“Penghasil Migas Justru Tertinggal: Kasus Bojonegoro dan Ironi Pertumbuhan Ekonomi

oleh 101 Dilihat
oleh
(Ilustrasi by chatgpt)

Potret Nasional: Penghasil Migas Tak Selalu Melaju

Di panggung nasional, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2024 rata-rata masih di kisaran 5%. Angka ini sering disebut sebagai “pertumbuhan stabil”, meski bagi banyak daerah rasanya seperti berjalan di atas treadmill: bergerak, tapi tak selalu maju jauh.

Ketika kita membandingkan kabupaten/kota penghasil migas dengan yang bukan penghasil, muncul kontras menarik. Hasil analisis statistik menunjukkan: rata-rata pertumbuhan ekonomi daerah penghasil hanya 4,34%, sedikit di bawah daerah non penghasil yang mencapai 4,79%. Secara statistik, perbedaan ini memang tidak signifikan. Namun, ada hal penting yang tak boleh diabaikan: varians pertumbuhan ekonomi di daerah penghasil jauh lebih lebar.

Artinya, di satu sisi ada daerah yang melesat tinggi—seperti Teluk Bintuni di Papua Barat dengan pertumbuhan 29,22%—tapi di sisi lain ada juga yang terpuruk, seperti Natuna di Kepulauan Riau dengan -4,81%. Ekonomi daerah penghasil migas seolah menari di ujung ekstrem, meninggalkan jejak ketidakpastian.

(Grafik by chatgpt)

Jawa Timur: Energi yang Tak Selalu Jadi Tenaga

Jika kita sempitkan lensa ke Jawa Timur, gambaran paradoks ini makin jelas. Provinsi dengan 38 kabupaten/kota ini punya beberapa daerah penghasil migas: Bojonegoro, Tuban, Sidoarjo, Gresik, dan Bangkalan.

Namun data 2024 justru menunjukkan kejutan. Bojonegoro hanya tumbuh 1,67%, terendah dari seluruh kabupaten/kota di Jawa Timur. Bahkan, jika dibandingkan dengan 57 daerah penghasil migas di Indonesia, Bojonegoro terpuruk di urutan ke-53. Sebuah ironi bagi daerah yang sering dijuluki sebagai “Texas-nya Indonesia”.

Baca Juga :   Pertamina EP Cepu Terbaik Pertama Kinerja SCM KKKS SKK Migas

Bandingkan dengan Sidoarjo (5,54%) dan Gresik (4,79%) yang sama-sama penghasil migas, tapi mampu menjaga pertumbuhan di atas rata-rata. Bahkan Tuban, sesama penghasil migas, tumbuh 3,86%, lebih dari dua kali lipat Bojonegoro.

Bojonegoro vs Tetangga: Kontras di Tapal Batas

Lebih ironis lagi jika Bojonegoro dibandingkan dengan tetangga dekatnya yang justru bukan penghasil migas. Lamongan mencatat pertumbuhan 4,81%, Nganjuk 4,93%, dan Ngawi 4,64%. Semua lebih tinggi dari Bojonegoro, meski mereka tidak menikmati dana bagi hasil migas.

Dengan kata lain, tetangga yang tidak punya sumur minyak justru mampu “menggali” pertumbuhan ekonomi lebih baik. Bojonegoro, yang punya rig angguk di tengah sawah, seolah hanya bisa menyaksikan uang mengalir ke pusat, sementara denyut ekonominya sendiri tertatih.

(Grafik by chatgpt)

Paradoks: Kaya Sumber Daya, Miskin Pertumbuhan

Apa yang sebenarnya terjadi? Jawabannya mungkin ada di struktur ekonomi. Pendapatan besar dari migas cenderung masuk ke pos dana bagi hasil atau perusahaan, tapi tidak otomatis menggerakkan aktivitas ekonomi lokal. Lapangan kerja baru tak sebanding dengan nilai produksi migas.

Baca Juga :   Manajemen dan Pekerja PEPC Donasi Alat Kesehatan dan Vitamin

Ibarat sawah yang subur tapi airnya dialirkan keluar desa, Bojonegoro tampak hijau di atas kertas penerimaan negara, namun warganya merasakan paceklik pertumbuhan.

Membaca Angka, Menyimak Pesan

Angka-angka ini bukan sekadar statistik kering. Pertumbuhan ekonomi Bojonegoro 1,67% adalah sinyal peringatan: ada ketimpangan antara kekayaan alam dan kesejahteraan masyarakat. Jika dibiarkan, Bojonegoro bisa terjebak dalam apa yang disebut para ekonom sebagai kutukan sumber daya—ketika kekayaan alam justru menjadi batu sandungan pembangunan.

Sebaliknya, Lamongan, Nganjuk, dan Ngawi memberi pelajaran lain: dengan mengandalkan sektor perdagangan, pertanian, dan industri kecil, mereka mampu menjaga mesin pertumbuhan tetap stabil tanpa bergantung pada “uang besar” migas.

Jalan Panjang ke Depan

Bojonegoro perlu strategi berbeda. Migas seharusnya menjadi lokomotif, bukan sekadar menara gading. Pemerintah daerah bisa mendorong hilirisasi, memperkuat UMKM, dan membuka konektivitas ekonomi agar pertumbuhan tak lagi bergantung pada sektor yang volatil.

Pada akhirnya, angka-angka ini mengingatkan kita bahwa pertumbuhan ekonomi bukan hanya soal berapa banyak minyak yang dipompa dari perut bumi, tapi bagaimana hasilnya bisa menetes hingga ke meja makan warga.

Penulis : Syafik

Sumber data : Daerah Penghasil Migas : Kepmen ESDM No 214 K/82/MEM/2020, BPS Provinsi Masing-Masing Kabupaten/Kota Penghasil Migas.