Biaya Haji dari Jaman Belanda hingga 2025: Rp 500 Juta Jadi Rp 89,4 Juta

oleh 150 Dilihat
oleh
(Jamaah Haji Asal Jepara tahun 1887. sumber :https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

damarinfo.com – Musim Haji tahun 2025 segera dilaksanakan, di Bojonegoro, musim haji selalu membawa semangat baru. Rumah-rumah dipenuhi cerita calon jemaah yang sibuk menyiapkan hati dan tabungan untuk ibadah paling agung dalam hidup seorang muslim. Tahun 2025, biaya haji reguler ditetapkan Rp 89,4 juta untuk 42 hari di Tanah Suci. “Mahal,” kata sebagian orang, menggelengkan kepala. Tapi, coba bayangkan: di awal abad ke-20, biaya haji bisa setara Rp 500 juta hingga Rp 2 miliar jika dikonversi ke nilai sekarang. Luar biasa, bukan? Mari kita menyelami kisah perjalanan haji, dari kapal uap di jaman Belanda hingga pesawat modern masa kini, dan bagaimana biaya ibadah ini mencerminkan perjuangan, status, dan semangat umat.

Jaman Belanda: Haji yang Hanya Mimpikan Orang Kaya

Bayangkan Bojonegoro di awal 1900-an, ketika jalanan masih berdebu dan listrik adalah barang langka. Sebuah buku tua berjudul Onderzoek Naar De Mindere Welvaart Der Inlandsche Bevolking Op Java En Madura (1908) menceritakan betapa mahalnya perjalanan haji saat itu. Jemaah dari Bojonegoro harus menyiapkan 500 hingga 2.000 gulden Belanda—jumlah yang sangat besar untuk masa itu. Dana ini mencakup tiket kapal, akomodasi berbulan-bulan di Mekkah dan Madinah, serta kebutuhan sehari-hari. Banyak yang membawa lebih dari 1.500 gulden demi memastikan perjalanan mereka lancar.

Bahkan, praktik haji badalhaji yang diwakilkan—sudah ada waktu itu. Dengan biaya 20 hingga 50 gulden, seseorang bisa “mengirimibadah haji untuk orang lain. Tapi, berapa nilai gulden ini di zaman sekarang? Menurut situs MeasuringWorth dan perhitungan inflasi, 1 gulden Belanda tahun 1908 kira-kira setara Rp 1 juta di tahun 2025. Artinya, 500 gulden bernilai Rp 500 juta, dan 2.000 gulden mencapai Rp 2 miliar. Bayangkan, menabung untuk jumlah sebesar itu di era ketika kebanyakan orang hidup dari hasil sawah dan dagang kecil!

Kenapa Haji Dulu Begitu Mahal?

Perjalanan haji di jaman Belanda bukan sekadar ibadah, tapi petualangan penuh risiko yang menguras tenaga dan dompet. Ada beberapa alasan mengapa biayanya begitu fantastis:

  1. Perjalanan Laut yang Melelahkan
    Jemaah berangkat dari Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, menuju Jeddah dengan kapal uap atau kapal layar. Perjalanan ini bisa memakan waktu 2 hingga 4 bulan sekali jalan. Tiket kapal sudah mahal, belum lagi biaya tambahan seperti bekal makanan, obat-obatan, atau ongkos tak terduga saat kapal singgah di pelabuhan seperti Aden di Yaman. Bayangkan menahan mabuk laut selama berbulan-bulan, hanya demi sampai di Tanah Suci!

  2. Tinggal Lama di Mekkah dan Madinah
    Jika sekarang jemaah hanya menghabiskan 42 hari, dulu mereka bisa tinggal 6 hingga 12 bulan. Banyak yang sengaja memperpanjang masa tinggal untuk belajar agama, berdagang, atau sekadar menikmati suasana suci. Tentu saja, ini berarti biaya akomodasi, makanan, dan kebutuhan lain melonjak tinggi.

  3. Biaya Tak Terduga yang Mencekam
    Wabah kolera sering melanda Mekkah, memaksa jemaah menyiapkan dana untuk obat atau karantina. Tak jarang, mereka juga harus membayar “uang jaga” kepada kepala suku Badui agar aman melintasi gurun. Setiap langkah penuh ketidakpastian, dan dompet harus selalu siap.

Baca Juga :   Ketika Pers Diadili: Kasus Zentgraaff dan Kritik terhadap Asisten Wedana di Bojonegoro Jaman Kolonial
(Kota Mekah antara tahun 1917 – 1921. Sumber https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Haji: Simbol Ibadah dan Status Sosial

Bagi masyarakat Bojonegoro di jaman Belanda, gelar “Haji” bukan hanya tanda telah menunaikan ibadah, tapi juga lambang kemapanan. Hanya orang-orang kaya—biasanya pedagang sukses—yang mampu menabung untuk perjalanan ini. Mereka berdagang hasil bumi seperti padi dan tembakau, membeli padi seharga 1,50 hingga 1,75 gulden per pikul saat panen, lalu menjualnya kembali di masa paceklik dengan harga 2,25 hingga 2,50 gulden per pikul. Keuntungan ini, meski besar, tetap harus dikumpulkan selama bertahun-tahun.

Baca Juga :   Jejak Fosil dan Sejarah Kuno di Gunung Pandan Bojonegoro

Menariknya, agama melarang memungut bunga, jadi para haji ini punya cara cerdas untuk menyiasatinya. Mereka menyamarkan pinjaman sebagai transaksi jual beli. Misalnya, sebuah rumahdijual” seharga 1.000 gulden (padahal nilai aslinya 2.000 gulden), dengan perjanjian bahwa penjual membayar sewa 30 gulden per bulan dan bisa membeli kembali rumah itu dengan harga awal. Ini sebenarnya pinjaman dengan bunga 36% per tahun, tapi dikemas sebagai jual beli. Kerenyahan finansial ini menunjukkan betapa uletnya para haji dalam mengelola ekonomi mereka.

Para haji juga berbeda dari penduduk pribumi lainnya. Kemampuan mereka bertahan hidup jauh lebih tangguh, bukan karena gelar haji itu sendiri, tapi karena mereka memang orang-orang paling gigih dan cerdas dalam mengumpulkan harta. Gelar “Haji” hanyalah lapisan gula di atas kue kesuksesan mereka.

Dari Dulu Hingga Kini: Haji Tetap Perjuangan

Kisah haji dari jaman kolonial hingga sekarang adalah cermin perubahan zaman. Dulu, hanya segelintir orang kaya yang bisa bermimpi menginjakkan kaki di Tanah Suci. Kini, dengan biaya Rp 89,4 juta, haji jauh lebih terjangkau, meski tetap membutuhkan pengorbanan dan tabungan bertahun-tahun. Di Bojonegoro, musim haji 2025 bukan hanya soal ibadah, tapi juga pengingat akan perjuangan leluhur dan pelajaran tentang keadilan ekonomi yang masih relevan hingga kini.

Semoga setiap langkah jemaah di Tanah Suci membawa berkah, dan cerita haji ini menginspirasi kita untuk terus berjuang, seperti para haji di masa lalu yang tak pernah menyerah demi keyakinan mereka.

Penulis: Syafik

Sumber:

  • Onderzoek Naar De Mindere Welvaart Der Inlandsche Bevolking Op Java En Madura (1908).

  • MeasuringWorth (https://www.measuringworth.com) untuk konversi gulden Belanda.

  • Data inflasi AS (BLS) dan kurs USD-IDR 2023–2025.