Dari Djipang ke Radjakwesi: Jejak Perpindahan Ibu Kota dan Intrik di Baliknya

oleh 177 Dilihat
oleh
(Peta yang menyebutkan Kadipaten Djipang dan radjekwesi)

damarinfo.com – Nama Djipang mungkin tak lagi terdengar di peta administratif hari ini, tapi dulu, daerah ini pernah menjadi pusat pemerintahan yang penting. Banyak cerita berkembang bahwa perpindahan ibu kota dari Djipang ke Radjakwesi terjadi pada tahun 1725, saat Susuhunan Pakubuwana II naik tahta. Konon, beliaulah yang memerintahkan agar pusat pemerintahan Djipang dipindah dari Padangan ke Radjakwesi, yang kini dikenal sebagai Ngumpakdalem.

Tapi, dokumen-dokumen lama dari pemerintahan kolonial Belanda menyimpan versi berbeda—dan bisa jadi, lebih akurat. Salah satunya muncul dalam dokumen bertajuk Het Onderwijs in de Land- en Volkenkunde van Nederlandsch Indië. Di dalamnya, tersimpan catatan perpindahan yang ternyata baru terjadi lebih dari seabad setelahnya, dengan latar belakang yang jauh lebih rumit dari sekadar perintah keraton.

Ketika Djipang Dihapus, Radjakwesi Muncul

Awal abad ke-19, tepatnya pada 9 Maret 1824, pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan sebuah keputusan penting: Kabupaten Djipang dibubarkan. Wilayah ini secara administratif dihapus, dan digantikan oleh satu nama baru: Radjakwesi.

Baca Juga :   Jejak Angling Darma dalam Arsip Kolonial: Ketika Naskah Kuno Membantah Kisah Populer

Namun, tokoh lokal yang sebelumnya memimpin Djipang tak serta-merta disingkirkan. Ia justru diangkat menjadi regent (bupati) sementara untuk memimpin Radjakwesi. Artinya, perpindahan ini bukan hanya soal memindahkan kursi pemerintahan, tetapi juga tentang mengalihkan struktur kekuasaan lokal dengan cara yang tetap menguntungkan penguasa kolonial.

Dengan strategi ini, Belanda bisa tetap menggandeng pemimpin lokal demi menjaga stabilitas, sambil pelan-pelan merestrukturisasi wilayah-wilayah kekuasaannya sesuai kepentingan mereka.

Regent yang Dicopot dan Tuduhan Mengerikan

Tapi masa transisi ini tidak berlangsung mulus. Di tahun 1825, regent Radjakwesi—yang sebelumnya berasal dari Djipang—tersandung masalah besar. Ia dituduh menyalahgunakan wewenang dan bahkan diduga terlibat dalam rencana pembunuhan terhadap seorang pejabat kolonial bernama Asisten-Residen Borwater.

Sebuah komisi penyelidikan khusus dibentuk untuk mengusut kasus ini. Namun hasilnya menggantung. Tidak ditemukan cukup bukti yang kuat untuk menjatuhkan vonis bersalah, tapi juga tidak ada kepastian bahwa ia tak bersalah.

Baca Juga :   Mentjari Bodjonegoro Bodjonegoro sudah Menjadi Anggota PSSI Sedjak 1938

Akhirnya, pemerintah kolonial memilih jalan tengah: regent dicopot secara hormat dan diberi tunjangan pensiun sebesar ƒ200 per bulan. Sebagai gantinya, seorang pattëh atau pejabat lokal ditunjuk untuk memastikan roda pemerintahan tetap berjalan.

Sejarah Resmi dan Cerita yang Berbeda

Dari kisah ini, terlihat jelas bahwa perpindahan Djipang ke Radjakwesi bukanlah hasil perintah raja seperti yang kerap diceritakan dalam sejarah populer. Dokumen kolonial Belanda mencatatnya sebagai proses administratif yang dilakukan oleh pemerintah kolonial, dengan dasar pertimbangan politik dan keamanan.

Perpindahan ini terjadi pada tahun 1824, bukan 1725. Dan bukan Susuhunan Pakubuwana II yang memerintahkan, melainkan keputusan Dewan Hindia Belanda.

Itulah mengapa penting untuk membaca sejarah dari berbagai sudut. Karena sering kali, yang tercatat dalam dokumen resmi bisa sangat berbeda dari cerita yang berkembang turun-temurun 

Disclaimer : “Tulisan ini perlu penelitian lebih lanjut, karena bersumber dari satu sumber dokumen belanda”

Penulis : Syafik