindia Belanda, lebih dari seabad yang lalu, makam Sunan Bejagung sudah dikenal luas sebagai tempat ziarah utama. Bahkan, disebut bahwa setiap Jumat Wage, ribuan orang datang berdoa di sana — hari yang diyakini sebagai hari wafat Sunan Bejagung.
Wali yang Dihormati di Dua Bejagung
Kini, masyarakat mengenal dua kompleks utama: Bejagung Lor dan Bejagung Kidul, keduanya di Kecamatan Semanding.
Menurut catatan Disperpusip Jatim, Sunan Bejagung memiliki tiga anak:
-
Syekh Abdurrahim (Sunan Pojok)
-
Nyai Faiqoh (istri Syekh Hasyim Alamuddin / Sunan Bejagung II)
-
Syekh Afandhi (Sunan Waruju)
Makam-makam mereka masih terpelihara di sekitar Bejagung, menjadi bagian dari Astana Sunan Bejagung Lor yang kini dikelola oleh masyarakat dan pondok pesantren setempat.
Jejak Panjang dari Abad ke Abad
Jika dirangkai, empat sumber penting dari abad ke-20 awal ini memberi gambaran yang padu:
Tahun | Sumber | Informasi Utama |
---|---|---|
1912–1913 | De Javaansche Geestenwereld | Sunan Bejagung disebut Pangeran Champa, memiliki sumur batu suci di Bejagung |
1916 | Het Boek van Bonang | Disebut kerabat Sunan Bonang yang tinggal di selatan Tuban |
1924 | De Sumatra Post | Desa Bejagung disebut pusat ziarah besar ke makam Sunan Bejagung |
Arsip Jatim (modern) | Disperpusip Jatim | Menyebut Sunan Bejagung sebagai Sayyid Abdullah Asy’ari bin Jamaluddin Kubro |
Keempatnya saling melengkapi, membangun narasi utuh bahwa Bejagung adalah simpul penting dalam sejarah Islam Jawa — tempat berkumpulnya warisan spiritual para wali yang datang dari Champa, berkembang di Tuban, dan menyebar ke seluruh pesisir utara Jawa.
Dari Masa ke Masa
Lebih dari enam abad telah berlalu sejak langkah pertama sang Pangeran Champa menjejak tanah Tuban. Namun di Bejagung, namanya tetap hidup dalam doa-doa para peziarah, dalam dinginnya air sumur batu, dan dalam kisah turun-temurun yang dibacakan di langgar-langgar kecil.
Bagi masyarakat Tuban, Sunan Bejagung bukan sekadar nama dalam silsilah, melainkan sumber berkah, simbol kerendahan hati, dan pengingat tentang datangnya cahaya Islam ke tanah Jawa.
Dan bagi kita hari ini, Bejagung adalah cermin dari bagaimana sejarah besar sering tersembunyi di desa-desa kecil — menunggu untuk dibaca kembali, dengan hormat dan kagum.
Penulis: Syafik
Sumber:
-
Arsip Disperpusip Jatim, “Riwayat Hidup Sunan Bejagung” (2013)
-
G. A. J. Hazeu, De Javaansche Geestenwereld (1912–1913)
-
J. Kats, Het Boek van Bonang (1916)
-
De Sumatra Post (30 Oktober 1924)