Ketika Padat Karya Tak Merata: Menelusuri Ketimpangan Program Desa di Bojonegoro dan Jawa Timur

oleh 119 Dilihat
oleh
(ilustrasi by chatgpt)

Padat Karya: Ide Bagus yang Belum Menyentuh Semua Desa

Kalau bicara soal Padat Karya Tunai Desa (PKTD), konsepnya sederhana tapi manfaatnya nyata. Warga desa ikut bekerja membangun desanya sendiri, menerima upah harian, dan roda ekonomi lokal ikut berputar.

Sayangnya, kenyataan di Jawa Timur masih jauh dari merata. Dari 30 kabupaten/kota, rata-rata baru sekitar 62 persen desa yang benar-benar menjalankan program ini. Ada yang hampir semua desa terlibat, ada pula yang hanya sebagian kecil. Padahal, program ini menjadi salah satu andalan untuk memberikan penghasilan tambahan bagi masyarakat desa, terutama di musim paceklik.

Bojonegoro: Banyak Desa, Tapi Padat Karya Masih Setengah Jalan

Sekarang kita tengok kondisi di Bojonegoro.

Dari 419 desa yang ada, baru 221 desa yang menjalankan program padat karya. Artinya, baru 52,74 persen desa yang terlibat. Bojonegoro pun berada di posisi ke-22 dari 30 kabupaten/kota di Jawa Timur.

Padahal, Bojonegoro adalah kabupaten dengan jumlah desa terbanyak se-Jawa Timur, serta dikenal sebagai daerah dengan kekayaan sumber daya alam dan aliran dana desa yang melimpah. Namun dalam hal pemerataan padat karya, Bojonegoro masih tertinggal dibanding tetangganya:

  • Ngawi – 88,73% (peringkat pertama se-Jatim)

  • Nganjuk – 79,17% (masuk lima besar)

  • Tuban – 69,45% (stabil di atas rata-rata)

  • Lamongan – 66,45%

Sementara Bojonegoro masih setengah hati. Antara niat dan pelaksanaan tampaknya belum seiring langkah.

Baca Juga :   Ngawi dan Trenggalek Melesat, Bojonegoro Masih Tengah-Tengah: Ini Fakta BUMDes Jatim 2025

Ngulik Bojonegoro Lebih Dalam: Ketimpangan Antar-Kecamatan

Jika kita telusuri lebih dalam ke tingkat kecamatan, ketimpangannya makin jelas. Dari 28 kecamatan, ada yang seluruh desanya menjalankan program padat karya, ada pula yang sama sekali belum tersentuh. Ibarat satu dapur sudah mengepul, tapi dapur sebelah belum ada api sama sekali.

Kecamatan dengan capaian 100%:

  • Balen, Ngasem, dan Bubulan
    Ketiganya berhasil menjalankan program di seluruh desanya.

Kecamatan nyaris sempurna:

  • Baureno dan Kapas, masing-masing di atas 90%.

Kecamatan dengan tingkat sedang hingga tinggi:

  • Gondang, Temayang, Sumberejo, Sukosewu, Kota Bojonegoro, dan Gayam (70–89%).

Namun ada juga yang jauh tertinggal:

Kecamatan dengan capaian sangat rendah (kurang dari 10%):

  • Malo: dari 20 desa, tidak satu pun yang menjalankan program padat karya.

  • Sugihwaras, Kanor, dan Purwosari: seluruhnya di bawah 10%.

Apa yang sebenarnya terjadi? Ini bukan soal jarak atau pelosok. Sebagai contoh, Kanor terletak di jalur produktif wilayah selatan Bengawan, namun capaian PKTD-nya hanya 8 persen. Bisa jadi masalahnya bukan soal letak geografis, melainkan soal tata kelola desa, kesiapan perangkat, atau sekadar program ini belum masuk ke prioritas kebijakan.

Kenapa Bisa Beda Jauh Antarwilayah?

Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan perbedaan tajam ini.

Pertama, kapasitas perangkat desa. Desa yang aktif biasanya memiliki tim yang solid dan memahami pengelolaan anggaran secara baik.

Baca Juga :   Dana Desa Tahap Satu di Bojonegoro Mulai Cair

Kedua, dukungan dari kecamatan dan pendamping desa. Kehadiran pihak yang mendorong dan memfasilitasi proses administratif membuat desa lebih percaya diri untuk melaksanakan program.

Ketiga, akses terhadap informasi dan pelatihan. Desa yang mengetahui pentingnya program ini biasanya lebih cepat dalam menyusun proposal dan mengeksekusi kegiatan.

Dengan kata lain, keberhasilan pelaksanaan program bukan semata soal ketersediaan anggaran, melainkan tergantung pada siapa yang memegang kemudi dan seberapa kuat dorongan dari lingkungan sekitarnya.

Saatnya Bertindak, Bukan Hanya Menghitung

Data ini bukan untuk mencari kambing hitam. Namun juga tidak bisa sekadar dicatat lalu dilupakan.

Kecamatan-kecamatan yang belum menjalankan PKTD perlu menjadi prioritas dalam pendampingan dan penguatan kapasitas desa. Tidak cukup dengan menyosialisasikan program, perlu ada langkah konkret untuk mendampingi pelaksanaan di lapangan.

Sebaliknya, desa-desa yang sudah berhasil seperti di Balen, Ngasem, dan Bubulan perlu dilibatkan untuk berbagi praktik baik. Cerita keberhasilan mereka bisa menjadi inspirasi bagi desa lain yang masih tertinggal.

Karena program padat karya bukan semata proyek tahunan, melainkan napas gotong royong yang bisa membuat desa berdiri lebih mandiri dan kokoh dari dalam.

Penulis : Syafik

Sumber data :Statistik Potensi Desa Jawa Timur 2024 dan Statistik Potensi Desa Kabupaten Bojonegoro 2024.