damarinfo.com – Bayangkan Jawa Timur sebagai piring besar berisi hidangan pola makan masyarakatnya. Ada yang penuh warna, bergizi, dan aman, tapi ada pula yang tampak sederhana, kurang bervariasi. Skor PPH (Pola Pangan Harapan) adalah cermin yang menunjukkan seberapa “lezat” kualitas konsumsi pangan kita: Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman (B2SA).
Data Badan Pangan Nasional 2024 mengungkap fakta mencolok: rata-rata skor PPH Jawa Timur mencapai 90,4, tapi tak satu pun kabupaten/kota menyentuh angka sempurna 100. Di tengah capaian membanggakan, ada paradoks: beberapa wilayah melesat, sementara lainnya, seperti Bojonegoro, masih tertatih. Apa cerita di balik angka-angka ini?
Jawa Timur: Peta Pola Makan yang Berwarna-warni
Jawa Timur, dengan 38 kabupaten/kota, menunjukkan wajah pangan yang beragam. Skor PPH 2024 berkisar dari 71,2 (Pamekasan) hingga 98,3 (Sumenep). Rata-rata 90,4 menandakan langkah maju menuju pola makan B2SA, tapi jarak menuju skor ideal 100 masih menantang.
Wilayah urban seperti Surabaya (95,4) dan Madiun (95,0) cenderung lebih unggul, mungkin karena akses pasar dan edukasi gizi yang lebih baik. Sementara itu, wilayah rural, terutama di Madura, masih berjuang. Ini seperti lomba lari: ada yang sudah di garis finis, tapi beberapa masih di tikungan.
Siapa Juara dan Siapa Tertinggal?
Puncak Prestasi: Ngawi dan Sumenep
Kabupaten Ngawi mencuri perhatian dengan lonjakan skor PPH ke 98,0 di 2024, naik drastis dari 92,5 di 2023. Sumenep tak kalah gemilang, konsisten di puncak dengan 98,3, hampir menyentuh skor ideal. Kedua wilayah ini seperti koki handal yang menyajikan hidangan pangan sehat: beragam, bergizi, dan aman. Faktor seperti pertanian kuat dan program pangan lokal kemungkinan jadi kunci sukses mereka.
Zona Merah: Madura dan Probolinggo
Di sisi lain, Pamekasan (71,2), Sampang (74,0), dan Bangkalan (77,0) menjadi juru kunci. Skor PPH rendah ini seperti lampu merah: ada masalah serius di akses pangan, edukasi gizi, atau infrastruktur. Kabupaten Probolinggo (85,7) juga masih di bawah rata-rata, meski menunjukkan sedikit perbaikan dari 81,0 di 2023. Wilayah-wilayah ini perlu “turboboost” untuk mengejar ketertinggalan.
Bojonegoro: Di Ujung Tanduk
Bojonegoro, dengan skor PPH 88,8 di 2024, berada di peringkat ke-26 dari 38 kabupaten/kota Jawa Timur. Posisi ini di bawah rata-rata provinsi (90,4) dan menunjukkan perjuangan Bojonegoro untuk mencapai pola makan ideal.
Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, Bojonegoro seperti pelari yang sempat melesat di 2022 (94,5) namun kehilangan napas di 2023 (89,7) dan 2024 (88,8). Penurunan ini mengisyaratkan tantangan seperti ketidakstabilan pasokan pangan atau kurangnya diversifikasi konsumsi.
Perbandingan dengan Tetangga: Bojonegoro Kalah Start?
Mari kita bandingkan Bojonegoro dengan kabupaten tetangga: Lamongan, Tuban, Ngawi, dan Nganjuk.
-
Lamongan (90,2, peringkat 21): Meski turun dari 94,9 di 2023, Lamongan tetap lebih baik dari Bojonegoro. Akses pasar dan distribusi pangan yang lebih matang mungkin jadi keunggulan.
-
Tuban (91,6, peringkat 17): Konsisten di atas rata-rata, Tuban menunjukkan stabilitas dengan skor PPH tertinggi 95,8 di 2022. Bojonegoro tertinggal cukup jauh.
-
Ngawi (98,0, peringkat 1): Bintang baru Jawa Timur! Lonjakan skor PPH Ngawi di 2024 menjadikannya panutan. Bojonegoro bisa belajar dari strategi Ngawi, seperti diversifikasi pangan lokal.
-
Nganjuk (95,5, peringkat 4): Stabil di papan atas, Nganjuk menunjukkan konsistensi dengan skor PPH selalu di atas 92. Bojonegoro kalah jauh di semua tahun.
Bojonegoro seperti mobil yang sempat ngebut di 2022, tapi kini melambat di tikungan. Tetangganya, terutama Ngawi dan Nganjuk, justru melaju kencang dengan strategi yang lebih terarah.

Apa yang Bisa Dipelajari?
Data ini bukan sekadar angka, tapi cerminan kehidupan masyarakat. Wilayah seperti Ngawi dan Sumenep membuktikan bahwa pola makan B2SA bukan mimpi. Mereka mungkin punya resep sukses: pertanian lokal yang kuat, distribusi pangan yang efisien, dan edukasi gizi yang menjangkau masyarakat. Sementara itu, Bojonegoro dan wilayah tertinggal seperti Pamekasan perlu mengejar. Tantangan seperti akses pangan terbatas, kemiskinan, atau minimnya kesadaran gizi harus segera diatasi.
Untuk Bojonegoro, penurunan skor PPH dari 94,5 (2022) ke 88,8 (2024) adalah sinyal bahaya. Pemerintah daerah perlu menelusuri penyebabnya: apakah pasokan pangan terganggu? Atau masyarakat masih bergantung pada pola konsumsi monoton? Belajar dari Ngawi, Bojonegoro bisa memperkuat diversifikasi pangan lokal dan kampanye B2SA.
Bojonegoro, Saatnya Bangkit dari Ujung Tanduk!
Pangan sehat adalah cerminan kehidupan, dan skor PPH 2024 Jawa Timur menunjukkan bahwa Bojonegoro masih berdiri di ujung tanduk. Dengan skor PPH 88,8 dan peringkat ke-26, Bojonegoro seperti pelari yang kehabisan napas di tengah lomba. Tetangganya, Ngawi, melesat ke puncak dengan skor PPH 98,0, sementara Bojonegoro tertinggal, terpuruk di bawah rata-rata provinsi. Ini bukan akhir, tapi panggilan untuk bangkit. Bojonegoro pernah menunjukkan kilau harapan di 2022 dengan skor PPH 94,5—bukti bahwa potensi itu ada. Pemerintah daerah, masyarakat, dan semua pemangku kepentingan harus bersatu: perbaiki akses pangan, galakkan edukasi gizi, dan wujudkan pola makan Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman.
Bojonegoro, jangan biarkan piring wargamu monoton! Belajar dari Ngawi dan Nganjuk, dorong diversifikasi pangan lokal dan pastikan setiap keluarga punya akses ke pangan sehat. Pemerintah daerah, inilah saatnya audit masalah dan akselerasi solusi. Mari ubah Bojonegoro dari pelari tertinggal menjadi pelopor pangan sehat di Jawa Timur. Mulai dari sekarang, dari piring kita sendiri! Saatnya Bojonegoro
“Bahagia, Makmur dan Membanggakan”
Penulis : Syafik
Sumber data : Badan Pangan Nasional