MK Putuskan Pemilu Serentak Diubah: Masa Jabatan Kepala Daerah dan DPRD Bisa Diperpanjang

oleh 186 Dilihat
oleh
(Para Pemohon Uji Materiil UU Pemillu Pengurus Perludem, Gedung MKRI, Jakarta, Kamis 26-6-2025. Foto Humas MK)

damarinfo.com – Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah wajah penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah. Lewat Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, MK menyatakan bahwa mulai 2029, pemilu di Indonesia tidak lagi dilakukan dalam format lima kotak secara bersamaan. Pemilu nasional (untuk memilih Presiden/Wakil Presiden, DPR, dan DPD) akan dipisahkan dari pemilu daerah (untuk memilih DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota, serta Gubernur, Bupati, dan Wali Kota).

Masa Jabatan Kepala Daerah dan DPRD Bisa Diperpanjang

Salah satu implikasi besar dari putusan ini adalah masa jabatan kepala daerah dan DPRD bisa diperpanjang. MK tidak menetapkan langsung perpanjangan itu, namun menyatakan bahwa:

Pengaturan masa transisi merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, dan perpanjangan masa jabatan dimungkinkan melalui rekayasa konstitusional untuk menyesuaikan jadwal baru pemilu.” [Pertimbangan MK, 3.18.2]

Skema yang dipertimbangkan dalam putusan menyebutkan:

  • Gubernur, bupati, dan wali kota hasil Pilkada 27 November 2024, yang akan dilantik tahun 2025, masa jabatannya bisa diperpanjang hingga 2031.

  • Anggota DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota hasil Pemilu 2024 yang masa jabatannya normalnya berakhir tahun 2029, dapat diperpanjang hingga 2031.

Langkah ini dianggap penting untuk menyelaraskan jadwal baru: Pemilu Nasional digelar pada 2029, lalu Pemilu Daerah diselenggarakan sekitar tahun 2031, dengan jeda minimal 2 tahun dan maksimal 2 tahun 6 bulan setelah pelantikan presiden dan DPR/DPD

Baca Juga :   Pilkada Blora : Pasangan ASRI Nomor Urut 1, ABDI Nomor Urut Dua

MK: Masalah Daerah Kerap Tenggelam oleh Isu Nasional

MK menilai, pemilu serentak lima kotak selama ini membuat isu pembangunan daerah terabaikan. Jadwal yang terlalu berdekatan antar pemilu nasional dan lokal menyulitkan pemilih untuk menilai kinerja pejabat, serta membuat perhatian publik tersedot hanya pada isu pusat.

“Masalah pembangunan daerah seharusnya tetap menjadi fokus, bukan tenggelam dalam arus kampanye nasional,” tegas MK dalam putusannya.

Jadwal Padat, Partai Politik Kehilangan Idealisme

Menurut MK, jadwal pemilu yang tumpang tindih menghambat partai politik dalam merekrut dan menyiapkan kader terbaiknya. Akibatnya, proses pencalonan sering kali bersifat transaksional, hanya berbasis popularitas dan modal.

“Pelembagaan partai politik menjadi lemah karena partai tidak punya waktu untuk kaderisasi yang ideal,” terang Hakim Konstitusi Arief Hidayat.

Penyelenggara Kewalahan, Pemilih Jenuh

Tumpukan jadwal juga menyebabkan beban kerja penyelenggara pemilu menumpuk dalam dua tahun pertama, kemudian diikuti masa “menganggur” yang panjang. Di sisi lain, pemilih pun menjadi jenuh, terutama karena harus mencoblos hingga lima surat suara sekaligus.

Baca Juga :   KPU Bojonegoro Verifikasi Administrasi 83 Ribu Syarat Dukungan Nurul Azizah-Nafik Sahal

“Fokus pemilih terpecah, waktu memilih terbatas, dan kualitas kedaulatan rakyat ikut menurun,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

Amar Putusan MK: Pemilu Bertahap, UU Harus Disesuaikan

Dalam amar putusannya yang dibacakan Kamis 26-Juni-2025, MK menyatakan Pasal 167 ayat (3) dan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu, serta Pasal 3 ayat (1) UU Pilkada, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, kecuali jika:

  • Pemilu nasional diselenggarakan terlebih dahulu, kemudian dalam rentang 2 sampai 2,5 tahun setelahnya, diselenggarakan pemilu serentak daerah.

  • Penyelenggaraan dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional.

  • Pembentuk undang-undang menyesuaikan masa jabatan kepala daerah dan anggota DPRD dengan jadwal baru tersebut.

Format Baru, Harapan Baru

Putusan ini menjadi tonggak penting reformasi pemilu di Indonesia. Pemisahan antara pemilu nasional dan lokal diyakini akan memperbaiki kualitas demokrasi, memperkuat kelembagaan partai politik, serta mengembalikan fokus pembangunan daerah ke panggung utama.

Selanjutnya, bola ada di tangan pembentuk undang-undang untuk menyusun pengaturan transisi yang konstitusional dan berpihak pada rakyat.

Editor : Syafik

Sumber : Humas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia