Membaca Peta Fiskal dalam RPJMD 2025–2029
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro menyusun proyeksi pendapatan daerah untuk periode 2025–2030 dengan pola pertumbuhan yang moderat. Dalam dokumen RPJMD 2025–2029, pemerintah memproyeksikan total pendapatan naik dari Rp 4,94 triliun (2026) menjadi Rp 5,25 triliun (2030), dengan laju rata-rata 1,57 persen per tahun. Oleh karena itu, rencana ini menempatkan target yang lebih konservatif dibanding tren beberapa tahun terakhir.
Perjalanan historis dan target 2025
Data realisasi menunjukkan kenaikan tajam dalam satu dekade terakhir. Pertama, pendapatan masih sekitar Rp 3 triliun pada 2016. Selanjutnya, angka itu meningkat hingga mencapai puncak Rp 6,02 triliun pada 2023, kemudian turun sedikit menjadi Rp 5,72 triliun pada 2024. Selain itu, APBD 2025 awal menargetkan Rp 5,638 triliun, lalu pemerintah menyesuaikannya menjadi Rp 5,659 triliun; angka ini berfungsi sebagai jembatan antara realisasi historis dan proyeksi jangka menengah.
Proyeksi 2026–2030: jalur moderat
RPJMD menempatkan titik awal proyeksi pada Rp 4,94 triliun (2026), yaitu lebih rendah dari realisasi 2024. Setelah itu, dokumen memperkirakan kenaikan perlahan sampai Rp 5,25 triliun pada 2030. Dengan kata lain, pemerintah memilih jalur yang lebih stabil, namun bertumbuh moderat. Selain menurunkan ekspektasi total, rencana ini juga menekankan diversifikasi sumber penerimaan untuk mengurangi ketergantungan pada pendapatan berbasis sumber daya alam.

Dinamika Pendapatan Asli Daerah (PAD)
RPJMD memproyeksikan PAD meningkat rata-rata 2,89 persen per tahun, dari Rp 1,05 triliun (2026) menjadi Rp 1,17 triliun (2030). Secara khusus, dua komponen utama mendorong kenaikan PAD: pertama, retribusi daerah yang tumbuh sekitar 3,28 persen per tahun; kedua, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan yang meningkat sekitar 2,86 persen per tahun. Namun demikian, pos “Lain-lain PAD yang sah” turun signifikan: dari Rp 561,94 miliar (2024) menjadi sekitar Rp 124,22 miliar (2030). Dengan demikian, komposisi PAD bergeser ke sumber yang lebih dapat diandalkan.
Transfer pemerintah pusat: peran dan tren
Transfer dari pemerintah pusat tetap menjadi penopang utama penerimaan daerah. Dokumen memperkirakan transfer naik dari Rp 3,81 triliun (2026) menjadi Rp 4,00 triliun (2030), dengan laju rata-rata 1,21 persen per tahun. Namun, pemerintah juga mengidentifikasi perbedaan tren di dalam komponen transfer:
-
DBH Bukan Pajak / SDA: RPJMD memproyeksikan penurunan tajam, dari Rp 1,10 triliun (2026) menjadi Rp 855,52 miliar (2030), sehingga pertumbuhan rata-rata menunjukkan nilai negatif -5,87 persen per tahun.
-
DBH Pajak: sebaliknya, dokumen memperkirakan kenaikan kuat dengan laju rata-rata 9,28 persen per tahun.
-
Transfer antar-daerah: diperkirakan tumbuh sekitar 4 persen per tahun, meski kontribusinya relatif kecil dibanding transfer pusat.
Oleh karenanya, struktur penerimaan ke depan menunjukkan pergeseran: kontribusi migas (SDA) semakin mengecil, sementara pos lain seperti DBH Pajak mengambil porsi lebih besar.

Strategi pengelolaan yang dirancang
Untuk menjawab dinamika tersebut, RPJMD merinci strategi penguatan fiskal, antara lain:
-
Menyesuaikan dan memperkuat regulasi pemungutan sesuai PP No. 35/2023 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
-
Melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan pajak/retribusi berbasis data dan teknologi.
-
Mengoptimalkan digitalisasi layanan pajak dan retribusi.
-
Meningkatkan kapasitas SDM pada perencanaan dan pengawasan anggaran.
-
Mengelola aset daerah secara lebih produktif serta mendorong kontribusi BUMD dan BLUD.
-
Mendorong diversifikasi sumber pendapatan untuk mengurangi ketergantungan pada migas.
-
Memperkuat sinergi dengan pemerintah pusat, provinsi, dan pihak ketiga untuk pembiayaan pembangunan.
Dengan strategi tersebut, pemerintah berupaya membangun basis pendapatan yang lebih tahan guncangan sekaligus membuka ruang fiskal yang lebih andal.
Pertanyaan kritis untuk pemangku kepentingan
Berdasarkan data historis, target 2025, dan proyeksi 2026–2030, muncul beberapa pertanyaan penting yang perlu dijawab oleh pembuat kebijakan dan pengelola fiskal:
-
Apakah proyeksi yang relatif konservatif berisiko menyebabkan underinvestment, sehingga beberapa program pembangunan strategis tidak mendapatkan alokasi anggaran yang memadai?
-
Bagaimana pemerintah daerah memastikan target PAD yang moderat tidak berubah menjadi self-fulfilling prophecy, di mana upaya ekstensifikasi dan intensifikasi pemungutan menjadi kurang agresif?
-
Jika realisasi pendapatan kembali melebihi proyeksi historis, lalu apa mekanisme yang disiapkan untuk mencegah SILPA besar mengendap tanpa pemanfaatan yang cepat dan produktif?
Secara ringkas, RPJMD menempatkan Bojonegoro pada jalur pertumbuhan yang lebih moderat namun lebih terukur. Oleh karena itu, dokumen menekankan langkah-langkah penguatan PAD dan diversifikasi penerimaan. Namun demikian, respons kebijakan terhadap pertanyaan kritis di atas akan menentukan apakah jalur moderat ini menghasilkan stabilitas fiskal sekaligus menjaga momentum pembangunan.
Penulis : Syafik
Sumber data : RPJMD Kabupaten Bojonegoro 2018-2023, RPJMD Kabupaten Bojonegoro 2025-2029, Dokumen PPAS Perubahan APBD 2025.