Jawa Timur dan Tantangan Bonus Demografi
Jawa Timur tengah berdiri di tengah medan penting: bonus demografi. Di mana-mana, pemuda menjadi harapan. Tapi apa jadinya kalau modal dasar seperti pendidikan belum merata?
Data dari Statistik Pemuda Jawa Timur 2024 (BPS Jatim) memperlihatkan fakta yang menggugah. Mayoritas pemuda di provinsi ini—usia 16–30 tahun—masih didominasi lulusan SMA/sederajat, disusul lulusan SMP. Sementara lulusan perguruan tinggi (PT) masih jadi kelompok kecil.
Namun kita tak akan bicara Jawa Timur secara keseluruhan. Mari zoom in ke satu titik penting: Bojonegoro—dan membandingkannya dengan Lamongan, Tuban, Nganjuk, dan Ngawi.
Pemuda Bojonegoro: Masih Mandek di SMA
Jika kita ingin tahu posisi Bojonegoro dalam peta pendidikan pemuda, mari lihat data. Dari 100 pemuda Bojonegoro, hanya:
-
7 orang yang menamatkan perguruan tinggi
-
57 orang lulusan SMA/sederajat
-
28 orang hanya lulusan SMP
-
dan 8 orang bahkan hanya lulusan SD atau tidak tamat SD
Dengan komposisi seperti ini, Bojonegoro menjadi kabupaten dengan persentase lulusan perguruan tinggi paling rendah dibandingkan kabupaten tetangga.
Lamongan, Tuban, Nganjuk, Ngawi: Melaju Lebih Jauh
Mari bandingkan:
Kabupaten | SMP (%) | SMA (%) | PT (%) |
---|---|---|---|
Bojonegoro | 43,36 | 43,98 | 7,10 |
Lamongan | 38,30 | 45,26 | 11,63 |
Tuban | 39,46 | 40,15 | 10,15 |
Nganjuk | 38,81 | 42,83 | 10,00 |
Ngawi | 38,50 | 44,29 | 9,04 |
Lamongan menjadi yang paling menonjol. Dua kali lipat lebih banyak pemuda Lamongan yang menamatkan pendidikan tinggi dibanding Bojonegoro. Bahkan Ngawi dan Nganjuk, yang APBD-nya jauh lebih kecil dari Bojonegoro, masih mampu mendorong lebih banyak pemudanya untuk sampai ke bangku kuliah.
Sementara itu, angka pemuda yang hanya lulusan SMP atau lebih rendah juga masih tinggi di Bojonegoro: lebih dari sepertiga.
Mengapa Ini Masalah Serius?
Dalam dunia kerja modern, ijazah bukan segalanya, tapi tetap jadi gerbang awal. Lulusan perguruan tinggi punya akses ke lebih banyak peluang kerja, bisa masuk ke sektor formal, dan berpeluang menjadi penggerak inovasi.
Ketertinggalan Bojonegoro dalam pendidikan tinggi artinya:
🔸 Peluang kerja berkurang
🔸 Mobilitas sosial makin lambat
🔸 Kemandirian ekonomi pemuda terhambat
Lebih dari itu, hal ini juga menunjukkan bahwa investasi pada sektor pendidikan belum benar-benar menghasilkan pembebasan struktural bagi generasi muda.
Ketika Kuliah Saja Tak Cukup, Kewirausahaan Jadi Strategi Daya Saing
Fakta bahwa hanya 7 dari 100 pemuda Bojonegoro yang berhasil menembus bangku kuliah menunjukkan masih lebarnya jurang akses pendidikan tinggi. Tapi tantangan pemuda tidak berhenti di ijazah. Di era yang serba cepat seperti sekarang, bahkan lulusan perguruan tinggi pun harus terus belajar dan beradaptasi.
Inilah yang mulai dijawab oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro melalui berbagai inisiatif, termasuk pengembangan wirausaha muda. Bukan hanya untuk mereka yang tidak kuliah, tapi juga untuk lulusan kampus yang ingin mandiri dan menciptakan lapangan kerja sendiri.
Salah satu bentuk nyatanya adalah kegiatan workshop wirausaha bertema “Strategi Cerdas Wirausaha Muda di Era AI (Artificial Intelligence)” yang digelar di Dewarna Hotel and Convention, Rabu (30/07/2025). Kegiatan ini diikuti puluhan peserta dengan latar belakang beragam—dari lulusan SMA hingga sarjana—yang sama-sama ingin memperkuat kapasitasnya sebagai pelaku usaha masa depan.
Dalam sambutannya, Bupati Bojonegoro Setyo Wahono menekankan pentingnya kepekaan membaca pasar dan perubahan zaman. “Apa yang sedang dibutuhkan, itulah yang harus dihadirkan,” ujarnya. Ia juga mengingatkan bahwa teknologi AI yang terus berkembang perlu dilihat sebagai alat bantu, bukan ancaman.
Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terus menunjukkan komitmennya dalam mendorong pertumbuhan wirausaha muda melalui kegiatan edukatif dan inspiratif. Workshop ini menjadi bukti bahwa Pemkab Bojonegoro mulai memposisikan pemuda bukan sekadar sebagai pencari kerja, tetapi pencipta peluang.
Saatnya Bertindak, Bukan Menunggu
Pemuda Bojonegoro masih tertinggal dalam hal pendidikan. Fakta ini tak bisa dibiarkan jadi angka di laporan tahunan. Harus ada dorongan sistematis untuk memperluas akses kuliah, memperkuat pendidikan menengah, serta menyediakan ruang aman dan produktif bagi pemuda untuk tumbuh dan berinovasi.
Wirausaha memang bisa jadi solusi, tapi bukan alasan untuk berhenti mengejar pemerataan pendidikan. Karena pemuda yang kuat bukan hanya mereka yang bisa bertahan, tapi juga yang bisa bersaing dan memimpin.
Bojonegoro tak kekurangan sumber daya, tapi bisa kekurangan arah—jika tidak segera mengejar ketertinggalan ini.
Penulis : Syafik
Sumber data : Statistik Pemuda Jawa Timur tahun 2024, BPS Jawa Timur