damarinfo.com – Kabupaten Bojonegoro dalam satu dekade terakhir menjadi primadona dunia perminyakan nasional, dengan adanya sumber minyak dalam jumlah besar di Lapangan Banyu Urip yang dikelola oleh perusahaan migas internasional.
Namun, ternyata soal minyak ini sudah menjadi perhatian dunia sejak zaman kolonial Belanda , bahkan jauh sebelum Bojonegoro ditetapkan sebagai kabupaten pada September 1828 , pasca-Pemberontakan Sosro di Logo.
Yang lebih menarik lagi, masyarakat Bojonegoro rupanya sudah menggunakan minyak bumi untuk keperluan penerangan dan bahan bakar dapur secara tradisional , jauh sebelum teknologi modern datang.
Sebuah catatan langka dari tahun 1827 mencatatkan kisah yang tak banyak diketahui: seorang Assistent-Resident Rembang , bernama P.J. Praetorius , melakukan kunjungan ke sebuah distrik terpencil bernama Tinawoen ,yang masukwilayah Radjekwesi , beberapa bulan sebelum meletusnya Pemberontakan Sosro di Logo yang akan melahirkan Kabupaten Bojonegoro.
Dalam laporan yang termuat di Bataviasche Courant edisi 28 Juni 1827, Praetorius mencatat temuan unik: minyak yang mengalir sendiri dari celah batu , sebuah fenomena alam yang membuat penduduk setempat menyebutnya sebagai “minyak suci”. Bersamaan dengan itu, ia juga mendengar legenda tentang Sunan Kalijaga yang konon pernah singgah di tempat tersebut saat mengejar musuhnya, Topo Baltjah Jelo .
Mari kita telusuri kembali jejak sejarah itu — dari celah batu di Tinawoen, hingga menjadi cikal bakal industri minyak di Bojonegoro.
Catatan Perjalanan Praetorius: Dari Meja Kerja ke Hutan Belantara
Pada suatu pagi yang cerah di bulan Juni tahun 1827 , saya, P.J. Praetorius , selaku Assistent-Resident Rembang , memutuskan untuk meninggalkan meja kerja dan arsip pemerintahan di kediaman Residen Rembang. Tujuan saya kali ini bukanlah kunjungan rutin ke pusat administrasi distrik, melainkan sebuah ekspedisi ke sebuah tempat yang telah lama menjadi bahan cerita rakyat: Distrik Tinawoen , sebuah wilayah terpencil di lereng pegunungan utara Jawa yang termasuk dalam Karesidenan Rembang , lebih tepatnya di wilayah Radjekwesi .
Yang membawa saya ke sana bukan hanya rasa ingin tahu, tetapi juga sebuah kabar aneh—di tengah hutan belantara itu, terdapat minyak yang mengalir sendiri dari celah batu , tanpa pengeboran, tanpa pompa, seperti karunia alam yang tak pernah habis.
Perjalanan Panjang Menuju Tinawoen
Jalan menuju Tinawoen tidak mudah. Setelah menyusuri jalur darat dari Surakarta dengan kereta kecil dan dilanjutkan berkuda, saya harus turun ke jalan setapak sempit yang dikelilingi hutan lebat. Pepohonan tinggi menjulang, sinar matahari hanya menembus sedikit, dan udara dingin menyapa kulit.
Tinawoen adalah sebuah distrik kecil, namun bagi saya, ia adalah simbol dari kekayaan alam Hindia Belanda yang belum sepenuhnya tersentuh oleh tangan Eropa. Di sanalah saya akan menemukan minyak ajaib itu .

Minyak yang Mengalir Sendiri
Setelah beberapa jam berjalan kaki di bawah terik matahari dan di antara semak belukar, saya sampai di lokasi yang dituju. Sebuah celah sempit di antara dua batuan keras, tertutup lumut dan akar pohon tua. Dari sanalah minjak tanah mengalir pelan-pelan—sebuah fenomena yang bagi kami orang Belanda terdengar mustahil.
Penduduk setempat telah membuat beberapa lubang berbentuk corong di atas batu itu, dengan diameter sekitar satu kaki dan kedalaman satu setengah kaki. Lubang-lubang inilah yang mereka gunakan untuk menampung aliran minyak.
Saya mencatat dalam laporan:
“Dagelijks kan men door deze gaten van tijd tot tijd geleegd een mans dracht (pihoel orajeff) dier olie vergaderen.”(Setiap hari, dengan mengosongkan lubang-lubang ini secara berkala, dapat dikumpulkan sekitar satu pikul minyak, seberat muatan satu orang.)
Yang lebih menarik lagi, meskipun sering diguyur hujan deras, minyak ini tidak pernah meluap . Salah satu lubang bahkan dilindungi atap agar kualitasnya tetap terjaga.
Legenda Sunan Kalijaga dan Topo Baltjah Jelo
Namun, yang membuat lokasi ini lebih dari sekadar sumur minyak adalah cerita mistis yang hidup di kalangan masyarakat.
Konon, ratusan tahun lalu, Sunan Kalijaga , salah satu wali besar yang menyebarkan agama Islam di Jawa, sedang dalam perjalanan bersama istrinya mengejar musuhnya, Topo Baltjah Jelo , seorang ahli sihir yang menyeleweng dari ajaran agama.
Karena sakit yang dialami sang istri, mereka terpaksa bermalam di hutan ini. Tanpa membawa obor atau minyak, Sunan menusukkan tongkatnya ke tanah—dan dari sanalah minyak mulai mengalir .
Cerita ini mungkin hanya legenda, tapi bagi penduduk setempat, itu adalah bagian dari keyakinan bahwa tempat itu dijaga oleh roh suci. Dan mungkin juga, cerita itu diciptakan sebagai cara untuk melindungi lokasi dari campur tangan asing.
Lelih Tanah: Lilin Hitam dari Bumi
Di dekat lokasi sumur minyak, saya juga menemukan hal lain yang langka: lilin tanah , atau yang disebut penduduk sebagai leli tanah . Zat ini ditemukan di tepi anak sungai, tersebar dalam bentuk padat berwarna kuning kecoklatan, mirip jodenlijm atau aspal.
Dari informasi yang saya himpun, zat ini pernah ditambang secara intensif pada masa pemerintahan Inggris di Hindia Belanda, sekitar tahun 1811–1816. Dalam waktu singkat, hingga empat puluh pikul berhasil dikumpulkan. Namun, karena proses penambangan terlalu melelahkan dan transportasi sulit, penduduk akhirnya menimbun lubang tambang dan menyatakan bahwa “sudah habis.”
Harta Karun yang Terlupakan
Perjalanan saya ke Tinawoen bukan hanya tentang minyak dan lilin. Ia adalah tentang hubungan manusia dengan alam , tentang keyakinan yang mengakar , dan tentang rahasia bumi yang masih tersimpan di balik batu dan tanah .
Sebagai seorang pejabat kolonial, saya tentu melihat potensi ekonomi dari temuan ini. Tapi saya juga sadar, bahwa ada batas antara memanfaatkan dan merusak . Dan mungkin, itulah pelajaran terbesar yang saya bawa pulang dari Tinawoen.
Penulis : Syafik
Sumber: (Laporan Assistent-Resident P.J. Praetorius, dimuat dalam Bataviasche Courant , 28 Juni 1827, diunduh dari delpher.nl, diterjemahkan dengan dhat.qwen.ai)