Fenomena Pernikahan Anak Masih Mengkhawatirkan
Bojonegoro — Data Pengadilan Agama Bojonegoro memperlihatkan persoalan yang belum tuntas. Hingga September 2025, lembaga ini mencatat 287 permohonan dispensasi kawin (Diska). Mayoritas pemohon berusia 17–18 tahun, berpendidikan SMP hingga SMA, dan sebagian besar belum memiliki pekerjaan tetap.
Sebanyak 168 permohonan muncul karena alasan menghindari zina, sedangkan 61 karena kehamilan dan 58 karena hubungan pranikah. Angka ini menunjukkan bahwa banyak keluarga masih menganggap pernikahan dini sebagai jalan keluar sosial dari tekanan ekonomi dan moral.
Selain itu, permohonan Diska terbanyak berasal dari Kedungadem (40 perkara), Tambakrejo (28), Dander (21), dan Ngasem (19). Berdasarkan Data Mandiri Kemiskinan Daerah (Damisda) 2025, keempat wilayah tersebut juga termasuk daerah dengan rumah tangga miskin tertinggi. Oleh karena itu, hubungan antara kemiskinan dan pernikahan anak tampak sangat kuat.
Korelasi antara Dispensasi Kawin dan Kemiskinan
Tabel berikut menunjukkan 10 kecamatan dengan jumlah permohonan Diska tertinggi dan data kemiskinan (RTM) berdasarkan Damisda 2025:
No | Kecamatan | Permohonan Diska (2025) | Rumah Tangga Miskin (RTM 2025) |
---|---|---|---|
1 | Kedungadem | 40 | 4.152 |
2 | Tambakrejo | 28 | 3.545 |
3 | Dander | 21 | 2.334 |
4 | Ngasem | 19 | 4.307 |
5 | Sugihwaras | 15 | 1.320 |
6 | Temayang | 14 | 1.623 |
7 | Baureno | 13 | 1.777 |
8 | Kepohbaru | 12 | 1.984 |
9 | Sumberrejo | 12 | 1.841 |
10 | Gondang | 11 | 1.734 |
📊 Analisis Singkat:
Kecamatan dengan jumlah Diska tinggi umumnya juga memiliki RTM besar. Misalnya, Ngasem dan Kedungadem termasuk wilayah dengan tingkat kemiskinan ekstrem tertinggi. Akibatnya, anak-anak dari keluarga miskin lebih berisiko dinikahkan dini untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.
Pendidikan dan Pekerjaan Menjadi Akar Persoalan
Kepala Panitera Pengadilan Agama Bojonegoro, Sholikin Jamik, menilai bahwa pendidikan rendah menjadi faktor utama di balik maraknya permohonan Diska.
“Kalau kita melihat data, memang angka permohonan Diska menurun. Tetapi dari sisi pendidikan, usia, dan alasan pengajuan, akar persoalannya masih sama: rendahnya pendidikan,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa dari 287 pemohon, sebanyak 161 hanya lulus SD atau SMP, sedangkan 128 lulusan SMA. Kondisi pendidikan yang terbatas ini membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan layak.
Selain itu, 160 anak belum bekerja, sementara sebagian kecil bekerja di sektor informal seperti buruh, penjaga warung, atau pekerja UMKM. Akibatnya, pendapatan mereka tidak stabil. Kondisi ini sering membuat keluarga memilih menikahkan anak sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan ekonomi.
Di sisi lain, banyak remaja berhenti sekolah dan menganggur di rumah. Ketika ada lamaran, keluarga merasa sulit menolak. Hal inilah yang kemudian memunculkan alasan “menghindari zina”. Menurut Sholikin, alasan tersebut lebih mencerminkan ketidakberdayaan sosial daripada kesiapan menikah.

Langkah Pencegahan Melalui Sinergi Lintas Sektor
Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro berupaya menekan pernikahan anak melalui kerja sama lintas sektor. Pada 7 Oktober 2025, Pemkab menggelar Rapat Koordinasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan serta Perkawinan Anak, yang dipimpin oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB).
Acara tersebut menghadirkan Bupati Bojonegoro Setyo Wahono, Ketua DPRD, Forkopimda, Kemenag, Pengadilan Agama, camat, penyuluh KB, dan lembaga masyarakat. Para peserta menandatangani komitmen bersama untuk memperkuat upaya pencegahan pernikahan anak di tingkat kecamatan.
Dalam sambutannya, Bupati Setyo Wahono menekankan pentingnya pendidikan dan dukungan keluarga.
“Anak adalah aset bangsa. Kita ingin mereka tumbuh sehat, berpendidikan, dan terlindungi,” ujarnya.
Selain itu, ia mendorong pelaksanaan program wajib belajar 13 tahun dan perluasan beasiswa agar anak-anak dari keluarga miskin dapat melanjutkan sekolah. Menurutnya, pendidikan menjadi kunci utama dalam memutus rantai pernikahan dini di Bojonegoro.
Dari Penanganan Menuju Pencegahan
Sholikin Jamik menilai langkah sinergi Pemkab Bojonegoro sudah berada di jalur yang benar.
“Kita jangan hanya bicara soal menangani kasus, tapi bagaimana mencegahnya. Akar persoalan harus diselesaikan dari sisi pendidikan dan ekonomi,” tegasnya.
Oleh karena itu, pengadilan, pemerintah, dan lembaga agama perlu memperluas program edukasi keluarga serta penyuluhan hukum di sekolah-sekolah. Selain itu, dukungan bagi ekonomi keluarga miskin juga harus ditingkatkan agar pernikahan anak tidak lagi dianggap solusi cepat.
Sementara itu, Pemkab Bojonegoro menargetkan daerahnya menjadi Kabupaten Layak Anak (KLA). Melalui komitmen bersama, pemerintah ingin memastikan setiap anak tumbuh dalam lingkungan yang aman, ramah, dan mendukung masa depan mereka.
Pernikahan anak di Bojonegoro tidak hanya berakar pada moralitas, tetapi juga pada struktur sosial dan ekonomi. Rendahnya pendidikan serta kemiskinan mempersempit pilihan hidup anak-anak muda di daerah ini.
Oleh karena itu, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, dan kolaborasi lintas sektor menjadi langkah paling efektif untuk melindungi anak-anak Bojonegoro dari pernikahan dini dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih cerah.
Penulis : Syafik
Sumber data : Pengadilan Agama Kabupaten Bojonegoro