1986 Penuh Warna, 2024 Dua Warna: Transformasi Wajah Pertanian Bojonegoro

oleh 81 Dilihat
oleh
Tanaman Pangan
(ilustrasi by chatgpt)

Bayangkan Bojonegoro di tahun 1986 sebagai sebuah lumbung yang beragam isinya. Ada padi, jagung, kedelai, kacang tanah, ubi jalar, hingga ketela pohon—semuanya tumbuh berdampingan seperti lauk lengkap di meja makan. Tapi di tahun 2024, isi lumbung itu berubah drastis. Ia memang lebih penuh, tapi hanya oleh dua bahan utama: padi dan jagung. Sisanya? Menghilang, tertinggal jadi catatan sejarah.

1986: Saat Pangan Bojonegoro Masih Beragam

Empat dekade lalu, padi menyumbang 399.824 ton, dan jagung menyusul dengan 149.312 ton. Namun bukan itu saja yang menopang dapur rakyat. Kedelai (18.330 ton), ketela pohon (68.839 ton), ubi jalar (7.986 ton), dan kacang tanah (1.154 ton) turut hadir dalam komposisi pertanian. Bahkan masih tercatat kategori padi ladang dan padi sawah secara terpisah—menandakan keberagaman ekosistem lahan.

Bojonegoro kala itu bukan sekadar produsen, tapi penjaga kearifan pangan lokal. Produksi tersebar, tidak bertumpu pada satu-dua komoditas.

2024: Melimpah Tapi Tak Lagi Beragam

Empat puluh tahun kemudian, produksi padi melonjak jadi 883.114 ton, dan jagung mencapai 324.454 ton. Keduanya seperti duet superstar yang mengisi panggung utama. Namun sayangnya, selebihnya nyaris hilang dari peredaran:

  • Kedelai merosot tajam ke 7.028 ton.

  • Ketela pohon tinggal 11.553 ton.

  • Ubi jalar, kacang tanah, dan padi ladang lenyap dari laporan.

  • Padi sawah pun kini tak lagi disebut, diganti oleh istilah “padi” secara umum.

Kita memang panen lebih banyak, tapi dengan jenis tanaman yang makin sedikit. Lumbung kita kini jadi gudang dua komoditas besar, bukan warung penuh pilihan.

Ketimpangan yang Tersembunyi di Balik Angka

Angka total produksi memang menawan. Tapi ketika dibongkar per kecamatan, muncul wajah asli pertanian Bojonegoro—tidak merata dan penuh ketimpangan.

  • Kecamatan Kalitidu, Kepohbaru, dan Sumberrejo menjadi lumbung padi utama, masing-masing menghasilkan lebih dari 60.000 ton.

  • Tambakrejo, Gondang, dan Margomulyo menjadi benteng produksi jagung.

  • Sementara itu, kecamatan urban dan perbukitan seperti Bojonegoro Kota, Sekar, dan Ngambon, hanya menghasilkan sisa-sisa.

Baca Juga :   Desa Besur Jadi Percontohan Pertanian Modern

Produksi kedelai dan ketela pun terkonsentrasi di segelintir tempat, dengan Sumberrejo, Kapas, dan Tambakrejo sebagai kantong terakhir.

Pola Tanam: Tadah Hujan Mendominasi, Irigasi Belum Merata

Lebih dalam lagi, jika kita buka pola tanamnya, akan terlihat bahwa lebih dari 60% sawah di Bojonegoro adalah tadah hujan, bukan irigasi. Artinya, produktivitasnya sangat tergantung pada kemurahan langit.

  • Kecamatan seperti Sugihwaras, Ngambon, dan Ngasem sepenuhnya mengandalkan hujan.

  • Tambakrejo dan Temayang, meskipun tanpa irigasi, berhasil panen dua kali—menunjukkan adaptasi petani terhadap keterbatasan.

  • Sementara itu, Kalitidu dan Kanor unggul dengan pola tanam 3 kali setahun, berkat irigasi permanen yang stabil.

Namun ada ironi. Beberapa kecamatan yang punya lahan irigasi justru tidak dimanfaatkan optimal. Contoh: Purwosari hanya menanami 295 hektar dari 1.562 hektar irigasinya. Mengapa? Bisa jadi karena saluran rusak, air tak sampai, atau manajemen tidak berjalan.

Baca Juga :   Anggota Kodim Bojonegoro Tanam Jagung untuk Ketahanan Pangan

Dari Ketahanan Menuju Ketergantungan

Pergeseran pola ini memberi sinyal penting: Bojonegoro bergerak dari ketahanan pangan berbasis keberagaman menuju ketergantungan pada dua komoditas raksasa.

Produksi padi dan jagung memang naik tajam. Tapi jika ada bencana banjir, kekeringan, atau krisis harga yang menghantam keduanya, kita tidak punya cadangan alternatif. Kedelai, ubi, dan kacang-kacangan yang dulu jadi penyangga kini terlupakan.

Saatnya Merawat Keberagaman, Bukan Hanya Kuantitas

Data demi data menunjukkan bahwa Bojonegoro bukan kekurangan lahan, melainkan arah. Kita jago bertanam padi dan jagung, tapi tak lagi peduli pada palawija dan umbi lokal. Kita panen besar, tapi makin tergantung pada musim dan pasar.

Saatnya kita bertanya: Apakah kita ingin kenyang karena produksi besar, atau ingin tahan lapar karena pangan beragam?

Pemerintah daerah dan warga perlu duduk bersama. Membangun irigasi yang benar-benar mengairi, bukan hanya tercatat di kertas. Menghidupkan kembali kedelai dan ketela, bukan hanya mengejar target jagung. Mendorong petani agar tetap punya pilihan, bukan dipaksa menanam yang itu-itu saja.

Karena lumbung yang kokoh bukan hanya penuh, tapi juga berisi aneka rupa. Seperti dapur nenek dulu: sederhana, tapi lengkap. Dan selalu siap menghadapi musim apapun.

Penulis : Syafik

Sumber data : Data tahun 1986 : Statistik Kementerian Pertanian , Data tahun 2024 : Satu data Bojonegoro