Republik Bojonegoro: Ketika Sebuah Kota Kecil Pernah Jadi “Negara Sendiri”

oleh 151 Dilihat
oleh
(Infografis, Foto Hendromartono. by chatgpt)

Sebuah Republik Kecil yang Membuat Kening Berkerut

Kita mungkin akan mengernyitkan dahi jika mendengar istilah “Republik Bojonegoro”. Rasanya asing, bahkan seperti cerita dongeng. Namun, istilah ini benar-benar muncul dalam sebuah koran Belanda bernama De Locomotief, edisi 14 Januari 1949. Di sana, seorang penulis bernama Soemarto menuliskan eksperimen politik yang unik di Bojonegoro.

Perlu diingat, saat itu ibu kota sementara Indonesia berada di Yogyakarta. Dari sanalah pemerintahan pusat mengawasi daerah-daerah, termasuk Bojonegoro yang kelak mendapat julukan tidak biasa: “republik bodjonegoro.”

Sosok di Baliknya: Mr. Hendromartono

Tokoh utama kisah ini adalah Mr. Hendromartono. Sebelum perang, ia dikenal sebagai pemimpin buruh yang vokal. Bahkan, ia pernah menjabat sebagai ketua serikat pekerja kereta api dan trem. Pada 1941, ia sempat berangkat ke San Francisco untuk menghadiri konferensi perburuhan internasional.

Namun, sejarah berbelok tajam. Jepang masuk, perang meletus, dan Hendromartono harus menyingkir. Selama pendudukan Jepang, ia memilih berdiam diri. Tetapi begitu Indonesia merdeka, ia kembali tampil—kali ini sebagai residen Bojonegoro, sebuah wilayah miskin dengan keresahan sosial yang tinggi.

Eksperimen Sosial di Bojonegoro

Sebagai residen, Hendromartono tidak menempuh cara biasa. Ia justru bereksperimen.

  • Rumah dinas bupati, simbol feodalisme, ia ubah menjadi kantor rakyat.

  • Kekuasaan administratif ia alihkan ke dewan rakyat, tani, dan buruh dari desa hingga tingkat keresidenan.

  • Pamong praja ia pangkas kewenangannya, sebagian hanya berperan sebagai penasihat.

  • Jabatan lama ia ubah: bupati → komisaris, wedana → inspektur, asisten wedana → adjun-inspektur.

Baca Juga :   Biaya Haji dari Jaman Belanda hingga 2025: Rp 500 Juta Jadi Rp 89,4 Juta

Akibatnya, kekuasaan nyata jatuh ke tangan komite eksekutif yang beranggotakan orang-orang sederhana, bahkan sering kali tanpa pengalaman memimpin. Tidak jarang, pejabat dari Yogyakarta ditolak mentah-mentah oleh warga. Mereka menegaskan: “Kami tidak butuh priyayi lagi.”

Hasilnya? Bojonegoro tampil sangat berbeda. Dari sinilah muncul sebutan: Republik Bojonegoro.

Antara Idealisme dan Realita

Eksperimen ala Hendromartono membuat pemerintah pusat di Yogyakarta khawatir. Wakil Presiden Mohammad Hatta menilai langkah itu terlalu jauh. Pemerintah kemudian mencopot Hendromartono dan memindahkannya ke organisasi perencanaan nasional yang dijuluki “braintrust.”

Namun, para pendukungnya memiliki pandangan lain. Menurut mereka, tanpa langkah radikal itu, semangat rakyat Bojonegoro yang anti-feodalisme bisa berubah menjadi kerusuhan besar. Karena itu, eksperimen Hendromartono dianggap sebagai cara untuk menyalurkan energi rakyat ke dalam bentuk “demokrasi rakyat” versi lokal.

Baca Juga :   Siapa Dia Anak Boepati Bodjonegoro yang Jadi Gubernur

Apakah berhasil? Tidak sepenuhnya. Namun, gagal total pun tidak. Yang jelas, Bojonegoro sempat menjadi laboratorium politik unik di awal Republik.

Akhir Tragis Sang Eksperimentator

Nasib Hendromartono berakhir pilu. Ia sempat ditahan karena simpati politiknya yang condong ke komunis. Tidak lama kemudian, ia tewas dalam baku tembak ketika Belanda menyerbu.

Meskipun demikian, jejaknya di Bojonegoro tetap hidup. Berkat catatan di koran Belanda itu, kita tahu bahwa suatu masa Bojonegoro pernah dijuluki “Republik Bojonegoro”—sebuah eksperimen politik berani, penuh idealisme, namun singkat usianya.

Warisan yang Terlupakan

Kini, istilah Republik Bojonegoro hampir tidak pernah disebut dalam buku sejarah. Padahal, kisah ini menunjukkan bagaimana sebuah kota kecil pernah mencoba “menjadi negara sendiri”, dengan segala idealisme dan kekacauannya.

Kisah ini mengingatkan kita bahwa pada masa revolusi, Bojonegoro pernah memiliki cita rasa sebagai sebuah republik kecil—sebuah bab unik dalam perjalanan sejarah Indonesia.

Penulis : Syafik

Sumber : De Locomotief, edisi 14 Januari 1949.